Oleh Acharya Rishi Sadhu Giriramananda
“Yajnanam Japa Yadnyo ‘smi”
Bhagawad Gita X.25
Maksudnya, diantara Yadnya Aku adalah persembahan dalam bentuk “Japa” . Berjapa adalah mengulang nama- nama Hyang Widhi atau Om dengan menggunakan media yang disebut japamala. Bisa juga mengulang ulang nama tuhan tanpa berjapa atau dengan duduk hening dikenal dengan meditasi. Agni Purana, menguraikan makna suku kata japa yang terdiri dari “Ja “ menghancurkan siklus kelahiran dan kematian, sedangkan “Pa” menghancurkan segala dosa. Jadi, yang menghancurkan siklus kematian dan kelahiran serta membebaskan roh atau atma dari ikatan lahiriah/ maya adalah dengan ritual sederhana “Japa” atau berjapa. Apalagi ber Japa dengan Omkara yang merupakan Sabda Brahman - Suara Brahman atau Pranawa - perahu yang menyeberangkan Atma dari lautan samsara. Maka pastinya berkah dan pahala yang diperoleh tidak terhingga. Bukan saja kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi alias bhukti, juga pelepasan, kaivalya , moksa juga disebut mukti.
Omkara Paramashiva
Dalam Lontar Lontar Kedyatmikan Bali, om atau omkara itu disebut Paramashiva itu sendiri. Om itu merupakan penggabungan A U M Ardacandra , Bindu dan Nadha - Brahma, Wisnu, Rudra, setengan bulan , aspek feminin dan maskulin - Arddhenareswara itu sendiri. Sedangkan pada BG X.25 disebutkan Tuhan adalah Suku Kata Om itu. Dalam BG Sloka VIII adyaya 13 disebut “ Om Ity Ekaksharam Brahma, Vyaharan mam anusmaran , yah prayati tyajan deham , sa yanti paraman gatim” siapapun yang menyebut kata Om yang merupakan Brahman itu sendiri saat ajalnya jelang tiba atau pada hembusan nafas terakhir, maka sang bakta, walaka dan sadhaka itu akan pergi ke wilayah Sunyaloka bersatu dengan Brahman. Kemudian, pada Sloka VII adyaya 8 omkara diagungkan sebagai suku kata yang sangat istimewa. “pranawa sarva vedesu - Aku adalah Suku Kata Pemuja Om dalam Weda. Demikian luar biasa nya omkara, Sabda Brahman itu sendiri. Pastinya anugerah yang diperoleh , tidak saja memberikan bhukti - kesejahteraan juga mukti - penyatuan alias moksah. Karena itu dengan tegas Bhagawad Gita mengikrarkan entah bhakta, walaka, shadaka, sang yogi pada nafas terakhir kematiannya mengucapkan Om , maka ia akan pergi dan menyatu pada Hyang Sunya Widhi Wasa. Karena itu, dari berbagai perspektif Japa , Dyana dengan Om Kara merupakan yadnya utama, satwik yakni disiplin spiritual yang mengantarkan kepada pembebasan Jiwa menyatu dengan Atman lebur dalam Paratman alias moksah. Dalam Weda disebutkan ada lima jenis pemujaan, pertama Parayana merupakan pemujaan dengan pelantunan mantra tanpa sarana lain. Japa , adalah Parayana- pelantunan mantra mantra - yang dilakukan dengan cara berulang ulang. Ketiga Abhiseka , pemujaan murthi/ arca dengan sarana tertentu , keempat Homa adalah pemujaan kepada Api Suci menuju Brahman. Sedangkan kelima dyana yakni meditasi.
Atma Kunda
Pada Kaivalya Upanisad, ditegaskan,
Atmanam aranim krtva pranavam cottaranim jnana nirmathanabhyasat paasam dahati panditah “ Dengan membuat raga badan ini sebagai pemantik api bawah - atma kunda - dan Aksaram Om / Omkara sebagai pemantik api atas, dengan usaha keras menyulut api pengetahuan - jnana agni - siapapun mengetahui dan melakukannya maka akan membakar api avidya / kebodohan. Sang yogi akan mendapatkan Darshan Shiva, Dalam Svetasvatara Upanisad disebutkan “Svadehan aranim krtva pranavam co ttarranim dyana nirmathanabhyasat devam pasyen nigudhavat “ Dengan menjadikan raganya sebagai pemantik bawah dan aksara Omkara sebagai pemantik atas dan dengan tekun menggosok/ melakukan dyana - samadhi , maka sang yogi mendapat anugerah darsan melihat Tuhan walaupun tersembunyi.
