Oleh : I Wayan Suja (Brahma Acharya Murti)
Pada awalnya banyak
orang menaruh harapan dengan munculnya gerakan “Ajeg Bali,” yang semula
dikira merupakan gerakan malu-malu dari “Ajeg Hindu” di tanah Bali. Tidak
berbeda dengan jargon-jargon politik yang pernah muncul dan kemudian lenyap
terbawa arus waktu, Ajeg Bali menyisakan slogan yang melatah. Slogan
tersebut lebih banyak dimanfaatkan sebagai gerakan pengajegan tradisi dan
budaya, yang justru seharusnya tidak boleh stagnan. Harapan kita, atau
setidaknya mereka yang prihatin dengan kondisi Hindu saat ini di Bali, agar
gerakan tersebut bisa berkontribusi pada pemertahanan agama, tampaknya jauh
dari harapan. Terbukti, pemberian award Ajeg Bali pernah diberikan kepada
seorang Misionaris Kristen atas jasanya menyusun Kamus Bahasa Bali.
Terlepas dari peran media, slogan Ajeg Bali cenderung menggelinding bebas dan banyak diboncengi
kepentingan, termasuk roh feodalisme yang telah lama mencengkeram urat nadi
adat, budaya, dan praktek beragama di Bali. Kondisi itu mirip, atau bisa
jadi merupakan metamorfosis slogan keramat “Stabilitas Nasional” pada jaman
Orde Baru, yang dipakai sebagai pembungkam setiap upaya untuk mengkritisi
tindakan penguasa pada era tersebut. Waktu itu, mereka yang tidak sejalan
dengan Soeharto dan kroni-kroninya akan dicap sebagai anti-kemapanan, dan bisa
jadi juga anti-Pancasila, sehingga harus disingkirkan. Hal ini juga
terjadi pada semangat Ajeg Bali. Mereka yang tidak sejalan dengan
monopoli tafsir budaya dan agama yang bersifat dogmatis, mistis, dan bernuansa
feodal bisa jadi juga dilabel sebagai orang-orang yang kehilangan
ke-Bali-annya, tidak berbudaya, atau mungkin tidak Hindu lagi menurut versi
mereka.
Latah Ajeg Bali, tanpa disadari telah membuat orang Bali
menuju kematian berpikir untuk mengekspresikan semangat keberagamaannya.
Krama Bali harus menerima bahwa keadaan Bali saat ini merupakan bentuk yang
paling ideal, sehingga tidak perlu diubah-ubah lagi. Jika tidak mau
menyebut bahwa kondisi ideal itu ada sekarang, setidaknya mereka berpandangan
bahwa kesempurnaan itu ada di masa lampau. Masa dimana orang-orang hebat,
waskita, dan suci, seperti Mpu Kuturan dan Dang Hyang Nirartha menata
Bali. Tatanan masyarakat Bali yang ideal telah terwujud pada masa itu,
dan pantang untuk diutak-utik lagi. Lebih seru lagi, mereka yang berani
melakukan pembaharuan akan dipandang kualat kepada kedua tokoh suci tersebut,
serta para leluhur dan lelangit lainnya.
Jika saja kedua beliau itu bisa dihadirkan dari
mahasamadinya, tentu kita akan banyak bisa memohon petuah untuk menanggulangi
kondisi Bali saat ini. Apa yang beliau-beliau lakukan pada jamannya,
itulah yang terbaik yang bisa dilakukannya pada saat itu. Ibarat seorang
dokter, beliau-beliau itu sukses mendiagnosis dan memberikan obat kepada
orang-orang Bali yang menderita penyakit. Bukan saja penyakit fisik,
tetapi juga penyakit psikis dan spiritual. Masalahnya, kondisi alam dan
sosial Bali saat ini telah berubah. Ramuan obat dan resep yang beliau
wariskan, tidak bisa langsung digunakan saat ini. Kita masih perlu
tindakan diagnosis, karena penyakit orang sekarang tidak sama dengan dulu.
Karena itu, tindakan terapinya pun jauh berbeda. Singkatnya, penyakit
alam, penyakit manusia, penyakit masyarakat, tidak bisa lagi diobati dengan
resep yang itu-itu saja. Kecuali, kalau akal-budi kita sudah tidak bisa
digunakan. Dengan perkataan lain, kita telah mati massal secara rasional,
emosional, dan spiritual.
