Agni
Premadas
Jalan
yang mulia adalah sikap bersahabat dengan seluruh dunia dan memandang semua
umat manusia sebagai sanak saudara. Siapa saja yang membeda-bedakan penganut
agama sendiri dengan agama lain memberi pendidikan keliru kepada kaum penganut
agamanya sendiri dan membuka jalan untuk pengkhianatan agama
(Mahatma Gandhi).
A Purwaka
Manifestasi
empirik penurunan rasa aman dan damai seiring dengan berbagai teror
kerusuhan yang terjadi di Indonesia dalam lima tahun terakhir ini terlihat
semakin nyata dan transparan. Bersamaan dengan itu semakin mudah ditemukan
fenomena homeless, dimana semua persoalan berkisar antara perbedaan
etnis, pandangan politik dan dogmatisme agama. Institusi-institusi kenegaraan
mengalami keruntuhan wibawa (Triguna, 2002) dan tidak dapat menjalankan tugas
dan fungsinya secara normal.
Terjadinya
peristiwa kerusuhan diberbagai tempat di berbagai persada Nusantara yang
menyertai perjalanan reformasi dalam tatanan kehidupan bernegara pun merembet
ke Bali. Walau tidak menimbulkan konflik horisontal yang berarti, adanya isu
untuk mencetuskan ‘Bali Merdeka’ karena tidak nyambungnya aspirasi rakyat
beberapa waktu lalu menyiratkan bahwa orang Bali mulai merasa tidak at home
sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibangun dalam bingkai
Bhineka Tunggal Ika-kesatuan dalam perbedaan. Orang Bali seakan terasing di
bumi persada sendiri atau dalam terminologi Bergerian disebut
‘ketidakberumahan’.
Fenomena
‘ketidakberumahan’ tersebut kemudian diikuti oleh tragedi bom Kuta 12 Oktober
2002 dan tragedi bom Jimbaran 1 Oktober 2004 lalu yang membawa perubahan sangat
besar bagi kehidupan masyarakat Bali. Tidak saja perubahan secara ekonomi, yang
menurunkan secara drastis jumlah kunjungan wisatawan asing yang menimbulkan
efek domino bagi penurunan pendapatan masyarakat, pemutusan hubungan kerja dan
seterusnya, tetapi juga menggeser sendi-sendi toleransi kehidupan
masyarakat .
Untuk
mengembalikan keamananan Bali pasca tragedi bom Kuta dan Jimbaran salah satu
upaya yang kini sedang dilakukan oleh beberapa pemerintah Kabupaten di Bali
adalah menertibkan administrasi kependudukan. Kebijakan ini dalam prakteknya
tidak sedikit memunculkan kekhawatiran bagi penduduk pendatang. Apabila tidak
tersosialisasikan dengan baik maka kebijakan ini akan dapat menimbulkan
keresahan dan ketegangan dalam masyarakat yang tidak lagi homogen. Munculnya
rasa curiga dan tidak senang pada etnis, suku dan agama tertentu bisa saja
menyertai implementasi kebijakan tersebut pada level ‘grassroot’ yang
selama ini dimotori oleh para pecalang. Pemilahan sosial masyarakat baik
berdasarkan etnis, ras maupun agama akan menjadi semakin tajam, sebaliknya
perekat kultural yang selama ini telah ada tampak semakin sirna.
Persoalannya
kemudian adalah bagaimana kita mengetahui manifestasi empirik diferensiasi
sosial masyarakat multikultur (Taylor, 1994 dan Plano, 1989) serta bagaimana
menciptakan kedamaian dalam masyarakat multikultur tersebut yang pada
kenyataanya memang sangat rentan terhadap konflik.
B Diferensiasi Sosial
Struktur
sosial masyarakat ditentukan oleh parameter yang membentuknya, yakni kriteria implisit
yang membedakan para anggota masyarakat didalam hubungannya satu sama lain.
