Oleh:
Agni Premadas
Peace cannot be kept by force. It can only
be achieved by understanding. (Albert Einstein)
Manifestasi empirik penurunan rasa aman dan damai seiring dengan berbagai
tindak kriminal dan ancaman terorisme yang terjadi di Indonesia dalam beberapa
tahun terakhir ini terlihat semakin nyata dan transparan. Puncaknya adalah
tragedi Baom Bali I di Legian Kuta 12 Oktober 2002 dan tragedi Bom Bali II 1
Oktober 2004 di Jimbaran yang membawa perubahan sangat besar bagi kehidupan
masyarakat Bali. Peristiwa itu tidak saja berdampak pada perubahan perekonomian
masyarakat, yakni menurunnya secara drastis jumlah kunjungan wisatawan yang menimbulkan
efek domino bagi penurunan pendapatan masyarakat, pemutusan hubungan kerja,
pengangguran dan seterusnya, tetapi juga telah menggeser sendi-sendi toleransi
kehidupan masyarakat .
Dalam rangka pemulihan keamanan Bali pasca tragedi Bom Bali I dan II itu
salah satu upaya yang kini sedang digalakkan oleh beberapa Pemerintah Kabupaten
dengan dibantu oleh para pecalang desa pakraman adalah penertiban penduduk
pendatang. Implementasi kebijakan ini rupanya masih membutuhkan sosialisasi
agar tidak menimbulkan keresahan dan ketegangan dalam masyarakat, khususnya
para pendatang. Munculnya rasa curiga dan tidak senang pada etnis, suku dan
agama tertentu bisa saja menyertai implementasi kebijakan tersebut pada level ‘grassroot’.
Pemilahan sosial masyarakat baik berdasarkan etnis, ras maupun agama akan
menjadi semakin terangkat, sebaliknya perekat kultural yang selama ini telah
ada dan dibina tampak semakin menipis.
Potensi
konflik tersebut makin menyadarkan kita bahwa masyarakat majemuk di Bali tidak selamanya
kondusif bagi tumbuhnya toleransi dan demokrasi, apalagi dalam masyarakat Bali
yang pemilahan, fragmentasi serta polarisasi sosialnya cukup tinggi. Mengikuti
teori integrasi sosial Furnivall, sejumlah properti hubungan-hubungan sosial
yang biasa kita temukan sebagai konsekuensi dari struktur masyarakat yang
majemuk adalah: 1) kecenderungan berkembangnya perilaku konflik di dalam
hubungan-hubungan antar berbagai komunitas atau kelompok; 2) berkembangnya
kecenderungan para pelaku konflik melihat konflik bukan sebagai suatu game
melainkan sebagai suatu total war; dan 3) berkembangnya proses integrasi
sosial berdasarkan dominasi oleh suatu komunitas atau kelompok di atas
komunitas atau kelompok lain.
Dengan kata lain dalam sistem sosial yang tingkat pemilahannya
tidak lagi bersifat membaur (cross cuting) akan tetapi bahkan bersifat
kumulatif, maka toleransi dan demokrasi akan sulit untuk dipelihara, sebab
biasanya konflik yang ditimbulkannya tidak lagi bersifat memusat (centripetal)
akan tetapi bersifat memencar (centrifugal). Dalam situasi konflik yang
sifatnya memusat maka konflik akan menjadi sangat sulit diselesaikan.
Meraih Kedamaian
Kemajemukan masyarakat memang menuntut adanya aktualisasi nilai-nilai bersama
yang mempunyai daya untuk mengatasi segenap perbedaan dalam konteks negara
bangsa. Upaya ini penting dilakukan agar suasana disharmonis yang dimunculkan
akibat konflik bisa dikembalikan lagi menjadi kondisi harmonis dan damai dalam
setiap denyut kehidupan masyarakat majemuk.
Kedamaian
memang sangat penting bagi masyarakat. Memiliki kedamaian berarti memiliki
segalanya. Tanpa kedamaian, tiada kegembiraan dalam hal apapun. Meskipun
kedamaian merupakan pembawaan manusia, beberapa faktor internal didalam diri
setiap orang, seperti kemarahan dan keserakahan menekan sifat ini.