Omkara Sabda Brahman
Om ity brahma. Om itῑdaṁ sarvam. Om ity etad anukṛtir ha sma vā apyo śrāvayetyāśrāvayanti.Om iti sāmāni gāyanti. Oṁśom iti śastrāṇi śaṁsanti. Om ity adhvaryuh pratigaram pratigṛṇāti. Om iti brahmā prasauti. Om ity agnihotram anujānāti. Om iti brāhmaṇaḥ pravakṣyannāha brahmopāpnavānῑti. Brahmaivopāpnoti.
(Taittirῑya Upaniṣad, Śikṣāvallῑ.Anuvāka
OM adalah Tuhan Yang Maha Esa. Seluruh alam semesta yang nampak ini adalah OM. Aksara OM tanpa diragukan sama sekali, dipergunakan untuk menunjukkan kepatuhan. Selain itu, wahai Guru Suci Ācārya, perdengarkanlah kepada hamba. Setelah mengucapkan "OM," (maka Ācārya) memberikan pelajaran (kepada siswanya). Dengan mengucapkan OM, para Pendeta Udgātṛ menyanyikan pujian-pujian Sāman. Dengan mengucapkan "OM, ŚOM," mereka mengucapkan mantra-mantra Veda. Dengan mengucapkan OM, para Pendeta Adhvaryu mengucapkan mantra-mantra menyahut. Dengan mengucapkan OM, Pendeta Brahma memberikan persetujuan. Dengan mengucapkan OM, lalu memberikan izin melakukan persembahan upacara suci Agnihotra. Para Brāhmaṇa yang berkeinginan keras mempelajari Veda, maka ia mengucapkan OM terlebih dahulu, lalu berkata, “Aku ingin mencapai Brahman”, maka dengan pasti ia mencapai Brahman.
Salah satu kitab upaniṣad yang sangat penting, Taittirῑya Upaniṣad menyebutkan kemuliaan Oṁkāra tersebut: OM iti brahma. OM iti idaṁ sarvam. OM ity etad anukṛti ha sma vā apyośrāvayanti, bahwa orang hendaknya merenungkan OM adalah Brahman, seluruh alam semesta ini, dirasakan dan dibayangkan aksara OM itu sendiri. Dalam upacara Yajña, pendeta dari masing-masing Catur Veda seperti: Hotr, Udgatṛ, Adhvaryu, Brahma semua memulai tugas- tugas mereka dengan ucapan OM. Dengan cara demikian mereka pasti mencapai Brahman.
Bija Mantra
Setiap mantra biasanya selalu disertai oleh Bῑja atau benih Mantra. Dan omkara itu sering terdiri dari hanya satu suku kata. Sebagaimana pohon yang besar dengan buah dan bunga yang banyak “terdapat” di dalam biji yang kecil. Seperti itu pula segala isi dan tujuan dari mantra terdapat di dalam Bῑja mantra. Hanya saja, ia sangat ditentukan oleh kesempurnaan pengucapannya. Sedangkan Jenis Bῑja Mantra lainnya seperti gam, dam, aing, hrῑng, dhūm, klῑm, śrῑm, ham, rām, yam, kṣam, dan lain-lain. Khusus OM adalah Bῑja Mantra atau benih Mantra yang terdepan atau terpenting serta mempunyai kekuatan spiritual sangat sangat luar biasa. Bῑja Mantra selalu menyertai dan melengkapi mantra-mantra lain. Selain merupakan Bῑja Mantra sangat ampuh, aksara suci OM juga satu-satunya Aksara yang dipergunakan dalam setiap awal dan sering pula pada akhir sebuah mantra. Karena itu aksara suci OM , merupakan perwujudan Tuhan Yang Maha Esa. Jika OM diucapkan mengawali doa mantra dengan batin yang suci serta bhakti śradha yang mantap maka OM akan menyempurnakan mantra tersebut dan memberikan hasil yang sempurna.