Dengan perkataan lain, parameter struktur sosial adalah atribut yang dimiliki
oleh para anggota masyarakat, yang membedakan posisi sosial dan dengan demikian
mempengaruhi hubungan peran mereka satu sama lain. Dua jenis parameter struktur
sosial menurut Peter M. Blau: pertama, nominal parameter, yakni
pembagian warga masyarakat kedalam kelompok-kelompok dengan batas-batas yang
bersifat diskrit tanpa memiliki konotasi perbedaan jenjang (suku bangsa, agama,
ras dan sejenisnya), kedua, graduate parameter, yakni pendistribusian
para anggota masyarakat kedalam tertib status berjenjang (pendapatan, kekayaan,
kekuasaan dan semacamnya) yang secara teoritik tidak membedakan status yang
satu dari yang lain secara diskrit melainkan secara kontinus.
Dua bentuk diferensiasi sosial dapat dibedakan sebagai
konsekuensi bekerjanya kedua jenis parameter tersebut, yaitu: 1) heterogenitas
(heterogeneity) yang merupakan diferensiasi sosial berdasarkan parameter
yang pertama; dan 2) kesenjangan sosial (inequality),yang
merupakan diferensiasi berdasarkan parameter kedua. Kedua bentuk diferensiasi
itu, baik oleh kekuatan masing-masing maupun oleh dampak hubungan mereka satu sama
lain, pada gilirannya memiliki konsekuensi sangat penting terhadap proses
integrasi suatu masyarakat, dan pada tingkat lain terhadap pertumbuhan suatu
sistem demokrasi. Argumen bahwa semakin tinggi tingkat heterogenitas atau
kesenjangan sosial masyarakat semakin menghambat terjadinya hubungan sosial dan
proses integrasi sosial.
Hubungan antara berbagai parameter struktur sosial dapat mengambil bentuk
“interseksi”, atau sebaliknya “konsolidasi” Yang pertama terjadi apabila
diferensiasi sosial berdasarkan suatu parameter jatuh bersilangan (crosscutted)
dengan diferensiasi sosial berdasarkan parameter yang lain, sedemikian
rupa sehingga “perbedaan” keanggotaan banyak orang didalam berbagai kelompok
atau status berdasarkan suatu parameter menempatkan mereka didalam “kesamaan”
keanggotaan mereka didalam kelompok atau status berdasarkan parameter yang
lain. Dengan perkataan lain, interseksi terjadi apabila berbagai parameter
struktur sosial secara sistematis tidak saling berkorelasi satu sama lain.
Konsolidasi parameter struktur sosial, sebaliknya, terjadi apabila diferensiasi
sosial berdasarkan suatu parameter tertentu jatuh berhimpitan atau bertumpang
tindih (consolidated) dengan diferensiasi sosial berdasarkan parameter
yang lain, sedemikian rupa sehingga perbedaan keanggotaan banyak orang didalam
berbagai kelompok atau status tertentu secara sistematis “diperkuat” oleh
perbedaan keanggotaan kelompok atau status berdasarkan parameter lain. Di dalam
bahasa Gabriel A. almond, (1977) sebagaimana dipergunakan didalam skema
taksonominya, yang pertama menciptakan struktur sosial dengan diferensiasi yang
tinggi dan dengan kebudayaan yang bersifat “sekuler” serta ‘homogeneus”,
sementara situasi yang kedua membentuk struktur masyarakat dengan diferensiasi
yang rendah dan kebudayaan yang bersifar “majemuk”.
Diferensiasi sosial dalam masyarakat multikultur tersebut memang sangat
rentan terhadap potensi konflik. Beberapa potensi konflik, bukan saja yang
bersifat laten, melainkan yang sudah termanifestasi secara empirik di Bali
antara lain (Pitana, 2001):
1.
Konflik antar
etnis khususnya etnis Bali dengan non-Bali. Potensi ini semakin membesar dengan
munculnya kristalisasi etnis di antara manusia Bali yang semakin membuat tembok
pembatas antara ‘kekitaan’ dengan ‘kemerekaan’ (we-ness dengan other-ness).
Beberapa wacana sosial juga sudah menjadi indikator jelas mengenai hal ini.
Kenyataan ini berasosiasi dengan proses indigenisasi masyarakat Bali serta
meningkatnya in-migrasi dari luar pulau.
2.
Konflik
antar-kelas, yang berlatar belakang ekonomi. Masyarakat kelas ekonomi bawah
yang merasa termaginalisasi sudah mulai memposisikan diri secara frontal dengan
kaum kaya, khususnya pengusaha (investor). Tindakan anarkhi pun mulai
menggejala. Hal ini terlihat pada kasus-kasus pemogokan kaum buruh di berbagai
industri pariwisata.