Kita juga perlu mengobati penyakit-penyakit bawaan yang
terwariskan secara turun temurun dan tidak sempat beliau jamah pada
jamannya. Jangan karena beliau tidak membicarakan hal itu, kita pandang
bahwa itu bukan penyakit. Seorang dokter tidak akan mengobati seluruh
penyakit yang menggerogoti badan kita, tetapi akan bersikap atas dasar
prioritas. Pada jaman Mpu Kuturan, tindakan yang beliau ambil adalah pencegahan
atas perpecahan antar aliran keagamaan yang ada di Bali dengan membentuk fusi
Tri Murti. Tindakan itu sangat tepat karena orang Bali pada jaman itu
masih sangat kurang pengetahuan keagamaannya, sehingga perbedaan bisa jadi akan
dipandang sebagai pertentangan, yang pada akhirnya bisa melahirkan permusuhan
dan ketidakdamaian. Selanjutnya, pada jaman Dang Hyang Nirartha, Bali
akan bersentuhan dengan masuknya Islam yang bersifat monoteistik. Atas
dasar itu, tindakan pencegahan yang beliau lakukan adalah dengan memantapkan
Brahmavidya krama Bali. Tindakan beliau-beliau itu, sungguh-sungguh excellent,
dan Bali terselamatkan dari kehancuran. Sebagai generasi yang mewarisi
darah Bali, semestinya kita menaruh hormat yang tidak terhingga kepada mereka,
termasuk dengan tetap menganut agama yang diwariskannya.
Setiap jaman memiliki tantangan berbeda, dan kita
memerlukan pioneer, tokoh, panutan yang bisa menafsirkan wahyu suci
Brahman sesuai kepentingan dan kesadaran kemanusiaan saat ini. Jika kita
hanya meniru apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita, hanya mengikuti
jejak tradisinya, maka sesungguhnya kita, dengan menyitir pandangan Sang
Buddha, telah mengurbankan diri untuk masa lalu. Hal senada juga
diwejangkan oleh Sri Krshna pada waktu kecilnya dalam Bhagavata Purana,
“Mengapa tradisi mesti ditelan mentah-mentah? Mengapa kita mesti
mengabaikan kata hati nurani, hanya demi menjalankan tradisi yang belum tentu
kebenarannya?” Demikianlah tradisi itu, sudah seharusnya tidak
dikeramatkan sebagaimana layaknya wahyu suci. Bahkan, wahyu suci pun
tidak cukup dipahami secara tekstual, namun perlu dimengerti bagaimana
konteksnya. Tradisi mesti didudukkan sebagaimana sifatnya, yang memang
terbatas dengan ruang dan waktu. Walaupun memiliki kekuatan primordial
dan massa pendukung fanatik sebagai garda depan untuk mempertahankan dan
membelanya, serta benteng niskala berupa mitos dan kekuatan mistik
lengkap dengan kutukan dan ancaman bagi mereka yang berani meremehkannya,
tradisi itu memang seharusnya selalu dikritisi.
Dewasa ini, bahkan kapan pun, kita tidak perlu slogan
yang mematikan keterampilan berpikir kritis dan kreatif kita untuk
mengembangkan sraddha-bhakti dan kesejahteraan sebagai krama Bali.
Kita tidak perlu Bali yang ajeg, yang secara Termodinamika sesungguhnya adalah
kematian, namun kita perlu Bali yang dinamis, yang harmonis, dan tentu damai (shanti).
Kita juga perlu membuka paradigma berpikir kita, bahwa kesempurnaan tidak ada
di masa lalu, jauh di belakang sana; tetapi justru di depan, dan memungkinkan
untuk kita raih. Setiap langkah yang kita ambil di jalan Dharma adalah
perjalanan menuju kesempurnaan itu. Inilah proses pendidikan, yang
menjadikan diri kita sebagai manusia yang bisa harmoni dengan lingkungan, dan
seimbang dengan diri sendiri.
Upaya
untuk mewujudkan Bali yang dinamis bisa dilakukan dengan membumikan segala
wacana kearifan yang selama ini telah berhasil kita jual ke mancanegara, namun
masih jauh dari dunia nyata kita. Mengimplementasikan semua nilai upacara
yajna dalam hidup keseharian, mempraktekkan slogan-slogan paras-paros
sarpanaya, salunglung sabayantaka, saling asah, saling asih, saling asuh,
tattwamasi, Tri Hita Karana, dan segala prinsip yang sedemikian menyejukkan
kedengarannya, menjadi indah pula dalam praktek. Dengan mewujudnyatakan
semua slogan itu dalam praktek bermasyarakat dan bernegara, Bali akan menjadi
daerah yang nyaman dan aman untuk ditempati. Tidak seperti sekarang ini,
sebagian di antara kita telah menjelma menjadi orang-orang munafik.
Terlalu jauh jarak kebenaran antara ucapan dengan perilaku, terlalu jauh
pula jarak kebajikan antara kata-kata dan tindakan. Agama hanya hidup
dalam wacana dan teori, sedangkan dalam praktek hanya ada kepentingan dan
kebohongan. Semua itu bisa terjadi, karena jumlah orang beragama jauh
melebihi jumlah orang yang ber-Tuhan. Om Tat Sat.