Homa Yadnya, Maharishi Agastya & Pura Hyang Api

Posted by

Disusun ulang : 

Acharya Rishi Sadhu Giriramananda 




Sidanti agnihotrani 

Guru puja pranasyati 

Kumaryasca prasuyante ‘smin 

Kaliyuga sada 


PADA  Sloka Parasara Dharma Sastra 1.31 itu ditulis,  kurang lebih artinya : “Ciri ciri umum zaman besi alias Kaliyuga adalah upacara Agnihotra berhenti. Rasa hormat, bhakti  kepada yang patut dihormati  menjadi musnah , lenyap. Anak anak perempuan masih belum cukup usia melahirkan anak” 

Kaliyuga , dalam bahasa sansekerta diartikan semraut, campur baur, tumpang tindih, kacau balau, penuh pertengkaran. Pelaksanaan Agnihotra yang dijalankan sejak sejak jutaan tahun lalu menjadi berhenti, lenyap dengan sendirinya. 

Homa sudah  dilakukan saat Dinasti Waturenggong / Dalem Dimade, kisaran Abad 13 dan 14. Dan kemudian oleh insiden kebakaran karena api homa yang tinggi itu menyentuh atap alang alang yang bangun konstruksinya relatif rendah di atas kunda. Sejak itu, prosesi homa “dikerdilkan” menjadi “Pasepan” . Dan  kemudian hanya sebagai pelengkap saja tanpa diisi mantra mantra Weda yang dikosentrasikan ke Hyang Agni di Kunda.  Namun, dari beberapa Prasasti dan situs yang ada ternyata Homa itu sudah populer pada Abad ke 8. Bahkan, disebutkan Dalam Prasasti Dinaya, “Mahareshi Prabawa Caru Hawi”  Maknanya, yang melakukan Homa dan Caru Hawi itu, adalah Mahareshi - Maharesi yang Pandai. Bersyukurlah kemudian sejak 1994 Homa memasyarakat  lagi di Bali dengan Yayasan Bali Homa Yadnya, yang mengembangkan saat itu,  kemudian kini dilanjutkan  secara sistematis, terstruktur dan massif oleh Veda Poshana Ashram. / VPA yang dalam perkembanganya melalui ikon Diksa Kolektif telah ngembas / melahirkan lebih dari 200 Pandita Agni. Jayatu, Jaya , Jaya  Bali Homa Yadnya dan Veda Poshana Ashram. 

Hadirnya Homa itu di Bali memiliki relasi dengan Punta Hyang Agastya Mahareshi atau sederhanya nama beliau Maha  Rishi Agastya. Dalam Prasasti Singha Mandawa, disebut Bethara Hyang Anggasti Mahareshi, beliau itu  tentunya tiada lain adalah Maharishi Agastya sendiri. Demikian ditulis Narendra Dev Pandit Shastri pada bukunya (Sejarah Bali Dvipa - hal 21 edisi 1963). Dalam skema upacara Yadnya  saat itu pada  abad ke-8 selalu dipimpin Brahmana, metode yang dilakukan  adalah melalui  Homa.  Pada Prasasti Dinaya, disebutkan saat peresmian Arca Agastya dilakukan dengan Homa. Malah pada  Zaman Singha Mandawapun, Para Raja  di Bali bahkan telah membangun Pura Hyang Api atau Agni Sala yang difungsikan secara khusus  untuk Homa. 