Om, Ong , Wong
Terdapat beberapa cara “sentuhan batin” praktisi spiritual sehubungan dengan aksara suci OM. Ada yang merenungkan omkara itu sebagai simbol dari Tuhan Brahman. Namun ada pula yang menerimanya sebagai Tuhan atau Brahman itu sendiri. Di Bali, kendati doa-doa yang bukan bahasa Sanskerta pun juga pengucapan mantra nya diawali OM, ONG, WONG, atau kalau di Jawa ada yang mengucapkan HONG. Para praktisi kebatinan memanfaatkan kemuliaan Oṁkāra untuk tujuan-tujuan kekuatan gaib. Para siswa Yoga memakainya sebagai bantuan dalam Trāṭaka Yoga. Mereka membuat huruf OM, memasangnya di tembok dan lain-lain.
Ketika orang mulai berbicara maka bibir akan terbuka dalam suara A, U di pertengahan, dan ketika orang selesai berbicara mulutnya akan menutup dalam pengakhiran suara M. Demikian, OM berasal dari tiga aksara/huruf, yaitu A, U dan M. Aksara A menunjukkan Brahmā sebagai Pencipta alam semesta, U menunjukkan Viṣṇu sebagai Pemelihara, dan M menunjukkan Śiva sebagai Pelebur alam semesta. OM memulai alam semesta. Ada sebelum ciptaan, berada selama ciptaan, dan tetap ada setelah ciptaan material ini dilebur. OM mengatasi hal duniawi (Parātparah).
Tempat Brahman Tertinggi
Selanjutnya Kaṭha Upaniṣad yang merupakan upaniṣad dari Yajur Veda, yang juga disebut Kaṭhaka Upaniṣad menyebutkan Aksara Suci OM sebagai tempat Tinggal Brahman Yang Paling Tinggi: Sarve vedāḥ yat-padamamānanti tapāṁsi sarvāṇi ca yad-vadanti yadicchanto brahmacaryam caranti tat te padam sangrahena bravimy OM ity etat. Dewa Kebenaran Yamarāja dalam percakapannya dengan Nāciketa disebutkan “sarve vedāḥ” keempat Veda (Catur Veda) dan lain-lain kitab literatur Veda, “yat-padam amānanti”, tempat tinggal spiritual tertinggi mana juga yang dijelaskannya, “sarvāṇi tapāṁsi ca yat-vadanti” apa pun jenis kegiatan keagamaan, kegiatan kesucian, pertapaan yang dilakukan, “yat icchantah brahmacaryam caranti” yang menyimpan keinginan keras untuk mencapai atau kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa, “tat-padam sangrahena bravimi” secara singkat, dapat dikatakann Tempat Tinggal yang menjadi tujuan dari semua itu adalah OM iti etat - yaitu Aksara Suci OM.
OM iti etat, dalam Bhagavad-Gita Śrῑ Kṛṣṇa juga mengatakan kurang lebih hal yang sama, yaitu “Om ity ekākṣaram”. Para Sādhaka dianjurkan agar menutup seluruh pintu-pintu indria, membebaskan diri dari dorongan nafsu seks, memantapkan diri dalam suasana Yoga, mengucapkan aksara suci OM, memusatkan pikiran di dalam hati dan prāṇa hidup di atas ubun-ubun, maka ia akan sampai pada planet-planet spiritual (paramam gatim). Ahaṁkāra merupakan halangan terbesar mewujudkan tujuan tertinggi pembebasan. Oṁkāra mempunyai kekuatan sangat ampuh untuk menundukkan ke- akuan palsu atau ahaṁkāra tersebut.
Meditasi Pada Omkara
Amṛtabiṇḍu Upaniṣad mengajarkan meditasi teratur pada OM dengan pengertian huruf-hurufnya (A, U, M). Kemudian bermeditasi pada OM tanpa pengertian huruf-huruf, kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berada di luar pengertian huruf. Dengan cara bermeditasi seperti itu, orang akan dapat merealisasikan Kebenaran Tuhan Yang Maha Esa (svareṇa samdhayed yogam asvaram bhavayet param, asvareṇānubhāvena bhavo vā’bhava iṣyate).