3.
Konflik antar
kelompok homo-aequalis dan homo-hierarchicus. Kelompok homo-aequalis
dengan ideologi egalitarianisme ingin melihat masyarakat Bali
yang demokratis, tanpa adanya diskriminasi atas dasar kelahiran (keturunan). Di
pihak lain, kelompok homo-hierarchicus dengan segala upaya
mempertahankan status quo hirarki tradisionalnya. Konflik yang sudah
berlangsung sejak tahun 1920-an ini secara awam dikenal sebagai konflik kasta
(walaupun secara akademis istilah ini kurang tepat).
4.
Konflik antara
Hindu tradisional-ritualistik dengan Hindu modern-humanistik. Meskipun tidak
terlalu menonjol, sudah ada gejala-gejala pertentang antara penganut Hindu
tradisi, yang menekankan pada ritus-ritus besar dengan penekanan Bali, dengan
Hindu modern yang menekankan pengamalan Hindu dengan konsep ‘back to Veda’ ,
yang dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai ‘aliran baru’.
Berkaitan dengan
berbagai potensi konflik tersebut, makin menyadarkan kita bahwa masyarakat
multikultur di Bali tidak selamanya kondusif bagi tumbuhnya toleransi dan
demokrasi, apalagi dalam masyarakat Bali yang pemilahan, fragmentasi serta
polarisasi sosialnya cukup tinggi. Mengikuti teori integrasi sosial Furnivall
(Nasikun, 1988) sejumlah properti hubungan-hubungan sosial yang biasa kita
temukan sebagai konsekuensi dari struktur masyarakat yang multikultur adalah:
1) kecenderungan berkembangnya perilaku konflik di dalam hubungan-hubungan
antar berbagai komunitas atau kelompok; 2) berkembangnya kecenderungan para
pelaku konflik melihat konflik bukan sebagai suatu game melainkan
sebagai suatu total war; dan 3) berkembangnya proses integrasi sosial
berdasarkan dominasi oleh suatu komunitas atau kelompok di atas komunitas atau kelompok
lain.
Dikatakan oleh Afan Gaffar (1988) dalam sistem sosial yang tingkat
pemilahannya tidak lagi bersifat membaur (cross cuting) akan tetapi
bahkan bersifat kumulatif, maka toleransi dan demokrasi akan sulit untuk
dipelihara, sebab biasanya konflik yang ditimbulkannya tidak lagi bersifat
memusat (centripetal) akan tetapi bersifat memencar (centrifugal).
Dalam situasi konflik yang sifatnya membaur maka konflik akan menjadi
sangat sulit diselesaikan.
Kondisi deferensiasi sosial yang demikian serta berbagai ancaman potensi
konflik yang mneyertainya makin menyadarkan kita bahwa upaya untuk lebih
mengaktualisasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai kebersamaan dalam
masyarakat multikultur adalah merupakan sebuah keniscayaan.
C. Menciptakan Kedamaian
Kemajemukan masyarakat memang menuntut adanya aktualisasi nilai-nilai bersama
(Wiratmaja, 2001) yang mempunyai daya untuk mengatasi segenap perbedaan dalam
konteks negara bangsa. Upaya ini penting dilakukan agar suasana disharmonis
yang dimunculkan akibat konflik bisa dikembalikan lagi menjadi kondisi harmonis
dan damai dalam segala kehidupan masyarakat multikultur di Bali.
Kedamaian memang
penting sekali bagi masyarakat. Memiliki kedamaian berarti memiliki segalanya.
Tanpa kedamaian, tiada kegembiraan dalam hal apapun. Meskipun kedamaian
merupakan pembawaan manusia, beberapa faktor internal didalam diri setiap
orang, seperti kemarahan dan keserakahan menekan sifat ini. Sebenarnya apa dan
bagaimana kedamaian itu ?