Dijelaskan, tentang Homa adalah suatu upacara pembakaran hawi. Hawi itu suatu campuran mentega, beras, gula , serbuk menyan, cendana dan buah buahan yang telah kering. Ketika pembakaran Hawi yang dilaksanakan dalam Homa itu dibacakanlah mantra  mantra Weda . Pembakaran itu dilakukan pada tempat suci yang ditengah tengahnya ada tanah yang ketinggian dibuat lubang  berbentuk  segi empat. Pada lubang  sekitar 50 cm itu  dibakarlah hawi ritual. Nah seperti  itulah   Homa yang dilakukan para  Brahmana saat itu. Orang orang yang melakukan Yadnya Homa itu duduk di atas tikar di sekitar lubang itu. Ada yang menghadap ke timur, selatan dan utara bahkan ke barat, jadi mengelilingi Kunda.  Para  Purohita alias Pendeta duduk di sisi barat menghadap ke Timur. Berhadapan dengan Para Pendeta itu duduklah Sang Yajamana. Sedang arah ke selatan dan ke utara bagi peserta lainnya. Di tengah nya menyala api yang dihidupkan dengan kayu kayu pilihan  antara lain mangga, dapdap , sambuk, cendana. Ketika api itu menyala dibacakanlah mantra mantra dari Weda yang diakhiri Swaha. Pada saat para Yajamana menghaturkan Hawi dan Caru dibacakan lagi mantra mantra dengan cara yang sama. Upacara itulah dinamakan  “Homa”. Yadnya seperti itu  dilakukan tiga kali  disebut “Triagni” atau Triwanhi” Memang ada keharusan Homa itu dilakukan tiga kali. Skema ya, upacara  Homa itu dilakukan pada sesi pagi, siang dan sore, Kadang pula dilakukan Homa dengan sekala lebih besar yang disebut Aswamedha. Dijelaskan cara cara Homa yang dilakukan di Bali dibandingkan dengan di India, yang digelar di Bali bersifat lebih sederhana.   Demikian ditulis pada Prasasti Sukawana pada tahun Caka 804. 

Homa yang dilakukan dan merupakan kepercayaan orang Bali  saat itu sama dengan Prasasti Kutai , di sana juga dilakukan Homa di Kutai, Kalimantan Timur  serta  Raja Taruma Negara  di Jawa Barat. Demikian ditulis pada Prasasti Dinaya  “ Maharesi Prabawa Caru Hawi” Itu berarti yang melakukan Homa dan Hawi itu adalah Maharesi yang pandai. Apakah itu  sama artinya yang tidak lakukan homa & hawi itu bukan termasuk Maharishi Pandai ??  Giriram ngak mengatakan seperti itu ngih. ( ya .. Silahkan jawab sesuai persepsi masing masing  ) . Para Pandit atau Purohittonya, mengacu Prasasti Sukawana tahun 804 Caka, yang melakukan Agni Cala atau Pura Hyang Api itu tidak dikenai  pajak. Malahan memperoleh sebagian “punia” yang diberikan kepada kaum Brahmana dan termasuk kepada Brahmana yang telat wafat. Semoga Homa Yadnya yang merupakan mutiara yadnya Weda itu selalu  saja Dimuliakan setiap saat walau bisa jadi komunitas yang militan  minoritas dan tak diapresiasi warga kebanyakan. Sudah pasti selaku bangga, sebab  ternyata Homa Yadnya itu sudah dari dulu  konsisten dan penuh komitmen serta total surrender di lakukan di Bali. Bayangkan pada abad ke- 8 Homa itu sudah populer. Bahkan disebutkan  dilakukan oleh sosok/ figur manawa dalam level Maharesi Pandai. Jadi, terlepas siapa yang getol melakukan dengan aplikasi nyata Homa itu saat ini, itu berarti pada diri mereka  telah mengalir potensi dan berkah “Jnanaagni”  Maharesi Pandai . 


Homa - Agni Hotra 

Dari  Sumber Lontar Jawa Kuno (Kawi) 

Bila  kita membuka sumber tertua Jawa Kuno, maka dalam bagian awal dari Kakawin Rāmāyana, yakni ketika prabhu Daśaratha memohon kelahiran putra-putranya dipimpin oleh Maharsi Ṛṣyaśṛṅga untuk mendapatkan keturunan.

