(Bagian Keempat
dari Enam Tulisan)
Oleh: Agni Premadas[1]
Dengan meditasi,
seseorang senantiasa dilatih berkonsentrasi (avadhana) agar bisa menetapkan
perhatian ke suatu hal (ekagatha). Begitu pula, praktek meditasi membantu
mengkoordinasikan tubuh dan pikiran kita menjadi lebih efektif, sehingga ia
akan bisa menjaga keseimbangan mental dan mencapai ketenangan yang mendalam
(Svami Sathya Narayana).
Meditasi telah dikenal di India sejak lebih dari 7000
tahun yang lalu dan terus berkembang serta dipraktekkan oleh sebagian
masyarakat sampai saat sekarang. Meditasi telah tercatat dalam sejarah umat
manusia sebagai salah satu cara untuk meningkatkan ketenangan, ketenteraman,
kedamaian, kesucian dan kebahagiaan dalam kehidupan. Buku paling tua yang
menerangkan meditasi adalah Yoga Sutra karya Patanjali. Buku ini cukup
besar pengaruhnya terhadap penerbitan buku-buku meditasi berikutnya. Selain
Yoga Sutra, buku yang cukup tua usianya dan banyak membahas meditasi
adalah Srimad Bagavatam karya Bhagavan Vyasa, khususnya dalam
skanda XI, sloka 32-46.
Namun belakangan ini makin banyak terdapat berbagai ulasan yang berusaha
mengilmiahkan praktek meditasi agar dapat diterima oleh lapisan masyarakat yang
makin kritis dan rasional. Upaya ini bisa dikatakan sedikit tertunda, karena
banyak dipengaruhi oleh ketidaktahuan masyarakat tentang meditasi dan
adanya prasangka yang beraneka ragam. Kalangan cerdik pandai umumnya kurang
mengetahui kekayaan yang terkandung dalam meditasi, sehingga sedikit sekali
yang kemudian tertarik untuk menyelidikinya. Disamping itu adanya hubungan yang
erat antara meditasi dengan agama tertentu juga membuat para cerdik pandai
sukar menerimanya sebagai suatu bahan penelitian karena dianggap tidak ilmiah.
Padahal, Tart pernah mernyatakan bahwa sebenarnya meditasi dapat dipelajari
tanpa orientasi religius dan tidak perlu dihubungkan dengan pengalaman mistik
tertentu.
Meditasi sendiri , menurut Udupa dapat dikategorikan sebagai ilmu
pengetahuan tradisional yang dapat membantu seseorang mengkoordinasikan tubuh
dan pikirannya menjadi lebih efektif, sehingga memungkinkan orang tersebut
untuk menjaga keseimbangan mental dan mencapai ketenangan yang mendalam.
Meditasi juga dapat dipergunakan sebagai tindakan prepentif dan kuratif dalam
mengelola berbagai gangguan fisik dan psikis.
Dalam buku Yoga Sutra Patanjali Bab III Sutra 2 disebutkan meditasi
adalah: Tatra pratyiyakatanata dhyanam (aliran pikiran yang tidak
putus-putusnya terhadap obyek konsentrai) dari Astangga Yoga (delapan bagian
yoga sebagai disiplin praktis guna membantu membebaskan orang dari kebodohan,
ikatan jasmani dan rohani, stress, dan beban hidup lainnya sehingga ia
mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan). Di sepanjang sejarah umat manusia
tidak banyak orang yang secara terus-menerus mengusahakan dan mempertahankan
pikirannya menerobos masuk ke alam “kesadaran supra” untuk menyadari keagungan
dan kekuatan-Nya. Dan lebih sedikit lagi jumlah mereka yang menyadari “sang
diri” yang sesungguhnya. Kebanyakan kita berputar-putar pada lapisan-lapisan
pikiran (kosa) permukaan, diombang-ambingkan keinginan, kesenangan,
kebodohan dan kebingungan.
Yoga Ramacharaka dalam bukunya Raja Yoga
menjelaskan bahwa untuk mengembangkan kesadaran dan pengertian tentang “sang
diri”, setiap orang harus menyadari “pribadi” sebenarnya sehingga kesadaran
menjadi bagian hidup sehari-hari, dan merupakan sumber dari pikiran dan
tindakannya. Manusia mempunyai seperangkat sifat mental yang tidak dimiliki
oleh binatang yang bersifat rendah, serta masih terdapat daya kemauan yaitu
daya dari “sang diri” yang merupakan daya yang diterima dari Tuhan Yang Maha
Pengasih. Dengan demikian apabila kita renungkan lebih mendalam, terbayang
bahwa dalam rohani manusia terdapat sesuatu yang tidak berubah. Pada waktu kita
dilahirkan menjadi anak, menjadi dewasa, tua dan mati, terpikir bahwa ada
sesuatu dalam diri yang tidak berubah, mandiri, jujur, adil, suci dan langgeng
atau abadi. Inilah yang dinamakan “jati diri” atau atman dalam agama
Hindu, atau sirr menurut agama Islam. Untuk menemukan “jati diri” atau
“sang diri” inilah sebenarnya seseorang perlu melakukan meditasi.
