(Bagian Ketiga dari
Enam Tulisan)
Oleh: Agni Premadas[1]
Meditasi oleh
sebagian kalangan diyakini sebagai salah satu cara dalam menghadapi berbagai
problema kehidupan sekarang ini. Proses konsentrasi (avadhana) hingga penetapan
perhatian ke suatu hal (ekagatha). Praktek meditasi juga membantu
mengkoordinasikan tubuh dan pikiran menjadi lebih efektif, sehingga bisa
menjaga keseimbangan mental untuk mencapai ketenangan dan kedamaian batin.
Sebagai sebuah cara hidup, meditasi telah lama
dipraktekkan dalam peradaban Cina, India, dan Afrika Kuno hingga kebudayaan
Eropa yang relatif masih baru. Dalam buku Yoga Sutra Patanjali,
disebutkan meditasi merupakan aliran pikiran yang tidak putus-putusnya terhadap
obyek konsentrasi (tatra pratyiyakatanata dhyanam). Meditasi juga
merupakan pengetahuan tradisional yang dapat membantu seseorang
mengkoordinasikan tubuh dan pikirannya menjadi lebih efektif, sehingga
memungkinkan untuk menjaga keseimbangan mental dan mencapai ketenangan yang
mendalam.
Berbagai upaya untuk mendefinisikan meditasi sesungguhnya
akan lebih menyulitkan ketimbang membantu, karena kata-kata yang dipakai
menjelaskan dapat menghalangi arti dan bukan menyingkapkannya. Guru besar Tao,
Chuang-tzu pada abad ke-14 pernah mengatakan bahwa kata-kata ada untuk memberi
arti, namun sekali saja kita memahami arti tersebut, kita dapat menyingkirkan
kata-katanya. Jadi, arti dan manfaat meditasi akan lebih banyak diperoleh lewat
praktek dan pengalaman sendiri daripada pengertian yang diberikan oleh orang
lain.
Sebagai sebuah disiplin praktis, meditasi telah terbukti
ikut membantu membebaskan orang dari ketidaktahuan, kemelekatan jasmani dan
rohani, stress, serta beban hidup lainnya, sehingga tercapai ketenangan
dan kebahagiaan. Bahkan, tidak sedikit rumah sakit dan klinik di negara-negara
Barat menerapkan meditasi sebagai tindakan prepentif dan kuratif dalam
mengelola berbagai gangguan fisik dan psikis pasien. Dalam beberapa kasus
metode ini telah terbukti ampuh meringankan kondisi sakit si pasien.
o Pengendalian
Pikiran
Hidup meditatif menghendaki orang secara terus-menerus mengusahakan dan
mempertahankan pikirannya menerobos masuk ke ‘dalam’ (inward looking)
untuk menyadari keagungan-Nya. Namun, dalam kenyataannya hanya sedikit dari
kita yang menyadari ‘sang diri’ yang sesungguhnya. Kebanyakan diantara kita
hanya berputar-putar pada lapisan-lapisan pikiran (kosa) permukaan,
diombang-ambingkan keinginan, kesenangan, kebodohan dan kebingungan. Hal ini
menjadikan kebanyakan orang jauh lebih tertarik menikmati fenomena dunia
‘luar’ ketimbang dunia ‘dalam’.
Dalam kitab Raja Yoga Yogi Ramacharaka menjelaskan
bahwa untuk mengembangkan kesadaran dan pengertian tentang ‘sang diri’, setiap
orang harus menyadari ‘pribadi’ sebenarnya, sehingga kesadaran menjadi bagian
hidup sehari-hari, serta merupakan sumber dari pikiran dan tindakannya. Manusia
mempunyai seperangkat sifat mental yang tidak dimiliki oleh binatang yang
bersifat rendah, serta masih terdapat daya kemauan yaitu daya dari ‘sang diri’
yang merupakan daya yang diterima dari Tuhan Yang Maha Pengasih. Kenyataan
inilah yang sering disebut ‘jati diri’ atau atman.