Saji ning yajna ta humadang, sri wrksa samiddha puspa gandha phala,

dadhi ghrta krsnatila madhu. mwang kusagra wrtti wetih (24) 

Sesajen upacara korban telah siap, kayu cendana, kayu bakar, bunga, harum-haruman dan buah-buahan, susu kental, mentega, wijen hitam, madu, periuk, ujung alang-alang, bedak dan bertih


Lumekas ta sira mahoma, pretadi pisaca raksasa minantram, bhuta kabeh inilagaken, asing mamighna rikang Yajna (25) 

Mulailah beliau melangsungkan upacara homa (Agnihotra), roh jahat dan sebagainya, pisaca dan raksasa dimentrai. Bhuta yang akan menggangu upacara korban itu semuanya diusir.


Dari sloka diatas, dapat dipahami, upacara Agnihotra tidak hanya memiliki tujuan untuk penyucian diri (batin), tetapi juga untuk penyucian lahir (lingkungan).


Sakali karana ginawe, awahana len pratista sannidhya, Parameswara inangen-angen, umunggu ring kunda bahnimaya (26). 

Segala perlengkapan ūpacāra telah tersedia. Doa dan tempat peralatan hadirnya Devata. Bhatara Śiva yang dimohon kehadiran-Nya, hadir pada tungku persembahan


Sampun Bhatara inenah, tinitisaken tang minak sasomyamaya, lawan krsnatila madhu, sri wrksa samiddha rowang nya (27)

Sesudah Devata disthanakan, diperciki minyak “soṁa”, wijen hitam dan kayu cendana beserta kayu bakar


Kakawin Nagara Krtagama

Nagara Krtagama, Wirama 8.4 

“Di sebelah timur, pahoman (tempat menyelenggarakan upacara homa yajna-agnihotra) berkelompok tiga-tiga mengitari kuil siwa. Di selatan, tempat tinggal wipra utama, tinggi bertingkat menghadap panggung korban. Bertegak di halaman sebelah barat; di utara, tempat Budha bersusun tiga. Puncaknya penuh berukir; berhamburan bunga waktu raja turun berkorban”.


Nagara Krtagama, Wirama 64.5:

Tanggal ping rwawelas manginjemirika swah sutrapateniwo, mwang homarccana len parisrama samapte prapta ning swah muwah, sang hyang puspa yinoga ring wengi linakwan supratista kriya, pohning dhyana samadhi siddhi kinenaken de mahasthapaka


Terjemahan: 

Hari kedua belas paruh terang roh dipuja agar turun dari alam pitra utk disuguhi sesaji, serta persembahan homa (agnihotra) dgn kelengkapannya disiapkan utk menjemput kedatangan roh suci, puspalingga dipuja pada malam hari sebagai stananya roh suci, inti sari dhyana (meditasi) dan samadhi yg luhur digelar oleh para Pandhita. 


Penjelasan: 

Wirama diatas menceritakan ttg upacara sraddha setelah 10 tahun meninggalnya Ratu Tribhuwana Tunggadewi (ibunda Hayam Wuruk).


Dalam Silakrama, 4.1 juga ada disebutkan bahwa salah satu usaha untuk menyucikan diri bagi seorang Sadhaka adalah dengan melakukan Agnihotra atau Hoṁa yajna:


Suddha ngaranya enjing-enjing madyus, asuddha sarira, masurya sewana, mamuja, majapa, mahoma

Bersihlah namanya, tiap hari membersihkan diri, memuja Surya , melakukan pemujaan, melakukan Japa dan melaksanakan Hoṁa yajna (Agnihotra).

Seluruh tindakan manusia adalah ritual yang dipersembahkan kepada Tuhan. pada pengertian ini, pengamalan dharma juga merupakan suatu bentuk Yajna yang dapat dilakukan oleh manusia. Seperti yang disebutkan dalam Lontar Wrspati Tattwa 25 :


Sila yajnam tapo danam prabaya bhiksu revaca

Yogascapi savasena dharmasyeka vinirmayah//

 

Dharma ngaranya : sila ngaraning mangaraksa acara rahayu, yajna ngaraning manghadaken homa, tapa ngaranya umati indriyanya, tan wineh ring wisanya, dana ngaranya wineh, pravrjya ngaraning wiku anasaka, bhiksu ngaraning diksita, yoga ngaraning magawe Samadhi, nihan pratyekaning dharma ngaranya nihan tang jnanan ngaranya (25)