Untuk melihat Tuhan yang tidak dapat dilihat, Brahmopaniṣad mengajarkan: ātmanamaraṇim kṛtvā praṇavam cottararaṇim, jadikanlah diri sebagai kayu bakar bagian bawah dari korban suci, dan OM (Praṇava) sebagai kayu bakar bagian atas. Gosokkanlah kedua kayu itu dalam meditasi maka kalian akan melihat Tuhan yang Maha Rahasia (paśyen devam niguḍhavat).
Perahu Pranawa
Śiva Purāṇa memberikan ulasan menarik tentang Praṇava. Maharesi Suta memberikan penjelasan kepada para resi: ”Praṇava berasal dari pra yang berarti lautan maha luas dalam bentuk alam semesta material yang muncul dari Prakrti. Kata Nava berarti perahu. Praṇava berarti perahu yang mengantarkan kita menyeberangi lautan maha luas dalam bentuk alam semesta material. Karena itu Oṁkāra disebut Praṇava. Kata Praṇava juga berarti pra maknanya prapañca (alam semesta material yang kelihatan ini, fenomena atau illusi ini), na = nahi (tidak), dan vah = untuk kalian. Berarti:”Fenomena alam semesta ini bukan dimaksudkan untuk kalian.” Maharesi Suta menyebutkan makna Praṇava sebagai, Pra artinya prakarṣena (secara paksa, dengan penuh kekuatan), na = nayet (menuntun), dan vah = yusman (kalian semua). Praṇava berarti yang mengantarkan kalian dengan paksa kepada pembebasan (moksa). Praṇava juga berarti yang jika diucapkan dengan penuh keyakinan dan bhakti akan mampu menghancurkan reaksi-reaksi karma dan memberikan pengetahuan baru (spiritual) kepada yang bersangkutan. Tuhan dalam bentuk Beliau yang sejati (Śuddha Svarūpa) disebut Nava. Oṁkāra mengantarkan sādhaka-Nya kepada bentuk Tuhan yang sejati tersebut, maka Oṁkāra disebut Praṇava.
Acamana omkara
Manu Smṛti menyebutkan bahwa jika orang men-japa-kan Trikam yaitu: (1) Oṁkāra, (2) Vyāhṛti (bhūr bhuvaḥ svaḥ) dan (3) Sāvitri atau Gāyatrῑ sebanyak seribu kali selama sebulan, yang bersangkutan akan dibebaskan dari mahā-pāpa atau dosa besar. Disebutkan pula bahwa A, U, M dan bhūḥ bhuvaḥ svaḥ adalah hasil perahan Brahma dari Ṛg Veda, Yajur Veda, dan Sāma Veda. Devῑ Bhagavata menjelaskan, bahkan dalam pelaksanaan ācamana pun Oṁkāra merupakan keharusan untuk diucapkan. Di Prasanti Nilayam, Puttaparti, Karnataka, Andra Pradesh, setiap pagi jam 04 para bhakta antre agar bisa masuk ke Guru Mandir, untuk mengucapkan omkara 21 kali. Omkara 21 kali itu masing masing ditujukan kepada Panca Karmendria (mulut, lengan, tungkai, alat alat sekresi dan alat alat reproduksi) kemudian Panca Jnanendri (mata, telinga, hidung, lidah dan kulit) Panca Prana ( prana, apana, vyana, samana dan udana) Panca Maya Kosha (Anamaya kosa, pranamaya kosa, manomayakosa, wijnan mayakosa dan anandamaya kosa) om ke 21 ditujukan kepada Atma. Nah .. itulah acamana atau penyucian diri dengan mantra , bisa juga dengan air suci sebelum melakukan Puja atau kegiatan
Ongkara di Bali
Omkara di Bali, lumrah disebut Ongkara. Pranawa itu sesungguhnya adalah Brahman. Omkara, adalah Hyang Widhi yang sifatnya saguna dan juga nirguna. Aspek Tuhan yang dipikirkan dan juga tidak dipikirkan. Ongkara itu memiliki energi inmanen. Artinya spirit roh itu melekat di setiap ciptaan. Sesungguhnya semua yang eksis ini adalah omkara. Karena itu demikian mulia, rahasia (guhya) agung (raja) eksistensi omkara itu sendiri. Maka, tidak heran Om juga disamakan alias identik dengan Shiva, Surya, Atma, Linggam. Omkara, Ongkara adalah sabda (suara) Brahman itu. Bunyi note dalam musik yakni sa ri ga ma pa da ni sa — bersumber dari omkara.
