Pandangan Keliru Tentang Agnihotra

Posted by

oleh : Pandita Acharya Brahma Murti

Homa yajna atau agnihotra merupakan bentuk yajna dalam veda yang justru terlupakan dalam khasanah ritual Hindu di Bali. Karena ketidaktahuan, pandangan-pandangan kontrapun dilontarkan terhadap kegiatan ritual ini pada awal kebangkitannya di akhir tahun 90-an.

Malah ada pejabat yang tega menuding Homa Yajna sebagai suatu gerakan aliran yang harus diwaspadai karena bisa menggerus budaya Bali. Kontan pernyataan tersebut dijadikan dasar penolakan oleh mereka yang merasa dirugikan dengan kehadiran (kembali) upacara vedic tersebut. Di sisi lain, fenomena itu mempeijelas (pengaruh) kekuasaan Kali Yuga, memang kokoh mencengkeram masyarakat. Sebagaimana disebutkan dalam Parasara Dharmasastra 1.32. 'pada jaman Kali upacara agnihotra dan pemujaan kepada guru cenderung akan dilupakan' (sidanti agnihotrani gurupuja pransyati).

Setidaknya ada 3 (tiga) kekeliruan berkaitan dengan penolakan agnihotra atau homa yajna oleh pemimpin umat;

  1. Menyebut Homa Yajna sebagai sebuah aliran, ini memunculkan image negatif pada ritual veda (yang jelas-jelas dimuat dalam veda bahwa homa yajna / agnihotra merupakan ritual yang utama dan sangat penting). Veda bukan milik aliran keagamaan (sampradaya) tertentu, sehingga ritual yang diatur di dalamnya bukanlah milik kelompok tertentu pula. Tetapi sebagai umat Hindu kita meyakini dan menganggap bahwa Veda sebagai kitab suci kita.
  2. Tidak setuju dengan pelaksanaan homa/agnihotra. Sebagai umat Hindu, adalah wajib hukumnya untuk melaksanakan homa/agnihotra. Menurut Vana Parva, melaksanakan homa adalah swadharma semua orang (utamanya yang beragama Hindu, yang mengakui veda sebagai kitab sucinya). Dipertegas lagi dalam Canakya Nitisastra VIII: 10, agnihotra bina veda, mempelajari veda tanpa upacara agnihotra hanyalah kesia-siaan belaka. Dalam penjelasan Mahanarayana Upanishad, 50; ketidak setujuan terhadap pelaksanaan agnihotra atau homa disebut sebagai kepalsuan.
  3. Menganggap homa/agnihotra itu tidak penting. Jabatan pemimpin mengisyaratkan kewajiban untuk mempelajari veda dan melaksanakan homa. Dalam Sarasamuscaya, 58 disebutkan, “kuneng ulaha sang ksatriya umajya Sang Hyang Veda, nitya agnihotra....dst. ”

Berdasarkan ketiga hal tersebut, umat Hindu, apalagi pemimpin umat seharusnya menganalisis setiap fenomena keumatan berdasarkan ajaran-ajaran veda, bukan berdasarkan tradisi semata. Pemimpin harus membangun keyakinan (sraddha) umat berdasarkan petunjuk pustaka suci veda, bukan semata-mata berdasarkan drsta yang ada di masyarakat.

Setelah dua dasa warsa berlalu, pandangan masyarakat tentang homa yajna mulai terbuka, walaupun masih ada yang merasa keberatan. Mereka yang merasa keberatan mungkin didorong oleh kecintaannya yang sangat besar kepada Budaya Bali, khawatir dan takut jika sampai sistem ritual homa menggusur sistem banten. Kondisi itu berusaha dikait-kaitkan dengan kedatangan para tourist, yang konon akan berkurang jika budaya banten sampai surut. Kelompok ini memang sulit menerima penjelasan, karena acuan yang dipakai bukan veda (vaidika vakya) , tetapi tafsir veda, dan atau 'tafsir atas tafsir' veda pada masa lalu.

