oleh : Pandita Giriramananda Acharyareshi
Om namah shiva ya dirgayurastu di hari suci Purnama dan juga Pagerwesi ini hormat pada Ratu Nabe sami, Raka Pandita, Rayi, Pinandita.
Ketika kita berenang “di dunia kasat mata “ ini alias the worldy life , solusinya , mau tidak mau kita harus punya “kesadaran” yang smart dan wise. Jika seorang yang sudah memiliki jnana - apalagi pemahaman atma vidya/ brahmavidya, maka sang bhakta, walaka, shadaka tersebut pasti akan selalu bisa berperan optimal , ideal bahkan bijaksana menjalani dinamika kehidupan yang dipengaruhi si maya alias ilusi ini. Dipastikan, Dia itu tidak akan larut, terbawa arus, apalagi sampai tenggelam pada “tarikan sensual dunia” . Semua itu sejatinya maya, karena itu bukanlah prinsif “atmatatwa”.
Lalu what to do? Maka suka tidak suka, kita harus mewujudkan atma saksatkara alias Kesadaran atma itu dengan berjuang ekstra mewujudkan atma saksatkara itu. Sebab itulah sesungguhnya “main job” - tugas utama kita di dunia ini. Namun manakala seseorang serius menjalani dunia niskala bukan berarti lajunya gampang. Sebab tidak sedikit akan banyak ditemui handicap. Sudah pasti perjalanan kita sering penuh ujian-ujian berat, bisa jadi cukup melelahkan, biasanya berakhir happyending. Memang, tidak sedikit godaan, cobaan - cobaan menghadang yang bisa jadi dapat melemahkan “motivasi “ kita. Namun sebetulnya hal itu adalah testcase - testcase sejauh mana keseriusan kita, selain juga merupakan bagian dari vasana dan samskara lalu. Ujian ujian itu sejatinya untuk menguatkan “srada” kita, militansi kita, bahwa Tuhan / Shiva Mahadewa yang kita senantiasa buru, cari dengan all out itu sesungguhnya murah dan kaya anugerah, walau demikian sangat perlu kerja keras untuk menyambut berkah unlimited dari Shiva itu.
Kepercayaan shadaka shiva, Bolenath hanya punya 3 anugerah. Anugerah pertama mukti, kedua immortal - keabadian dan ketiga tidak ada lagi karena demikian kasih nya sampai sampai dihabisin berkah untuk bhaktanya pada kesempatan pemberian yang pertama dan kedua. Karena itu, Beliau lah yang sejati yang merupakan target utama ketika kita diberi nafas hidup di dunia ini. Maka, solusinya teruslah berjuang dan berjuang dengan ekstra . Caranya tidak pernah pantang mundur terus menerus shadana mengaplikasikan swadharma utama di kehidupan berbadan manusia ini, mewujudkan moksartham jagadhita ya ca ity dharma. Jangan, biarkan hal-hal sensual tarikan dunia itu, itu masuk secara laten, yang justru dapat melemahkan semangat pencapaian puncak kesadaran atma itu. Jangan diberi ruang keinginan keinginan duniawi, yang bukan tujuan “niskala” menjauhkan usaha kita pada main job utama kita yakni mewujudkan self realization.
Seorang bhakta, the real seeker , yogi bisa jadi kurang diapresiasi oleh lingkungan dan juga orang orang berpandangan duniawi kuat. Jangan hal itu membuat mental kita down, patah semangat. Tetaplah berjuang , lakukan apa yang kita yakini dengan spirit all out mewujudkan realisasi atma / brahma widya itu.
Contoh Dari Sri Krishna
Dalam kondisi apapun Vasudewa tidak terpengaruh the wordy life. Ibaratnya, eksistensi barang mulia “emas” walau diliputi oleh tinja sekalipun tetaplah keberadaan “emas” itu. Emas .. ya biar dimana saja dan situasi apapun tetaplah logam termulia. Demikian juga , Sri Krishna, kendati membawakan sandalnya Drupadi, menyapu bersih sampah sampah busuk pasca ritual Raja Sunya Raja Agung Yudisthira , dan juga menjadi driver/ kusir dari Partha Arjuna, namun Sri Damodhara tetaplah Kesava yang mulia , sebagai yang Mahaagung. Seorang yang Maha Suci sederhananya tidak terkena “leteh” , lara, roga, papa, klesa, kendati ia sedang melakukan perbuatan yang dianggap hina oleh orang - orang awam . Kenapa? Karena Sang meraga suci itu , dengan cepat akan mampu dan bisa, membersihkan segala leteh, kekotoran , vibrasi buruk walau terkontaminasi hal hal duniawi. Kenapa, karena kesadaran “atma tatwa” atau Shivoham nya, sudah sempurna . Karena, Sang Maha Agung itu senantiasa terkoneksi dalam penyatuan dengan kesadaran shivoham, so ham, aham brahmasmi, atau Sabda Brahman yang merupakan omkara itu sendiri. Lalu bagaimana sejatinya terkait “Tradisi” adat itu yang disangga komunitas secara mayoritas umum itu. Keberadaan tradisi tidak salah , ada yang menjaga rta cosmis itu. Karena itu tradisi adiluhung itu patut dijaga dengan proporsional. Tradisi itu bagaimanapun wajib senantiasa ada , diapreasi komunitasnya. Itu juga sebagai komparasi jalan satwika.