Realitasnya, suku kata suci Om itu memiliki posisi yang maha penting, sebab semua mantra tanpa diawali omkara, maka mantra apapun tidak punya kekuatan dasyat. Tetapi, ketika omkara itu diucapkan menyertai sebuah mantra, maka mantra itu otomatis akan memiliki power kekuatan sangat dasyat. Kenapa, karena Om itu adalah generator dari semua mantra. Sumber, atau beja , biji dari mantra itu. Ibaratnya, tumbuhan itu dari proses tumbuh, besar, kemudian berbuah banyak, diawali sebuah biji. Demikian lah posisi omkara sangat luar biasa sebagai awal mula ciptaan ini. Omkara itu adalah suara Big Beg dan juga Suara yang mengelilingi Surya dan menggerakkan alam Semesta ini. Selain beberapa Upanisad utama memuliakan omkara, juga di Dalam Bhagawad Gita.
Sistem Teologi Shivagama
Namun bagaimana suku kata suci om itu dideskripsikan secara khusus sesuai sistem teologi Siwagama ? Aksara OM itu sesungguhnya merupakan simbol Paramesvara atau Mahadewa. Ia adalah yang tertinggi dan sebagai penyebab alam semesta , Jagat Karana ini. Suku kata suci Um, Mam, Am dengan dewa-dewanya Wisnu, Isvara dan Brahma mencerminkan aspek-aspek yang berbeda dari Realitas yang sama dan tunggal, Parama Siwa.
Kitab Jñana Siddhanta membahas secara mendalam Sang Hyang Ongkara ini. Sang Ongkara bukan saja disebut Pranawa, tetapi juga dikenali dengan nama Wiswa, Ghosa, Ekaksara, Tumburu-Tryaksarangga. Dan ada juga menyebutkan nama Ongkara Merta, Ongkara Jñana, Ongkara Agni, dan Ongkara Bhuta Pratistha. Padanan omkara yang terakhir itu digunakan oleh Pendeta di dalam muput yajña. Ongkara disebutkan sebagai asal mula dunia beserta segala isinya. Ongkara dihias oleh Ardha - Chandra - Windu dan Nada. Omkara juga menjadi tiga, yaitu ardhacandra, windu, nada. Ketiga-tiganya disebut sastra hamsa. Omkara juga disebut sebagai penyebab adanya dunia ini ( Sira Panangkiing Rag Kabeh).
Sapta Ongkara
Dalam perspektif Sang Hyang Sapta Ongkara, Itu dimaknai sebagai api yang menyala secara terus-menerus. Karena itu, api suci ongkara itu memiliki kekuatan niskala tiada batas. Hal itu diyakini dapat membakar segala kotoran pikiran manusia. Seperti sarwa klesa, sarwa papa, winasaya, sarwa roga. Sapta Ongkara itu juga dikaitkan dengan Sapta Atma, Sapta Dewata, Sapta Pada. Sapta Ongkara itu merupakan kombinasi dari Sapta Atma dan Sapta Dewata bersama ketujuh tahap sampai ke warna-warni dan tempat di dalam tubuh manusia.
Omkara juga diuraikan pada Teks Bhuana Kosa (XI. 16). Disana ditegaskan, Ukara itu lenyap di dalam Akara, Akara lenyap di dalam Makara, Makara lenyap di dalam Ardhacandra. Kemudian Ardhacandra itu lenyap di dalam Windu, Windu lenyap di dalam Nada. Dari Nada muncullah Windhu, dari Windhu lahirlah Ardhacandra, dari Ardhacandra terciptalah alam semesta. Manakala, kekuatan Siwa Tattwa dan Maya Tattwa bertemu dalam wujud sekala-niskala, maka ketika adanya sinergi itu Shiva mempunyai kekuatan strie Nya ( Sakti). Shiva sendiri kemudian bukan saja mempunyai kekuatan maha dashyat juga kemahakuasaan yang disebut Cadusakti dan Asta Aiswarya. Kekuatan Shiva itulah untuk menciptakan dunia dengan segala isinya, dari yang paling halus hingga kasar.