Praktek meditasi dalam bentuknya yang paling tinggi
adalah pengendalian pikiran menuju perluasan kesadaran sebagai sebuah cara
hidup dan bukan sekedar keadaan tertentu. Kesadaran meditasi ini, menurut Naomi
Humphrey memiliki ciri-ciri yang khas. yang membedakannya dengan
kesadaran jaga, sebab mentalnya terus-menerus dipertahankan. Kesadaran
meditasi berbeda dengan keadaan bermimpi, karena citra atau gambaran yang
muncul adalah hasil yang dibentuk secara sadar dan terkendali. Kesadaran
meditasi juga sangat berbeda dari keadaan trans sebab kesadaran tidak
hilang atau dikurangi, melainkan diperluas dan dibuat lebih peka.
Kesulitan yang paling sering dialami dalam praktek meditasi adalah bagaimana
mengendalikan ‘liarnya’ pikiran. Membuat tenang pikiran berarti mendapatkan
keseimbangan dengan cara yang benar. Jika terlalu dipaksakan, ia akan pergi
semakin jauh, tetapi sebaliknya tanpa usaha apa pun, ia tidak akan ke sana, ia
luput dari titik keseimbangan. Ven Ajahn Chah menyatakan umumnya pikiran tidak
tenang, bergerak dinamis setiap saat, kecuali saat penuh energi. Pikiran yang
penuh energi yang biasa diperoleh dengan meditasi menjadikan pikiran
kokoh dan tenang, serta tidak lari kesana kemari.
Latihan meditasi dengan mengikuti cara Dhyana Vahini,
pikiran akan diarahkan hanya pada satu obyek, berpegang diri pada satu
tempat khusus, seperti puncak kepala (sahasrara cakra), hati (anahata
cakra), cahaya (jyotir) dan sebagainya. Apabila pikiran sudah
berhasil menerima segala sensasi hanya melalui bagian itu saja dari tubuh dan
tidak melalui bagian lain, maka itu disebut sebagai dharana atau lebih
dikenal dengan istilah konsentrasi. Selanjutnya bila pikiran berhasil menangkap
hal tersebut dalam waktu yang lebih lama lagi, keadaan itu dikenal sebagai dhyana
atau sekarang ngetrend di masyarakat dengan istilah meditasi.
Jadi, meditasi adalah sebuah proses yang terjadi di tempat yang melampaui
wilayah indera. Diantara konsentrasi yang terjadi pada lapis indera dan
meditasi di tempat yang melampaui wilayah indera, terdapatlah garis batas
dimana terdapat kontemplasi yang sering disebut chinthana. Jadi,
prosesnya adalah dari konsentrasi menuju kontemplasi, kemudian dari kontemplasi
ke tahap meditasi. Selama orang berpikir, dirinya sedang bermeditasi, maka itu
adalah pikiran, bukan meditasi. Selama orang tahu bahwa ia sedang bermeditasi,
maka sesungguhnya ia tidak bermeditasi sebagaimana petunjuk Sri Ramana Maharshi
Meditasi adalah proses untuk melampaui batas kesadaran supra. Banyak cobaan
yang akan dialami meditator selama menjalani proses ini, tak terkecuali para
yogi jaman dulu. Avadhutika Anandamitra Acarya mengatakan, para yogi sejak
berabad-abad yang lalu telah mengenal empat tahap dalam proses meditasi. Pertama,
disebut tahap kesulitan, yaitu ketika seseorang harus berusaha keras
menentramkan dan mengendalikan gelombang pikiran yang bergolak dan bercerai
berai. Kedua, tahap pencapaian, yaitu ketika pikiran sudah dapat
dipusatkan dan mengalami tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Ketiga,
pemusatan pikiran yang sangat teratur dan kuat, semua getaran dan energi
pikiran menjadi koheren dan pada saat ini berkembang daya-daya sakti dan
psikis. Akhirnya, yang keempat, adalah apabila perasaan berbahagia luar
biasa memancar di setiap sel pribadi. Disini orang mulai menyadari bahwa
dibandingkan dengan kebahagiaan penunggalan dengan kesadaran kosmik, maka
kegembiraan memiliki kemampuan psikis atau daya-daya sakti sebenarnya tidak
bernilai sama sekali.