Kedamaian adalah aspek,
nilai hidup yang dihubungkan dengan aspek “emosi” dan aspek yang sangat penting
dari kepribadian manusia dan berbeda dengan aspek “intelek” yang berhubungan
dengan dengan nilai kekerasan. Setidaknya ada tiga dimensi kedamaian dilihat
dari perspektif manusia biasa, yaitu (J. Jagadeesan):
a. Tidak adanya
perselisihan luar yang aktif
b. Tidak adanya
keadaan bermusuhan atau pertikaian (dalam batin) dengan orang lain.
c. Rasa hening dan
tenang dalam diri, ketenangan batin
Jika dilihat
keadaan dunia sekitar ternyata bahwa di beberapa bagian dunia dimensi pertama
sekalipun tidak ditemukan. Di baqian lain tidak ada perang tetapi ada suasana
permusuhan dan rasa curiga-mencurigai, yang mengganggu kedamaian.
Akan tetapi, apa
yang sangat menarik ialah, di tengah-tengah tidak adanya kedamaian dapat
ditemukan orang-orang yang termasuk dimensi ketiga yaitu orang-orang yang
memiliki ketenangan batin, yang dapat bertahan terhadap “keganasan nasib”
(meminjam istilah Shakespeare) dan memiliki ketenangan dan kesentosaan batin,
yang menjadi inspirasi bagi orang banyak.
Dengan begitu
setidaknya terdapat dua metode pendekatan untuk mengupayakan kedamaian dalam
masyarakat multikultur, yaitu:
1. Metode
Impersonal
Segenap
komponen masyarakat Bali semestinya bekerjasama, bahu membahu, bagaimana agar
potensi konflik yang laten tidak manifest. Lebih penting lagi, bagaimana
memperkecil potensi konflik tersebut dengan berbagai tindakan preventif. Kalau
semua dilepas, tanpa intervensi, mengikuti ‘hukum pasar bebas’, maka niscaya
potensi konflik dapat berkembang menjadi konflik terbuka. Kalau ini terjadi
maka citra keamanan Bali yang sudah terpuruk akibat peledakkan bom Kuta akan
semakin hancur.
Perdamaian
tidak dapat diciptakan dengan kekerasan, karena kekerasan hanya mampu menabur
dendam. Perdamaian hanya dapat diwujudkan jika setiap orang memiliki semangat
toleransi. Kondisi ini dapat diwujudkan apabila kita mau dan mampu
berintrospeksi diri, mawas diri dan melapangkan wawasan. (Suja, 2002). Untuk
upaya itu bisa dikembangkan dua konsep penting yang pernah disampaikan Pitana
(1999) untuk menciptakan rasa aman dan damai yang merupakan conditio sin
qua-non Bali yaitu: Pertama: konsep “perbedaan tetap
dikembangkan tetapi bermuara pada kebersamaan, sebagaimana dicerminkan oleh
model dan praktek di Pura Besakih; Kedua, konsep multiple identity
yang disertai pelaksanaan sesana manut linggih dan linggih manut sesana.
Konsepsi
impersonal lainnya yang dapat dipergunakan untuk menciptakan kedamaian dan mengeliminir
potensi konflik yang ada adalah ahimsa, yang sebelumnya telah dipopulerkan oleh
Mahatma Gandhi (1988). Menurut Gandhi, ahimsa diperlukan untuk melindungi atma,
demi melindungi kehormatan seseorang. Bukanlah ahimsa katanya, bila kita
hanya mencintai orang yang mencintai diri kita. Sikap ahimsa yang sejati
adalah jika kita mencintai orang yang membenci kita. Dengan menggunakan
metafora ia menyatakan bahwa hati yang teramat keras dan kebodohan yang paling
hina akan luluh jika disinari oleh matahari penderitaan yang tidak mengandung
rasa amarah atau dengki. Dalam ungkapan Swami Vivekananda dikatakan bahwa
pengakuan kebutuhan-kebutuhan yang wajar dari perbedaan makhluk hidup sama
artinya dengan pengakuan terhadap adanya kesatuan kehidupan (Ranganathananda,
1990). Nilai ahimsa adalah faktor yang membawa keselarasan dan kesatuan
di dalam dan di luar diri kita. Ahimsa mengembangkan seluruh aspek
kepribadian sehingga manusia mencapai nilai yang luhur. (Jumsai, tt.)