Lalu omkara itu diartikan Pranawa , ketika terjadi proses lenyapnya Okara (dunia seluruhnya) ke dalam Ardhacandra, Ardhacandra ke dalam Windhu, Windhu ke dalam Nada, dan Nada ke dalam Niskala. Demikianlah perputaran Uttpati, Shtiti, Pralina itu berulang menurut hukum Rta, the law of cosmic / Alam Semesta. Pada posisi itu, Shiva dilambangkan dengan Ongkara, sedangkan Buddha dengan Hrih
Omkara di Besakih
Di Pura Agung Besakih, Ongkara divisualkan secara riil ke dalam dua Pelinggih yang disebut Bale Ongkara. Pelinggih itu terletak di sebelah kanan dan kiri Pemedal Agung menuju areal Pura Penataran Agung Padma Tiga, Besakih. Bale Inti bertiang satu dengan wujud atap berbentuk bundar kerucut menggunakan bahan ijuk. Masyarakat Bali, menyebutnya dengan nama Bale Undar-andir. Bale semacam ini hanya dibangun di Pura Agung Besakih dan juga di Pura Semeru Agung, Senduro, Lumajang, Jawa Timur.
Puja Parikrama atau Weda Parikrama yang dilaksanakan sebagai sebuah pemujaan Surya Sewana oleh Pendeta Shiva dan Pendeta Buddha di Bali menggunakan Ongkara di dalam prakteknya. Surya Sewana adalah pemujaan kepada Shiva dalam wujud Surya Aditya. Dalam prosesi membuat tirtha (air suci) Sulinggih menulis (nyurat) Ongkara di permukaan air yang ada di dalam Siwamba itu. Adapun alat yang digunakan adalah alang-alang (rumput kusa). OM pada fungsi itu disimbolkan sebagai Triaksara: Ang, Ung, Mang yang melambangkan Tri Murti : Brahma, Wisnu, Isvara. Proses nyurat di permukaan air disebut Ongkara Merta. Melalui nyurat ini, Pendeta menuntun kekuatan Hyang Widhi Wasa yang diberikan gelar Shiva, agar masuk ke dalam air suci, berubah menjadi Amertha , yang kemudian digunakan dalam berbagai keperluan yajña. Begitu energi Shiva itu masuk ke dalam air ini, air ini menjadi tersucikan dan mempunyai kekuatan spiritual yang disebut tirta atau air suci. Dalam visualisasinya Sang Wiku, menuntun Shiva itu agar berkenan turun dari Khahyangan dan mengambil tempat duduk di atas air di dalam Siwamba yang telah disucikan melalui peng-ucar-an mantra-mantra. Setelah pengucapan dan nyurat Ongkara dilanjutkan pengucapan Upati Mantra (Utpatti), Astiti (Sthiti), dan Devaperastista (Devaprastista). Penempatan Dewa di dalam air ini juga diikuti dengan Kuta Mantra, "Om Om Paramasivadityaya namah".
Ongkara juga direpresentasikan dalam diri seorang Sulinggih yang sedang menjakankan swadarmanya atau lumrah di Bali disebut Meweda. Demikian pula Siwa Karana, seperti Tri Pada dan juga Siwamba dengan sesirat di atasnya merupakan satu kesatuan peralatan suci Pandita. Ornamen sakral itu dipandang sebagai sebuah Ongkara. Posisi tangan pendeta ketika memegang Ghenta (tangan kiri) itu juga merepresentasikan Ongkara.