Disamping itu, melalui meditasi, seperti digambarkan oleh Svami
Vivekananda, pikiran kita diarahkan hanya pada satu obyek, berpegang diri pada
tempat khusus yang satu, seperti puncak kepala (sahasrara cakra), hati (anahata
cakra), cahaya (jyotir) dan lain sebagainya. Apabila pikiran sudah
berhasil menerima segala sensasi hanya melalui bagian itu saja dari tubuh dan
tidak melalui bagian lain, maka itu disebut sebagai dharana atau lebih
dikenal dengan istilah konsentrasi. Selanjutnya bila pikiran berhasil menangkap
hal tersebut dalam waktu yang lebih lama lagi, keadaan itu dikenal sebagai dhyana
atau dengan istilah lainnya dikenal sebagai meditasi. Jadi, meditasi adalah
sebuah proses yang terjadi di tempat yang melampaui wilayah indera. Diantara
konsentrasi yang terjadi pada lapis indera dan meditasi di tempat yang
melampaui wilayah indera, terdapatlah garis batas dimana terdapat kontemplasi
yang sering disebut chinthana. Sedangkan tahapan samadhi, merupakan
tahapan yang dialami setelah meditasi. Didalam tahapan ini, seseorang telah
kehilangan kesadaran fisik dan menuju pada tahap penyatuan kesadaran spiritual
dengan kesadaran Tuhan yang merupakan sumber kedamaian dan kebahagiaan yang
hakiki.
Selama proses meditasi, pikiran senantisa diarahkan
secara langsung ke dalam diri dengan menutup semua organ-organ sensorik dari
segala stimuli dunia luar. Pada keadaan biasa dan dalam keadaan sadar, individu
menggunakan organ-organ sensoriknya secara bebas seperti melihat gambar,
melihat alam sekitar, makan enak, mendengarkan musik, mencium aroma di
sekitarnya dan lain sebagainya. Organ-organ sensorik ini secara terus-menerus
menstimuli otak, sehingga menghasilkan berbagai respon dalam jarak
psikosomatik tubuh, tergantung pada keadaan stimuli dari luar.
Dengan praktek meditasi secara konstan, individu dapat
secara bertahap mengurangi respon tubuh terhadap segala stimuli tersebut
menjadi minimal sehingga pikiran menjadi tenang serta dapat diarahkan untuk
melakukan fungsi yang lebih berguna. Disamping itu, individu juga dapat
mengontrol fungsi vital organ tubuh seperti jantung, sistem alat pencernaan,
atau penyerapan oksigen oleh paru, yang bila dalam keadaan normal berada di
bawah kontrol sistem syaraf otonom. Dengan meditasi juga dapat menstabilkan
perubahan emosi sehingga mencegah fungsi abnormal organ-organ vital tubuh.
Untuk mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam praktek
meditasi, maka para guru yoga sebagaimana yang pernah ditulis Anandamitra,
sejak berabad-abad lamanya telah membedakan adanya empat tingkatan kemajuan
dalam meditasi, yaitu:
Pertama, disebut tahap kesulitan, yaitu ketika
seseorang harus berusaha keras menentramkan dan mengendalikan gelombang
pikirannya yang bergolak dan bercerai berai. Pada tingkat ini orang yang tidak
sabar banyak yang meninggalkan latihan meditasinya. Kedua, tahap
pencapaian, yaitu ketika pikiran sudah dapat dipusatkan dan mengalami
tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Orang yang sempat menikmati kebahagiaan
ini, walau hanya sekejap, menyatakan bahwa itulah pengalaman kehidupan yang
tertinggi nilainya. Ketiga, pemusatan pikiran yang sangat
teratur dan kuat, semua getaran dan energi pikiran menjadi koheren dan pada
saat ini berkembang daya-daya psikis. Tahap ini dikatakan sebagai tahap yang
sangat berbahaya, karena godaan dan rintangan akan sering terjadi. Bahkan
yogi-yogi besarpun sering tergelincir dan meninggalkan jalan kesucian serta
kebenaran karenanya. Akhirnya, yang keempat, adalah apabila perasaan
berbahagia luar biasa dan tidak terbendung menyerbu dan memancar di setiap sel
pribadi. Disini orang mulai menyadari bahwa dibandingkan dengan kebahagiaan
penunggalan dengan kesadaran kosmik, maka kegembiraan memiliki kemampuan psikis
atau daya-daya sakti sebenarnya tidak bernilai sama sekali.