Penerapan
beberapa konsep itu membawa kita kepada suatu pemahaman bahwa hakekat dari
manusia hidup di dunia ini adalah bersaudara. Ahimsa adalah ciri
pengejawantahan masyarakat yang damai, masyarakat yang pantang menggunakan
cara-cara kekerasan. Perbedaan wujud dapat dipandang sebagai manifestasi
rakhmat dan keagunganNya, karena dalam setiap perbedaan itu sesungguhnya ada
satu sumber kehidupan yang sama (Bhinneka Tunggal Ika). Pada tataran praksis
hal itu bisa saja dilakukan dengan meningkatkan dialog, forum, dharma
santi (silaturahmi) dan kegiatan-kegiatan lain yang sejenis diantara
berbagai komponen masyarakat lintas sukubangsa, agama dan ras untuk
meningkatkan kebenaran persaudaraan dan kesepahaman tanpa memandang perbedaan
ras, agama, pendidikan dan status ekonomi.
2. Metode
Personal
Dalam ilmu
pengetahuan modern manusia dikelompokkan kedalam tiga kategori menurut pola
tingkah laku, yaitu yang mementingkan lahiriah (extrovert), yang
mementingkan diri sendiri (introvert) dan yang mempunyai kepribadian
yang selaras. Jadi dalam tingkatan satu sampai sepuluh, extrovet dan introvert
menduduki posisi satu dan sepuluh, kedua-duanya tidak diinginkan dan dapat
dianggap “terlarang” dalam kehidupan yang sehat. Sungguh menarik, para
rohaniawan kuno di India telah mengemukakan pola tingkah laku ini dan menamakan
rajas (extrovert, sangat aktif, bernafsu, gairah, amarah), tamas
(introvert, lesu, bodoh, malas) dan satwa (kepribadian yang seimbang).
Peningkatan
kedamaian, ketenangan jiwa dapat dikatakan suatu usaha menciptakan kepribadian
yang satwik dan seimbang, pikiran seimbang dan lain-lain dalam hidup
kita. Sudah tentu upaya pertama untuk kedamaian pikiran adalah ketidakterikatan,
sadar akan diri sendiri, melihat diri sendiri dari luar dirimu dan tidak
terlalu terikat pada orang, benda, situasi dan jabatan. Ketidakterikatan adalah
salah satu teknik untuk mengembangkan kedamaian batin. Cara kedua adalah
mengusahakan kedamaian dan kebahagiaan untuk orang lain (bukan semata-mata
untuk diri sendiri) dengan sendirinya kedamaian dan kebahagiaan ini akan datang
pada kita. “Apa yang kita tanam itulah yang kita petik” jika kita menanam
kedamaian dan kebahagiaan dalam hati dan pikiran orang lain kita akan menuai
kedamaian dan kebahagiaan pula dalam jumlah yang berlimpah-limpah.
Pentingnya wiweka
(kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan salah, nyata dan idak nyata,
kekal dan sementara, antara diri sejati dan yang bukan diri sejati) diungkapkan
oleh Svami Sathya Narayana (1995) bahwa kodrat manusia membuat setiap orang
mempunyai wiweka. Kemampuan ini diperlukan dalam perjuangannya untuk mencapai
ideal yang dicita-citakan. Jangan biarkan kelalaian menghambat atau merintangi
jalan kita. Kedamaian batin yang dilandaskan pada jnana hanya dapat
timbul dari pengalaman dan penghayatan yang sesungguhnya.Dalam tataran praksis
kedamaian dalam diri tidaklah didapat dengan seketika, tetapi mengikuti sebuah
kronologis dan pola tertentu, yang menurut Sanjeev Chaudhry (Sadia, tt),
dikatakan bahwa unsur pokok atau puncak gedung nilai-nilai kemanusiaan ialah
cinta kasih. Cinta kasih sebagai pikiran ialah kebenaran. Cinta kasih dalam
bentuk perbuatan ialah kebajikan. Cinta kasih sebagai perasaan ialah kedamaian,
dan cinta kasih sebegai pengertian adalah pantang kekerasan (ahimsa).
Cinta kasih adalah sari pati, benang yang mengikat erat keempat pilar lainnya.
Bila cinta kasih berkembang, yang lain-lain akan mengalir dengan sendirinya.