Anugerah Japa
Sesuai Tantra Sara, dengan berjapa secara mental pada sembarang tempat artinya dimana saja, dan sembarang waktu alias kapan saja, maka akan memperoleh anugerah anugerah luar biasa. Ditegaskan juga pada Lingga Purana, apabila berjapa dilakukan di dalam rumah manfaatnya sebanyak hitungan dari Japa itu sendiri. Apabila dilakukan di Kandang Sapi, manfaatnya 100 kali lebih banyak. Japa dilakukan pada tepian sungai suci - seperti campuan manfaatnya 100.000 kali lebih besar dari pelaksanaan di atas. Apabila Japa dilakukan di depan Arca/ Gambar Tuhan, maanfaatnya jadi tidak terhitung. Pada Samudra, Pegunungan Suci, Kuil/ Pura , Tempat perziarahan maanfaatnya tidak terbilang. Demikian juga Japa dilakukan dengan merenungkan Bintang Kutub, Dewa Matahari, Shiva, Omkara , di depan Api Suci , di depan Guru suci, berpahala tidak terhingga. Pengendalian pikiran juga akan sangat mudah , jika Japa dilakukan di dalam Taman Tulasi yang dikasi Wisnu, Pohon Bilwa yang dikasihi Shiva, Pepohonan Ara Suci di Pegunungan, Tepian Sungai, Kandang Sapi, Kuil, Pusat Pusat Peziarahan. Mengutip Manawa Dharma Sastra II.85, ada empat cara mengucapkan mantra atau berjapa itu yakni, Waikhari (terdengar keras),pahalanya 10. Sedangkan, Upamsu (dengan setengah berbisik) pahalanya 100, sedangkan Manasika( berjapa dalam
hati) pahalanya 1000. Dengan, Likhita maksudnya mengulang ulang nama tuhan dengan cara menulis.
Muni , Ia Mengerti Rahasia Om
Diantara Yogi Aku “Tuhan” dalam Bhagawad Gita, disebutkan sebagai Muni Sempurna. Seorang Muni itu adalah yogi yang mengerti rahasia omkara. “Yogi yang mengetahui rahasia omkara yang merupakan Sabda Brahman itu adalah Muni yang sesungguhnya” demikian tulis Swami Sivananda. Rishi dari Risikesh, Uttarkand, India itu disebutkan tiap hari mengucapkan omkara 21 ribu lebih. 21 ribu sama dengan hitungan jumlah nafas setiap manusia dalam sehari. Regulasi lainnya yogi sanyasin diwajibkan mengucapkan omkara 12 ribu dalam sehari. Bahkan, Muni yang telah menyadari omkara dan mengamalkan shadananya secara intensif disebut menjadi Para Brahman itu sendiri. Ia senantiasa mencapai kedamaian, karena sudah mewujudkan sat cid ananda. Ketika omkara itu sudah dimengerti, maka mutlak tidak akan muncul kesedihan. Tidak juga dipengaruhi maya , karena itu pencapaian Advaita Paramananda adalah mudah. Karena itu, yang selalu dipikirkan bahwa omkara itu adalah Dasar Semua Semesta ini. Namun, hanya shadaka yang terbebas dari Maya, Avidya dan Adnyana, dapat mengetahui rahasia omkara itu. Setelah hal itu diketahui maka Atman ia menjadi satu dengan Paramatman, tidak bergerak kemanapun dan kapanpun karena sudah terikat dalam
kasih murni omkara. Sang yogi harus bersujud pada Paramashiva sebagai omkara, karena merupakan kebijaksanaan sesungguhnya. Disebutkan, Pranawa merupakan busur , atman adalah anak panah , sedangkan Para Brahman, Paramatman / Paramashiva adalah target sasaran dari Pranawa itu. Dengan penyatuan melalui shadana omkara itu, maka Atman menjadi satu dengan Brahman.
Reserch NASA
Omkara terkait persfektif scientific , direlasikan dengan keberadaan “Matahari” itu sendiri. Faktanya, Matahari itu, sebagai sumber kehidupan ini. Kebenaran itu sudah diteliti, NASA, Badan Antariksa AS. Release temuan NASA itu , Matahari itu disebutkan mengeluarkan suara suci omkara. Matahari itu memunculkan mantra Om om om itu dengan bunyi omakara bergemuruh. Omkara itu adalah Sabda Brahman - Suara/ Nadha dari Tuhan. Om juga disebut Pranawa. Jika mengucapkan 1000 kali maka semua handicap, halangan termasuk pengaruh covid -19 akan sirna. Analoginya, seluruh Semesta ini diliputi OM atau omkara yang dikenal dengan pranawa selain juga disebut Sabda Brahman. Om itu merupakan beja ( biji) mantra utama itu. Om itu adalah ucapan suku kata sangat suci dalam Hindu. Pranawa, itu bahkan disebut sebagai penyebab segala ciptaan ini. Matahari terus menerus mengeluarkan dengung omkara. Demikian juga alam semesta ini penuh diliputi suara Om. Karena itu omkara yang merupakan Sabda Brahman itu sangat suci. Bhagawad Gita , menjamin seorang bhakta , walaka dan sadhaka akan dapat merealisasikan moksah bila dengan sradha dan shadana ekstra disiplin selalu berjapa dan meditasi omkara yang agung , suci dan sangat luhur itu.
