Om atau omkara adalah sebuah beja ( biji) mantra utama yang merupakan ucapan suku kata sangat suci dalam Hindu. Karena itu, omkara, ( kalau di Bali lumrah disebut Ongkara) itu sesungguhnya adalah Brahman/ Tuhan yang sifatnya saguna dan juga nirguna. Aspek Tuhan yang dipikirkan dan juga tidak dipikirkan, yang memiliki energi yang inmanen / melekat di setiap ciptaan. Sesungguhnya semua yang eksis ini adalah omkara. Demikian, mulia, rahasia (guhya) agung (raja) eksistensi omkara itu. Maka, tidak heran Om juga disamakan alias indentik dengan Shiva, Surya, Atma, Linggam. Omkara, Ongkara adalah sabda (suara) Brahman itu. Bunyi note dalam musik yakni sa ri ga ma pa da ni sa — bersumber dari omkara.
Realitasnya, suku kata suci Om itu memiliki posisi yang maha penting, sebab semua mantra tanpa diawali omkara, maka mantra apapun tidak punya kekuatan dasyat. Tetapi, ketika omkara itu diucapkan menyertai sebuah mantra, maka mantra itu otomatis akan memiliki power kekuatan yang sangat dasyat luar biasa. Kenapa, karena Om itu adalah generator dari semua mantra. Sumber, atau beja , biji dari mantra. Ibaratnya, tumbuhan itu dari proses tumbuh, besar, kemudian berbuah banyak, diawali sebuah biji. Demikian lah posisi omkara sangat luar biasa sebagai awal mula ciptaan ini , Suara Big Beg dan juga Suara yang mengelilingi Surya dan menggerakkan alam Semesta ini. Selain beberapa Upanisad utama memuliakan omkara, juga di Dalam Bhagawad Gita. Namun pada tulisan ini suku kata suci om itu akan dideskripsikan secara khusus sesuai sistem teologi Siwagama lebih dulu. Pada tulisan berikutnya dari perspektif Weda. Aksara OM itu sesungguhnya merupakan simbol Paramesvara atau Mahadewa. Ia adalah yang tertinggi dan sebagai penyebab alam semesta , Jagat Karana ini. Suku kata suci Um, Mam, Am dengan dewa-dewanya Wisnu, Isvara dan Brahma mencerminkan aspek-aspek yang berbeda dari Realitas yang sama dan tunggal, Parama Siwa.
Kitab Jñana Siddhanta membahas secara mendalam Sang Hyang Ongkara ini. Sang Ongkara bukan saja disebut Pranawa, tetapi juga dikenali dengan nama Wiswa, Ghosa, Ekaksara, Tumburu-Tryaksarangga. Dan ada juga menyebutkan nama Ongkara Merta, Ongkara Jñana, Ongkara Agni, dan Ongkara Bhuta Pratistha. Padanan omkara yang terakhir itu digunakan oleh Pendeta di dalam muput yajña. Ongkara disebutkan sebagai asal mula dunia beserta segala isinya. Ongkara dihias oleh Ardha - Chandra - Windu dan Nada. Omkara juga menjadi tiga, yaitu ardhacandra, windu, nada. Ketiga-tiganya disebut sastra amsa, disebut juga sebagai penyebab adanya dunia ini ( Sira Panangkiing Rag Kabeh).
Dalam perspektif Sang Hyang Sapta Ongkara, Itu dimaknai sebagai api yang menyala secara terus-menerus. Karena itu, api suci yang memiliki kekuatan niskala tiada batas, itu diyakini dapat membakar segala kotoran pikiran manusia, sarwa klesa, sarwa papa, winasaya, sarwa roga. Sapta Ongkara itu juga dikaitkan dengan Sapta Atma, Sapta Dewata, Sapta Pada. Sapta Ongkara itu merupakan kombinasi dari Sapta Atma dan Sapta Dewata bersama ketujuh tahap sampai ke warna-warni dan tempat di dalam tubuh manusia.