Sama halnya keberadaan Pandava pasti ada Kurava. Kiwe tetap saja ada lawannya tengen, pertiwi - akasha, lingga yoni. Dalam pandangan dwaita sesuatu bersifat paradok keduanya diapresiasi sesuai persepsi individu yang eksistensi dan posisinya kontra itu. Namun, bagi sang yogi justru hal paradok itu dijadikan satu kesatuan holistik advaita. Alasannya, kondisi kontra paradoks oposisi binner sejatinya hal itu bagian integral menguji keteguhan hati, kemurnian hati, dalam perjuangan mengawal dharma itu untuk mewujudkan kemurnian hati, realisasi atma itu. Dan akhirnya perjuangan all out Pandava memperoleh kemuliaan/ lulus dgn elegan setelah “memenangkan” tahapan cobaan cobaan ekstra berat yang terus menerus dari Duryodana dan kawan kawan hingga pada puncaknya Bharatayuda menjadi capaian “wijaya” dari pihak Pandawa.
Tradisi itu senantiasa menjadi “ujian ujian” kita dan juga sebagai media/ alat untuk mereka mereka yang masih belum “sadar sepenuhnya prinsif advaita” yakni yang meniti jalan simple dengan jnanayoga dan rajayoga dalam disiplin strike ekplorasi jati dirinya/ atma saksatkara. Sejatinya yang jadi masalah bukan “tradisi” nya , hemat Giriramn, The man behind the gun. Sudah pasti, jika dia itu benar benar bhakta, walaka, shadaka sejati, pasti dapat berperan sebagai “subjek” yang wise. Dia tak terbawa tarikan kuat arus tradisi. Namun eksistensinya justru mampu mencerahkan secara lebih riil pada pihak mayoritas penekun tradisi tsb. Sejatinya karena “avidya” lah mereka tenggelam bahkan lebur bersama objek tradisi tsb. Namun bagi penekun jnanayoga, dia mengekplorasi dirinya dalam elevasi atma saksatkara dengan sangat simple. Dia memberi ruang optimal pada “atma arpanam” . Keyakinannya yang mendalam, hanya dengan Atma Arpanam , akan memperoleh sannidhi - perlindungan abadi. Dalam tahapan abhyasa tersenut Sang Jnanayogi akan asyik menyelam dalam adharas / tiang kundalini yang dimekarkan 7 cakra cakra dari Mula Adhara - swayambu linggam, svalinggam hingga vyomalingam. Sang yogi akan menikmati deep silence - keheningan mendalam. Ia , senantiasa mengawal abhayasa menuntun sang atma melalui muladhara, swadistana, manipura, anahata, wisuda, adnya dan sahasrara, sehingga sukses mewujudkan “immortal” keabadian selain juga membuka cakra mahkota mencapai dwasanggula bertemunya / menyatunya atma paramatma.
Karena itu kurang elok para pihak, melakukan justifikasi yang bertendensi hegemoni. Sebab, action superior itu, apapun alasannya tidak ada muncul vibrasi kasih sayang dan damai ketika ia merasa “lebih unggul” dari yang lain. Alasannya, dalam pendakian spiritual , go up to peak mountin — sama sekali tidak ada kompetisi dalam spiritualitas yang terikat “punarbawa”. Apalagi, dalam paradigma vasudeva kutumbhakam, ishwara sarvabhutanam, lebih lebih prinsif Mahawakya , Aham Brahmasmi, Tat Twan Asi, Prajnanam Brahma, Ayam Aikyam Brahma .. pada “kesadaran” tsb pastinya tidak ada pressur, yang berusaha mengintervensi, sebab dalam kesadaran yang kita tuju itu semuanya bermuara pada love all serve all love ever hurt never. Hormatilah tradisi itu dengan baik dan sewajarnya. Artinya kita tidak mencela, apalagi menguras “energi” menghakimi, sebab hakekatnya “tradisi” itu tidak salah. Sebagai seorang yang mengekplorasi jalan “jnanayoga” yang beraction pada domain “adwaita” sudah pasti tidak akan pernah larut secara inmanen / melekat, apalagi “tenggelam” pada kesadaran duniawi yang hanyalah ujian ujian pendewasaan sang yogi.
Demikian lah persepsi Giriram sendiri setelah mendapatkan transformasi esoterik meditasi dan juga ajaran - ajaran sangat mulia, luhur, universal dari guru titiang, Bhagawan Sri Satya Narayana, Shirdi Baba, Krishna, Shiva, Daksinamurti, Rishi Markandeya, dll termasuk juga para Sapta Rishi Weda, Ratu Nabe, Raka, Rayi , Pinandita VPA. Tat asthu svaha Om Kham Brah Esa Paramashivaatitah
Pandita Giriramananda Acharyareshi