Semestinya, bagi siapa saja yang menerima otoritas veda, kata-kata bijak dalam Canakya Upanishad 10.2 dapat dijadikan pegangan, “sastra putam vadedvakyam manah piitam samacaret” artinya, sesuaikan dulu dengan sastra (veda), setelah itu barulah boleh bicara!

Di sisi lain, ada juga yang menolak karena homa bisa mengancam lahan bisnis ritual mereka. Kecurigaan masyarakat awam terhadap homa yajna, sebagian besar disebabkan oleh ketidak tahuannya. Ketidak tahuanlah yang menyebabkan mereka menolak. Sebagaimana disebutkan dalam Canakya Nitisastra XI:8, na veti yo yasya gunaprakarsam sa tam sada nindati natra citram, yatha kirati karikumbha labdahdm, muktdmprityajya vibharti guiijdm.

Artinya , jangan merasa heran, orang yang belum mengetahui sesuatu dengan sebenarnya cenderung selalu menjelek-jelekkannya. Seperti halnya istri para pemburu pada jaman purba yang menolak permata dari kepala gajah, sebaliknya memakai perhiasan biji-bijian yang diambil dari semak belukar. Ketidak tahuan itu dipupuk lagi dengan pernyataan tokoh-tokoh agama yang menyatakan homa yajna atau agnihotra itu bermaksud memberangus banten, agnihotra itu ke-India India-an dan tidak cocok diterapkan di Bali, ritual memakai banten bersumber pada purana murni (pure puranic). Dan terakhir malah ada yang menyebut bahwa agama Hindu Bali adalah Hindu murni. (Entah apa yang dipakai dasar pernyataannya itu?)

Mengingat penolakan kelompok tertentu terhadap ritual agnihotra tidak pernah memakai landasan sastra (veda), maka dipandang perlu untuk memaparkan kedudukan agnihotra (pada lontar-lontar Bali disebut homa) dalam pustaka suci veda, dan praktek pelaksanaan ritual tersebut di Bali sebelum digusur dengan praktek pelaksanaan ritual berbasis 'tradisi puri' yang kita terapkan dewasa ini.

Terakhir, penulis telah menemukan tiga salinan lontar yang tersimpan di Gedong Kirtya Singaraja, berkaitan dengan upacara homa. Penyalinan ke aksara latin terhadap ketiga lontar tersebut dilakukan oleh IGN Ketut Sangka, pada tahun 1978. Ketiga lontar yang dialih-aksarakan masing-masing;

  1. Puja Homa, milik Ida Pedanda Made Subali Wesnawa dari Griya Camara Mataram, Lombok Barat;
  2. Homa Widhi Bwat Kirana, milik Ida Pedanda Made Sidemen dari Griya Delod Peken, Intaran, Sanur, Badung; dan
  3. Homa Agni Jhana, dari Griya Taman, Blayu, Marga, Tabanan.

Ketiga lontar tersebut memaparkan tentang urutan pelaksanaan upacara homa, peralatan dan bahan-bahan yang digunakan, lengkap dengan puja mantranya. Temuan tersebut menunjukkan, selain mewarisi berbagai sistem ritual yang sarat dengan simbol bebantenan, krama Bali juga memiliki upacara homa yang sederhana, namun sarat dengan mantra-mantra

oleh : Pandita Acharya Brahma Murti



Blog, Updated at: November 30, 2020

Postingan Populer

Buku VPA

Harga Rp 100.000 Harga Rp 50.000

Pemesanan silahkan KLIK DISINI
Bank BNI No 0864571776 an VPA Cabang Lombok

Cari Blog Ini


vedaposhana.ashram@gmail.com


  


TRI SANDHYA




https://www.ichintb.or.id/p/blog-page_56.html

Pusat Belajar Sansekerta

Bahasa Sansekerta adalah Bahasa Weda sebagai sumber dari segala sumber ilmu. Sebagai Umat Hindu sudah saatnya mengetahui dan memahami isi Kitab Suci Weda dengan belajar Bahasa Sansekerta
Ayo Belajar Bahasa Sansekerta