Omkara juga diuraikan pada Teks Bhuana Kosa (XI. 16). Disana ditegaskan, Ukara itu lenyap di dalam Akara, Akara lenyap di dalam Makara, Makara lenyap di dalam Ardhacandra. Kemudian Ardhacandra itu lenyap di dalam Windu, Windu lenyap di dalam Nada. Dari Nada muncullah Windhu, dari Windhu lahirlah Ardhacandra, dari Ardhacandra terciptalah alam semesta. Manakala, kekuatan Siwa Tattwa dan Maya Tattwa bertemu dalam wujud sekala-niskala, maka ketika adanya sinergi itu Shiva mempunyai kekuatan strie Nya ( Sakti). Shiva sendiri kemudian bukan saja mempunyai kekuatan maha dashyat juga kemahakuasaan yang disebut Cadusakti dan Asta Aiswarya. Kekuatan Shiva itulah untuk menciptakan dunia dengan segala isinya, dari yang paling halus hingga kasar.
Lalu om kara itu diartikan Pranawa , ketika terjadi proses lenyapnya Okara (dunia seluruhnya) ke dalam Ardhacandra, Ardhacandra ke dalam Windhu, Windhu ke dalam Nada, dan Nada ke dalam Niskala. Demikianlah perputaran Uttpati, Shtiti, Pralina itu berulang menurut hukum Rta, the law of cosmic / Alam Semesta.
Pada posisi itu, Shiva dilambangkan dengan Ongkara, sedangkan Buddha dengan Hrih. Di Pura Agung Besakih, Ongkara divisualkan secara riil ke dalam dua Pelinggih yang disebut Bale Ongkara. Pelinggih itu terletak di sebelah kanan dan kiri Pemedal Agung menuju areal Pura Penataran Agung Padma Tiga, Besakih. Bale Inti bertiang satu dengan wujud atap berbentuk bundar kerucut menggunakan bahan ijuk. Masyarakat Bali, menyebutnya dengan nama Bale Undar-andir. Bale semacam ini hanya dibangun di Pura Agung Besakih dan juga di Pura Semeru Agung, Senduro, Lumajang, Jawa Timur.
Puja Parikrama atau Weda Parikrama yang dilaksanakan sebagai sebuah pemujaan Surya Sewana oleh Pendeta Shiva dan Pendeta Buddha di Bali menggunakan Ongkara di dalam prakteknya. Surya Sewana adalah pemujaan kepada Shiva dalam wujud Surya Aditya. Dalam prosesi membuat tirtha (air suci) Sulinggih menulis (nyurat) Ongkara di permukaan air yang ada di dalam Siwamba itu. Adapun alat yang digunakan adalah alang-alang (rumput kusa). OM pada fungsi itu disimbolkan sebagai Triaksara: Ang, Ung, Mang yang melambangkan Tri Murti : Brahma, Wisnu, Isvara. Proses nyurat di permukaan air disebut Ongkara Merta. Melalui nyurat ini, Pendeta menuntun kekuatan Hyang Widhi Wasa yang diberikan gelar Shiva, agar masuk ke dalam air suci, berubah menjadi Amertha , yang kemudian digunakan dalam berbagai keperluan yajña. Begitu energi Shiva itu masuk ke dalam air ini, air ini menjadi tersucikan dan mempunyai kekuatan spiritual yang disebut tirta atau air suci. Dalam visualisasinya Sang Wiku, menuntun Shiva itu agar berkenan turun dari Khahyangan dan mengambil tempat duduk di atas air di dalam Siwamba yang telah disucikan melalui peng-ucar-an mantra-mantra. Setelah pengucapan dan nyurat Ongkara dilanjutkan pengucapan Upati Mantra (Utpatti), Astiti (Sthiti), dan Devaperastista (Devaprastista). Penempatan Dewa di dalam air ini juga diikuti dengan Kuta Mantra, "Om Om Paramasivadityaya namah".
Ongkara juga direpresentasikan dalam diri seorang Sulinggih yang sedang menjakankan swadarmanya atau lumrah di Bali disebut Meweda. Demikian pula Siwa Karana, seperti Tri Pada dan juga Siwamba dengan sesirat di atasnya merupakan satu kesatuan peralatan suci Pandita. Ornamen sakral itu dipandang sebagai sebuah Ongkara. Posisi tangan pendeta ketika memegang Ghanta (tangan kiri) itu juga merepresentasikan Ongkara.
Tulisan ini merupakan kompilasi dari berbagai sumber oleh : Acharya Rishi Sadhu Giriramananda.