Oleh:
Agni
Premadas
Perayaan hari raya Saraswati pada
hari ini menunjukkan arti penting ilmu pengetahuan bagi kehidupan umat manusia.
Ia berfungsi tidak hanya sebagai penopang hidup, tetapi juga sebagai upaya
sadhana untuk merealisasikan penyatuan atman dengan paramatman. Tujuan
penguasaan ilmu pengetahuan adalah untuk membedah bidang ketidaktahuan dan kegelapan
(awidya) dengan pedang pembedaan (wiweka). Apakah penguasaan ilmu
pengetahuan selama ini sudah dapat meningkatkan kualitas kesadaran dan
kebijaksanaan umat Hindu?
Kemampuan Membedakan
Umat Hindu memuja Dewi Saraswati sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan setiap 210 hari
sekali, yakni pada hari Saniscara Umanis Wuku Watugunung. Perayaan hari raya
Saraswati yang jatuh pada hari ini, apabila dicermati bermakna simbolik bahwa
Sang Hyang Widhi dipercaya sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan tersebut di samping sebagai penopang hidup juga satu bentuk
pemujaan (sadhana) kepada Sang Hyang Widhi untuk merealisasikan penyatuan atman
dan paramatman (atma jnana). Oleh karena itu, ilmu pengetahuan semestinya tidak
hanya diarahkan kepada material tendency forces (preyoshakti) sebagaimana lazim
dalam mainstream pemikiran rasionalisme Barat, tetapi juga perlu diseimbangkan
dengan spiritual tendency forces (sreyoshakti) yang merupakan garis
kebijaksanaan Timur.
Fisikawan modern pengikut jalan setapak Taoisme Fritjof Capra, menggambarkan
momen paralelisme ini dalam bukunya ''Tao of Physics'', sebagai sebuah era
ketika pemikiran intelektual ''suprarasional'' dan kehidupan keagamaan yang
''suprareliegius'' bersanding dengan elegannya dalam puncak-puncak pencapaian kreativitas
manusia.
Ilmu pengetahuan sebagaimana makna Saraswati bersifat mengalir terus-menerus
tiada henti. Ibarat prana kehidupan yang tak akan pernah habis walau tiap hari
dipakai oleh semua makhluk. Begitu pentinya peranan ilmu pengetahuan dalam
kehidupan, terlihat dari betapa semarak dan tingginya penghormatan umat Hindu
(di Indonesia maupun India) terhadap Dewi Saraswati.
Tujuan penguasaan ilmu pengetahuan bagi umat Hindu adalah untuk membedah bidang
kegelapan (awidya) dengan pedang pembedaan (wiweka). Dalam ajaran Raja Yoga
telah diajarkan tiga tahap kemampuan membedakan bagian permukaan dari ''diri
kita'', yang terletak berlapis-lapis di bagian luar dengan ''diri kita'' yang
telah luas yang terletak di dalamnya.
Pertama, mendengarkan ucapan orang-orang bijaksana, membaca kitab-kitab suci,
serta naskah-naskah filsafat. Kita diperkenalkan bahwa, tanpa disadari, di
pusat jati dirilah letak sumber kehidupan yang sesungguhnya. Kedua adalah
berpikir melalui kontemplasi dan refleksi yang mendalam dan terus-menerus. Apa
yang telah muncul pada tahapan pertama sebagai kemungkinan abstrak dilihat
sebagai sesuatu yang menimbulkan kesadaran hidup tentang atman yang mendasari
kepribadian yang fenomenal ini.
Pada saat demikian kita sudah siap memasuki tahap ketiga, yakni pengadilan
identifikasi diri dari bagian hidup yang masih berlangsung hingga saat ini, ke
bagian hidup yang abadi. Cara melakukannya adalah dengan bermeditasi, tetap
mengulang-ulang nama Tuhan (japa, namasmaranam) sambil melakukan pekerjaan sehari-hari
(karma yoga).
Lapis Kesadaran dan Kebijaksanaan
Ilmu pengetahuan kebijaksanaan, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Jnana Vahini
hanya dapat diperoleh dengan penyelidikan batin yang tiada terputus. Kita harus
terus menerus menyelidiki sifat Tuhan, kenyataan tentang Sang Aku (diri yang
sejati), perubahan yang terjadi pada saat kelahiran, kematian, serta hal-hal
semacam itu. Jika umat sudah secara sadar memulai kehidupan rohani, maka perlu
diingat apa yang menjadi pilar-pilar penyangganya.