Terjemahan :

Pelaksanaan Dharma meliputi : (Sila melaksanakan tingkah laku yang baik, yajna berarti melaksanakan upacara Homa (Agnihotra). Tapa berarti mengendalikan indria, tidak terikat kepada obyeknya. Dana berarti memberi (pemberian sesuatu kepada yang memerlukan). Pravrja berarti pandita yang melakukan puasa (pertapaan), Bhiksu berarti yang melaksanakan dwijati, yang menjadi pandita. Yoga berarti melaksanakan meditasi. Demikianlah bentuk realisasi pengamalan dharma)


Yajna ngaranya “Agnihotradi” kapujan Sang Hyang Siwagni pinakadinya (Agastya Parwa)

Artinya : 

Yajna artinya “Agnihotra”  yang utama yaitu pemujaan atau persembahan  kepada Sang Hyang Siwa Agni.


Dalam Manawa Dharmasastra , IV . 25 : 

Agnihotramca juhuyadadyante dyunicoh sada , darCena chardhamasante paurana masena Caiwa hi 

Artinya : 

Orang Brahmana harus selalu menghaturkan upacara Agnihotra pada waktu awal dan akhir satu hari dan malam, sedangkan upacara Darsa dan Purnamasa (isti) pada setiap akhir tengah malam. 


Sarasamuscaya 58 : 

Adhitya vedan parisamstitya Agninimistva yajnaih palayitva prajasca , bhrtyam bhatva jnatisambandhimasca danam dattva ksatriyah scargameti 

Artinya : 

Maka yang harus dilakukan oleh Sang Ksatria: Harus mempelajari Weda. Senantiasa melakukan korban Api Suci. Mengadakan upacara kebaktian. Menjaga keamanan negara. Mengenal bahawannya sampai sanak keluarga dan kaum kerabatnya. Memberikan sedekah. Jika ia berbuat demikian, tingkatan alam sorga akan diperolehnya. 

Shiva Samhita I.6: 

Para bijaksana menganggap Upacara Agnihotra, kedudukannya sebagai yadnya tertinggi. 

Lontar Agastya Parwa: 

Menyatakan ada tiga jalan untuk mencapai hal hal ketidakterikatan yakni : Tapa, Yadnya dan Kirthi. Yadnya di Lontar Agastya Parwa, disebutkan , Yadnya ngaranya Agnihotradi  kapujan Sang Hyang Shivaagni. 

Wraspati Tatwa 25 : 

Yadnya ngaraning manghaturaken Homa . 

Artinya : 

Agnihotra artinya memuja Dewa Agni

Adi Parwa 

Menyebutkan Agni Hotra adalah yadnya yang sangat terpenting diantara semua Yadnya yang ada. 

Klungkung Semarapura. 

Kirang langkung nunas ampure. Demikian kompilasi dari Giriramananda. Semoga bisa sebagai inspirasi dan motivasi. Om Tat Sat Asthu Om Kham AngAh Hrih Rang Ring Sah, Brah Esa Paramashivatah


Acharya Rishi Sadhu Giriramananda 




Blog, Updated at: November 23, 2020

Postingan Populer

Buku VPA

Harga Rp 100.000 Harga Rp 50.000

Pemesanan silahkan KLIK DISINI
Bank BNI No 0864571776 an VPA Cabang Lombok

Cari Blog Ini


vedaposhana.ashram@gmail.com


  


TRI SANDHYA




https://www.ichintb.or.id/p/blog-page_56.html

Pusat Belajar Sansekerta

Bahasa Sansekerta adalah Bahasa Weda sebagai sumber dari segala sumber ilmu. Sebagai Umat Hindu sudah saatnya mengetahui dan memahami isi Kitab Suci Weda dengan belajar Bahasa Sansekerta
Ayo Belajar Bahasa Sansekerta