Kedamaian
adalah aspek, nilai hidup yang dihubungkan dengan aspek “emosi” dan aspek yang
sangat penting dari kepribadian manusia dan berbeda dengan aspek “intelek” yang
berhubungan dengan dengan nilai kekerasan. Setidaknya ada tiga dimensi
kedamaian menurut J. Jagadeesan dilihat dari perspektif manusia biasa, yaitu:
1) Tidak adanya perselisihan luar yang aktif; 2) Tidak adanya keadaan
bermusuhan atau pertikaian (dalam batin) dengan orang lain, dan 3) Rasa hening
dan tenang dalam diri, ketenangan batin
Jika
dilihat keadaan dunia sekitar ternyata bahwa di beberapa bagian dunia dimensi
pertama sekalipun tidak ditemukan. Adanya invasi militer yang dilakukan oleh
pasukan koalisi dibawah pimpinan Amerika Serikat ke Irak yang masih berlangsung
hingga saat ini makin memudarkan harapan untuk terciptanya perdamaian dunia. Di
bagian lain memang tidak ada perang tetapi suasana antiagresi yang diwujudkan
lewat demonstrasi besar-besaran dan rasa curiga-mencurigai dengan beredarnya
isu sweeping bagi warganegara tertentu, dapat mengganggu rasa
kedamaian.
Akan
tetapi, apa yang sangat menarik ialah, di tengah-tengah situasi global yang
penuh kekerasan dan hampir tidak ada kedamaian itu, dapat ditemukan
orang-orang yang termasuk dimensi ketiga yaitu orang-orang yang memiliki
ketenangan batin, yang dapat bertahan terhadap “keganasan nasib” (meminjam
istilah Shakespeare) dan memiliki ketenangan dan kesentosaan batin, yang
menjadi inspirasi bagi orang banyak.
Setidaknya terdapat dua metode pendekatan untuk meraih kedamaian,
ketenangan dan kesentosaan batin tersebut, yaitu:
Pertama, Metode
Impersonal. Segenap komponen masyarakat Bali
semestinya bekerjasama, bahu membahu, bagaimana agar potensi konflik yang laten
tidak manifest. Lebih penting lagi, bagaimana memperkecil potensi konflik
tersebut dengan berbagai tindakan preventif. Kalau semua dilepas, tanpa
intervensi, mengikuti ‘hukum pasar bebas’, maka niscaya potensi konflik dapat
berkembang menjadi konflik terbuka. Kalau ini terjadi maka citra keamanan Bali
yang sudah terpuruk akibat peledakkan bom Kuta akan semakin hancur.
Perdamaian
tidak dapat diciptakan dengan kekerasan, karena kekerasan hanya mampu menabur
dendam. Perdamaian hanya dapat diwujudkan jika setiap orang memiliki semangat
toleransi. Kondisi ini dapat diwujudkan apabila kita mau dan mampu
berintrospeksi diri, mawas diri dan melapangkan wawasan. Untuk upaya itu
bisa dikembangkan dua konsep penting yang pernah disampaikan Pitana (1999)
untuk menciptakan rasa aman dan damai yang merupakan conditio sin qua-non
Bali yaitu: 1) Konsep “perbedaan” tetap dikembangkan tetapi bermuara pada
kebersamaan, sebagaimana dicerminkan oleh model dan praktek di Pura Besakih;
2), konsep multiple identity yang disertai pelaksanaan sesana
manut linggih dan linggih manut sesana.