OM Ghrini Surya Aditya
Terkait dengan Matahari, mengacu dalam Surya Upanisad, Atharwaweda, ada rumusan mantra delapan suku kata. Mantra itu adalah :
“Om Ghrini Surya Aditya”
Om - satu suku kata
Ghrini - dua suku kata
Surya - dua suku kata
Aditya - tiga suku kata
Om Ghrini Surya Aditya itu merupakan “mantra delapan suku kata Atharwangiras” Itulah mantra delapan suku kata tantra Surya dari Tuhan Savitha yang adalah Matahari itu. Matahari dipercaya sebagai sumber segala kehidupan. Karena itu Pendeta di Bali memuja Shiva Raditya dalam surya sevananya. Demikian tantra delapan suku kata itu tertuang pada Atharwaweda Surya Upanisad Siapapun yang mengucapkan mantra delapan suku itu kata menjadi Brahmana. Brahmana yang tahu dan mengerti hakekat Brahman itu sendiri.
Ada juga versi berbeda ketika mengapresiasi astanggayoga Rishi Pantanjali. Nah ketika melakukan asanas Surya Namakara yang terdiri dari 12 gerakan yoga dengan dinamis dan ritmis. Sembari melakukan satu gerakan dengan cara melapalkan mantra sebagai berikut : Hormat kepada : 1. Om Mitra ya namah, 2. Om Ravaye namah, 3. Om Surya namah, 4. Om Bhanave namah, 5. Om Khagaya namah, 6 Om Pushne namah, 7. Om Hiranyagarbha ya namah, 8. Om Marichaye namah, 9. Om Aditya ya namah, 10 . Om Savitra namah, 11. Om Arkaya namah, 12. Om Bhaskaraya namah.
Namun ada juga versi lain saat Asanas Yoga Surya Namaskar pada masing masing gerakan 12 mengucapkan 12 mantra Trayambhakam untuk setiap gerakan. Kalau Giriram sendiri lakukan yoga Surya Namaskara 9 ulangan karena satu set Surya Namaskar adalah 12 gerakan, maka total mantra Trayambhakam yang diucapkan dengan melakukan Surya Namaskar sebanyak sembilan kali berjumlah 108 kali ulangan. Tetapi ada juga praktek shadana versi Rishi Rishi Himalaya, yang disebut “Udargni” Metode Udargni yang dilakukan yogi yogi Himalaya, juga mengapresiasi pemujaan Surya melalui Aruna yang bulat berwarna merah. Namun para Rishi itu mengoptimalkan melalui meditasi saat aruna muncul dari horison. Pada moment itulah dimaksimalkan energi yang muncul memancar itu diserap ke seluruh tubuh. Berkahnya, bukan saja untuk kesehatan sendiri, secara gradual meningkat bisa menjadi penyembuh diri, keluarga bahkan juga dapat anugerah melakukan pengobatan jarak jauh melalui migrasi energi astral.
Demikian Kompilasi dari berbagai sumber oleh : Pandita Agni Acharya Rishi Sadhu Giriramananda. Ampure Giriram sendiri terus shadana omkara , baik japa dan meditasi , setelah tirakat dua kali shadana ekstra total 24 jam x 2 secara penuh, kemudian omkara , Sabdabrahma itu masuk dari atas ke raga kemudian disempurnakan Ardacandra, Bindu dan Nada, oleh Rishi Abadi Markandeya, awal awal 2000-an.
Acharya Rishi Sadhu Giriramananda