Akhirnya, sebuah metode diakronik-induktif untuk
mewujudkan kedamaian, yang merupakan wejangan Svami Sathya Narayana patut
menjadi bahan kontemplasi kita bersama.
When there is righteousness in the heart,
There is beauty in the character,
When there is beauty in the character,
There is harmony in the home,
When there is harmony in the home,
There is order in the nation,
When there is order in the nation,
There is peace in the world.
Purna Wacana
Masyarakat multikultur di
Bali tidak selamanya kondusif bagi tumbuhnya toleransi dan demokrasi, apalagi
dalam masyarakat Bali yang pemilahan, fragmentasi serta polarisasi sosialnya
tergolong cukup tinggi.
Beberapa potensi konflik yang bukan saja laten tapi sudah termanifestasi
secara empiris di Bali antara lain: pertama, konflik antar etnis
khususnya etnis Bali dengan non-Bali, seiring dengan implementasi kebijakan
penertiban penduduk pendatang pasca peledakan bom di Kuta. Kedua,
konflik antar-kelas, yang berlatar belakang ekonomi. Masyarakat kelas ekonomi
bawah yang merasa termaginalisasi sudah mulai memposisikan diri secara frontal
dengan kaum kaya, khususnya pengusaha (investor). Hal ini terlihat pada
kasus-kasus pemogokan kaum buruh di berbagai industri pariwisata.
Ketiga,
konflik antar kelompok homo-aequalis dan homo-hierarchicus.
Kelompok homo-aequalis dengan ideologi egalitarianisme ingin
melihat masyarakat Bali yang demokratis, tanpa adanya diskriminasi atas
dasar kelahiran (keturunan). Di pihak lain, kelompok homo-hierarchicus dengan
segala upaya mempertahankan status quo hirarki tradisionalnya. Konflik yang
sudah berlangsung sejak tahun 1920-an ini secara awam dikenal sebagai konflik
kasta (walaupun secara akademis istilah ini kurang tepat).
Keempat, konflik antara Hindu tradisional-ritualistik dengan Hindu
modern-humanistik. Meskipun tidak terlalu menonjol, sudah ada gejala-gejala
pertentang antara penganut Hindu tradisi, yang menekankan pada ritus-ritus
besar dengan penekanan Bali, dengan Hindu modern yang menekankan pengamalan
Hindu dengan konsep ‘back to Veda’ , yang dalam bahasa sehari-hari
disebut sebagai ‘aliran baru’.
Kelima,
konflik antar antar Banjar dan Desa Adat, dan keenam, konflik antar
kabupaten/kota, terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah yang memunculkan
euforia secara berlebihan.
Berbagai ancaman potensi konflik yang demikian makin menyadarkan kita bahwa
upaya untuk lebih mengaktualisasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai
kebersamaan dalam masyarakat multikultur adalah merupakan sebuah keniscayaan.
Ada dua metode
pendekatan untuk mengupayakan kedamaian dalam masyarakat multikultur, yaitu: pertama,
Metode Impersonal, yakni dengan mengajak segenap kompo*nen masyarakat
Bali untuk bekerjasama, bahu membahu, bagaimana agar potensi konflik yang laten
tidak manifest. Kedua, Metode Personal, yakni: peningkatan
kedamaian melalui usaha menciptakan kepribadian yang satwik dan seimbang
serta mengembangkan kedamaian batin.
Dengan kedua metode pendekatan itu diharapkan mampu mengembalikan pondasi
masyarakat Bali yang berlandaskan kebudayaan yang dijiwai agama Hindu dengan
ditopang oleh solidaritas sosial dan toleransi yang tinggi serta mengedepankan
paradigma kedamaian, keseimbangan dan harmoni yang dinamis.
Sebagai solusinya
diperlukan upaya dialog berkelanjutan secara vertikal dan horisontal bagi
kelompok rawan konflik. Melakukan kegiatan aksi bersama diantara kelompok yang
beragam yang berorientasi pada tujuan dan ikatan bersama. Mengoptimalkan
keadilan dan memantapkan keejahteraan publik, serta yang tak kalah penting
adalah merevitalisasi rasa damai dan aman, serta menghilangkan ancaman terhadap
psiko-socio-cultural masyarakat Bali.