o Buah Kedamaian
Apabila tahapan keempat tersebut sudah berhasil dicapai,
meditasi akan mengantarkan kita pada kesadaran dan kedamaian. Kedamaian berarti
aspek, nilai hidup yang dihubungkan dengan aspek emosi dan aspek yang
sangat penting dari kepribadian manusia, yang berbeda dengan aspek
intelek yang berhubungan dengan nilai kebenaran. Kedamaian merupakan
manifestasi dari sat, keberadaan murni dari jiwa, karena ‘kedamaian
malampaui pemahaman’. Visi sakral berkombinasi dengan kebebasan jiwa
menghasilkan kedamaian yang dalam kenyataannya merupakan “madhura-ananda’
atau sifat kebahagiaan.
Hanya ada satu cara untuk mencapai kedamaian sejati (prashanti)
yaitu dengan mengendalikan pikiran dan indera lewat meditasi. Pada tahap ini
kedamaian dihayati sebagai aliran ketenangan. Dengan menenangkan dan meratakan
keresahan mental, pusaran rasa suka-duka, cinta-benci, sedih-gembira,
harapan-keputusasaan, maka kita dapat merasakan kedamaian.
Peningkatan kedamaian, ketenangan jiwa dapat dikatakan
suatu usaha menciptakan kepribadian dan pikiran yang seimbang dalam kehidupan.
Untuk itu menurut Swami Sri Sathya Sai Baba paling tidak diperlukan dua cara. Pertama,
untuk kedamaian pikiran adalah dengan praktek ketidakterikatan, sadar
akan diri sendiri, melihat diri sendiri dari ‘luar’ dan tidak terlalu terikat
pada orang, benda, situasi dan jabatan. Ketidakterikatan adalah salah satu
teknik untuk mengembangkan kedamaian batin. Kedua, mengusahakan
kedamaian dan kebahagiaan untuk orang lain. Dengan begitu, kedamaian dan
kebahagiaan akan datang juga pada kita. Apa yang ditanam itulah yang dipetik.
Jika, yang ditanam kedamaian dan kebahagiaan dalam hati dan pikiran orang lain,
maka yang dipetik adalah buah kedamaian dan kebahagiaan juga.
Oleh karena itu, dalam bermeditasi alangkah baiknya jika kita selalu
memohon agar bisa menyayangi semua makhluk hidup (advestha sarva buthanam)
dan tidak lagi meminta hal yang remeh pada Tuhan. Berikut butir-butir mutiara
percakapan tentang “permintaan yang benar” antara seorang bakta dengan Tuhan (Sai Message, 2003).
Aku
minta Tuhan untuk mengambil deritaku.
Tuhan
berkata, Tidak
Itu
bukan untuk Kuambil, tapi untuk kau serahkan.
Aku
minta Tuhan untuk menyempurnakan anakku yang cacat.
Tuhan
berkata, Tidak
Jiwanya
sempurna, tubuhnya hanya sementara.
Aku
minta Tuhan untuk memberikan kesabaran.
Tuhan
berkata, Tidak
Kesabaran
adalah hasil dari kesengsaraan; itu tidak diberikan tetapi dihasilkan
Aku
meminta Tuhan untuk memberiku kebahagiaan.
Tuhan
berkata, Tidak
Aku
memberimu berkah-Ku, kebahagiaan terserah padamu.
Aku
meminta Tuhan jangan memberiku derita.
Tuhan
berkata, Tidak
Penderitaan
menarikmu dari perhatian duniawi dan membawamu lebih dekat pada-Ku.
Aku
meminta Tuhan untuk membuat semangatku berkembang.
Tuhan
berkata, Tidak
Kamu
harus mengembangkannya sendiri, tapi Aku akan mematangkanmu untuk membuatmu
berbuah.
Aku meminta Tuhan memberi semua
hal hingga mungkin aku dapat menikmati kehidupan.
Tuhan
berkata, Tidak
Aku
akan memberimu kehidupan supaya kau dapat menikmati semua hal.
Aku
meminta Tuhan untuk membantuku MENCINTAI yang lain seperti IA
mencintai AKU.
Tuhan
berkata…..Ahhhh, akhirnya Kamu memahaminya !