Konsepsi
impersonal lainnya adalah mengimplementasikan ajaran ahimsa, yang sebelumnya
telah dipopulerkan oleh Mahatma Gandhi. Menurut Gandhi, ahimsa diperlukan untuk
melindungi atma, demi melindungi kehormatan seseorang. Bukanlah ahimsa
katanya, bila kita hanya mencintai orang yang mencintai diri kita. Sikap ahimsa
yang sejati adalah jika kita mencintai orang yang membenci kita. Dengan
menggunakan metafora ia menyatakan bahwa hati yang teramat keras dan kebodohan
yang paling hina akan luluh jika disinari oleh matahari penderitaan yang tidak
mengandung rasa amarah atau dengki. Dalam ungkapan Swami Vivekananda dikatakan
bahwa pengakuan kebutuhan-kebutuhan yang wajar dari perbedaan makhluk hidup
sama artinya dengan pengakuan terhadap adanya kesatuan kehidupan. Nilai ahimsa
adalah faktor yang membawa keselarasan dan kesatuan di dalam dan di luar
diri kita. Ahimsa mengembangkan seluruh aspek kepribadian sehingga
manusia mencapai nilai yang luhur.
Penerapan
beberapa konsep itu akan membawa kita kepada suatu pemahaman bahwa hakekat dari
manusia hidup di dunia ini adalah bersaudara. Ahimsa adalah ciri
pengejawantahan masyarakat yang damai, masyarakat yang pantang menggunakan
cara-cara kekerasan. Perbedaan wujud dapat dipandang sebagai manifestasi
rakhmat dan keagunganNya, karena dalam setiap perbedaan itu sesungguhnya ada
satu sumber kehidupan yang sama (Bhinneka Tunggal Ika). Pada tataran praksis
hal itu bisa saja dilakukan dengan meningkatkan dialog, forum, dharma
santi (silaturahmi) dan kegiatan-kegiatan lain yang sejenis diantara
berbagai komponen masyarakat lintas sukubangsa, agama dan ras untuk
meningkatkan kebenaran persaudaraan dan kesepahaman tanpa memandang perbedaan
ras, agama, pendidikan dan status ekonomi.
Kedua, Metode Personal. Dalam ilmu pengetahuan modern manusia dikelompokkan kedalam tiga kategori
menurut pola tingkah laku, yaitu yang mementingkan lahiriah (extrovert),
yang mementingkan diri sendiri (introvert) dan yang mempunyai
kepribadian yang selaras. Jadi dalam tingkatan satu sampai sepuluh, extrovet
dan introvert menduduki posisi satu dan sepuluh, kedua-duanya tidak diinginkan
dan dapat dianggap “terlarang” dalam kehidupan yang sehat. Sungguh menarik,
para rohaniawan kuno di India telah mengemukakan pola tingkah laku ini dan
menamakan rajas (extrovert, sangat aktif, bernafsu, gairah, amarah), tamas
(introvert, lesu, bodoh, malas) dan satwa (kepribadian yang seimbang).
Peningkatan
kedamaian, ketenangan jiwa dapat dikatakan suatu usaha menciptakan kepribadian
yang satwik dan seimbang, pikiran seimbang dan lain-lain dalam hidup
kita. Sudah tentu upaya pertama untuk kedamaian pikiran adalah ketidakterikatan,
sadar akan diri sendiri, melihat diri sendiri dari luar dirimu dan tidak
terlalu terikat pada orang, benda, situasi dan jabatan. Ketidakterikatan adalah
salah satu teknik untuk mengembangkan kedamaian batin. Cara kedua adalah
mengusahakan kedamaian dan kebahagiaan untuk orang lain (bukan semata-mata
untuk diri sendiri) dengan sendirinya kedamaian dan kebahagiaan ini akan datang
pada kita. “Apa yang kita tanam itulah yang kita petik” jika kita menanam
kedamaian dan kebahagiaan dalam hati dan pikiran orang lain kita akan menuai
kedamaian dan kebahagiaan pula dalam jumlah yang berlimpah-limpah.
Pentingnya wiweka
(kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan salah, nyata dan tidak nyata,
kekal dan sementara, antara diri sejati dan yang bukan diri sejati) diungkapkan
oleh Swami Sathya Narayana bahwa kodrat manusia membuat setiap orang memiliki
kemampuan ini dalam perjuangan untuk mencapai tujuan hidupnya. Akhirnya,
untuk meraih kedamaian, jangan biarkan kelalaian menghambat atau merintangi
jalan kita. Kedamaian batin yang berlandaskan pada jnana hanya dapat
timbul dari pengalaman dan penghayatan yang sesungguhnya.