Ada lima pilar ilmu pengetahuan kebijaksanaan yang terajut dalam sebuah untaian
kata mutiara, yaitu: kebenaran (satya) adalah cinta kasih dalam pikiran;
kebajikan (dharma) adalah cinta kasih dalam tindakan; kedamaian (shanti) adalah
cinta kasih dalam perasaan; cinta kasih (prema) adalah dasar pembentukan
karakter; serta tanpa kekerasan (ahimsa) adalah cinta kasih dalam pengertian.
Pendalaman ilmu pengetahuan kebijaksanaan lebih banyak menekankan pada
penyangkalan diri serta disiplin dalam melaksanakan kewajiban sesuai tahap
kehidupan. Suatu kali ketika Ramakrishna ditanya, ''apakah yang diajarkan
Bhagawad Gita?'' Dia menjawab, ''Jika engkau mengucapkan kata 'Gita' beberapa
kali, engkau akan mulai mengatakan 'Tagi'. Tagi berarti yang telah melaksanakan
penyangkalan diri. Dengan kata lain, cita-cita penyangkalan diri dan disiplin
adalah jiwa ajaran Bhagawad Gita.
Dalam Intisari Bhagawad Gita seluruh ajaran Bhagawad Gita diringkas dengan satu
kata: mamadharma 'kewajibanku atau pekerjaanku'. Umat Hindu harus melaksanakan kewajiban
yang telah ditentukan sesuai dengan kemampuan serta sebaik mungkin mengerjakan
tugas sesuai dengan tahapan kehidupan. Disiplin dalam melaksanakan kewajiban
dan kehidupan spiritual berarti menginstruksikan diri sendiri agar giat
menumbuhkan kesadaran luhur kita. Praktik yang sukses untuk mengubah diri
sendiri memerlukan disiplin batin tingkat tinggi. Kita harus secara
terus-menerus mempelajari ajaran dan praktik disiplin spiritual (sadhana) agar
sampai pada tujuan.
Di dalam Rgveda VII.32.9 dinyatakan: ''Wahai orang-orang yang berpikiran
mulia, janganlah tersesat. Tekunlah dan dengan tekad yang keras untuk mencapai
tujuan-tujuan yang tinggi. Bekerjalah dengan giat untuk mencapai tujuan. Orang
yang giat dan tekun akan berhasil, hidup bahagia dan menikmati kemakmuran. Para
dewa tidak pernah menolong orang yang bermalas-malas''. Dengan demikian,
disiplin dan penyelidikan batin yang tiada henti, kesadaran dan ketabahan,
serta ketekunan merupakan suatu keharusan dalam menjalankan sadhana untuk
meningkatkan kesadaran dan kebijaksanaan.
Di samping itu, dalam masyarakat posmodern saat ini - sebagaimana pesan Swami
Sathya Narayana - peningkatan kualitas kesadaran dan kebijaksanaan umat dapat
dimulai dengan sathyam (keselarasan antara perkataan dan perbuatan), darma
(kebajikan), nyaaya (keadilan), ritam (keselarasan antara pikiran, perkataan
dan perbuatan manusia), samyama (pengekangan diri), dan damam (pengendalian
indera). Jadi, ilmu pengetahuan kebijaksanaan dan keutamaan sangat diperlukan
agar dapat melakukan penyelidikan batin dan penyangkalan diri secara terus
menerus dengan disiplin yang tinggi (Nitisastra, V.1).
Dengan penguasaan ilmu pengetahuan kebijaksanaan akan dapat membangkitkan
kesadaran akan sifat-sifat diri sendiri yang sejati. Ilmu pengetahuan sekuler
lebih berfokus pada rasionalitas, padahal hidup membutuhkan lebih banyak
kesadaran. Pendidikan modern lebih banyak mengembangkan kecerdasan dan
keterampilan, tetapi kurang memperhatikan penggembangan kesadaran dan budi
pekerti. Akibatnya, ilmu pengetahuan dalam sistem pendidikan modern terdistorsi
serta tidak berhasil membangkitkan kesadaran sebagian besar umat.
Oleh karena itu, serangkaian perayaan Hari Raya Saraswati saat ini kita perlu
mendekonstruksi kemapanan hegemoni ilmu pengetahuan Barat yang lebih
berdasarkan rasionalitas, dan menyejajarkannya dengan ilmu kebijaksanaan Timur
dengan sentuhan nuansa spiritualnya. Dengan begitu, umat di samping cerdas juga
memiliki kesadaran dan moralitas, seperti: viveka, vairagya dan vichakshana
sehingga mereka memiliki tangan-tangan yang sigap melayani, hati yang penuh
cinta kasih, serta pikiran yang suci nan jernih.