oleh : Pandita Acharya Brahma Murti
foto sumber : Balipost.com
Di Desa Dinaya (Dinoyo),
Jawa Timur, ditemukan prasasti berangka tahun 760 Masehi Prasasti tersebut dibuat oleh Raja Gajayana, yang memuja dan sangat memuliakan
Maharsi Agastya Kumbhayoni. Sang Raja memperhatikan patung Maharsi yang terbuat dari
kayu Dewandaru, yang dibuat oleh nenek moyangnya mengalami kerusakan,
beliau memerintahkan untuk mengganti patung itu dengan bahan batu marmer. Arca marmer
itu di-abhiseka pada bulan margasira tahun 682 Caka, dipimpin oleh para
brahmana yang sangat paham mantra-mantra veda. Disamping memakai sesaji sebagaimana biasanya, dalam upacara itu dilakukan juga upacara homa.
Dalam prasasti
tersebut tertulis, “Maharsi prabhawa caru hawi”. Maksudnya, yang melakukan homa atau caru hawi itu adalah Maharsi yang
pandai. Menurut Shastri (1963), upacara homa adalah upacara pembakaran hawi, yaitu campuran
mentega, beras, gula, serbuk menyan dan cendana, serta buah-buahan yang telah kering. Pembakaran hawi
tersebut diikuti dengan pembacaan mantra-mantra veda. Ritual homa itu dilakukan di tempat-tempat
suci yang ditengah-tengahnya dibuatkan lubang segi empat, pada lubang itulah dibakar
hawi, serta dilakukan homa oleh para brahmana.
Upacara homa pernah
juga dilakukan oleh raja-raja Kutai dan Taruma Negara. Sampai kini di Kutai masih tertinggal yupa (tiang kurban) yang digunakan
oleh raja-raja Hindu pada jamannya. Dalam Mahandrayana Upanishad dipaparkan, yupa
diperlukan untuk melaksanakan somayaga, dan harus diawali dengan agnihotra.
Kegiatan itu diakhiri dengan pemberian daksina kepada para brahmana berupa sapi dan
lain-lainnya.
Dalam Vsana Bali dan Pamancangah
(ibid), diceriterakan Bali pernah diperintah oleh seorang raja bernama Gaja Wahana. Bila diperhatikan kata wahana
sesungguhnya sama dengan yana, yang berarti kendaraan. (Apakah Gaja Wahana di
Bali sama dengan Gajayana di Jawa Timur?) Pemerintahan Gaja Wahana dilanjutkan oleh Singha
Mandawa (882-942M). Prasasti Singha Mandawa juga menyebutkan tentang kemuliaan nama Bhatara Hyang Anggasti Maharsi, yang tiada lain adalah Maharsi Agastya. Raja Singha Mandawa membangun Pura Hyang Api atau Agni Sala sebagai tempat untuk melakukan homa.
Menurut prasasti Sukawana (804 Caka), tanah dan aktivitas
di Pura Hyang Api tidak dikenai pajak, tetapi sebaliknya disubsidi oleh pemerintah. Prasasti tersebut juga
tertulis ijin raja untuk Biksu Siva Kangsi, Siva Nirmala, dan Siva Prajna untuk mendirikan ashram
dan satra (penginapan) di bukit Kintamani. Para biksu dibebaskan dari
bermacam-macam pajak, tetapi diwajibkan untuk memelihara Pura Hyang Api (Agni Sala) melakukan homa
,dan melayani para tamu (atithi).
Prasasti Bebetin (818 Caka) kembali memuat
kewajiban para biksu untuk membangun dan merawat Pura Hyang Api dan melaksanakan ritual Homa di dalamnya. Untuk mendukung aktivitas di pura tersebut, mereka dibebaskan dari bermacam-macam
pajak, dan disubsidi dari harta warisan mereka yang tidak memiliki keturunan (camput).
Lebih lanjut, di dalam prasasti Pura Kehen {tanpa tahun) memuat tentang ijin
kepada para Brahmana untuk mendirikan pertapaan di dekat Pura Hyang Api dan perintah kepada penduduk
setempat untuk melakukan' punya' kepada Pura Hyang Api tersebut. Aktivitas di
Pura Hyang Api itu juga ditopang dari harta warisan para Brahmana Sudha Genitri. Selain
itu, Prasasti Gobleg (836 Caka)
dan Prasasti Anggasari juga memuat tentang pendirian pertapaan di Indra Pura
dan pembangunan Pura Hyang Api.
Prasasti Srokadan dan Sembiran yang dikeluarkan oleh raja
Sri Ugra Sena (837-864 Caka atau 915-942 Masehi), memuat tentang kehancuran desa-desa di pantai Utara,
terutama Desa Djula, dari seragan musuh. Dalam prasasti lain, untuk menghindari seringnya
serangan musuh, maka desa tersebut dipindahkan ke pegunungan dekat desa Sembiran. Dalam
Prasasti Baturya dan Dausa, disebutkan lagi Pura Hyang Api. Dijelaskan pada waktu itu
Pura Hyang Api dipandang sangat penting kedudukannya di seluruh Bali. Pentingnya kedudukan
Pura Hyang Api juga dimuat dalam prasasti Kintamani (889C) yang dikeluarkan oleh
raja Tabanendra Warmadewa (877-889C).
Pada tahun 916C, prabu Dharmodayana
Warmadewa dan permaisurinya Gunapriya-dharmapatni, mengeluarkan prasasti berkaitan dengan persetujuan raja terhadap
permohonan Desa Bibahan untuk memisahkan diri dari Desa Kedisan (di daerah danau
Balur). Sementara itu, rakyat juga diwajibkan membayar iuran untuk pura Hyang Api.
Mengingat demikian pentingnya pemujaan terhadap Hyang Api
pada jaman Udayana, para purohita wajib mendalami dan melakukan;
a.
Yama dan Niyama Brata,
b.
Surya
Sewana,
c.
mahir dalam
melakukan Sawa Wedana, Diksa Widhi dan Homa Yajna.
Lebih
lanjut dalam Purana Bali Dwipa dipaparkan, pada saat Prabu
Udayana mangkat, di seluruh desa di Bali dilaksanakan upacara homa untuk mendoakan arwah beliau.
Doa-doa yang dilantunkan pada acara homa tersebut bersumber pada lontar Agni
Jhana dan lontar Homa.
Menurut Shastri (1963), pelaksanaan homa terus berlangsung
di Bali sampai Bali dikuasai oleh raja-raja jawa (Jawa Timur). Sistim ritual homa
yang dilakukan oleh masyarakat Bali Kuno sama dengan yang dilakukan oleh raja Mulawarman
di Kutai, Kalimantan Timur dan Purnawarman di Jawa Barat. Peninggalan besar
pada jaman itu yang sampai kini berkaitan dengan pelaksanaan homa di Bali adalah Pura
Kehen (dalam bahasa Bali Kuno, kehen = api). Yang di dekat pura tersebut juga dibangun Pura
Hyang Api (Agni Sala). Data lain, pada salah satu goa pertapaan di Gunung Kawi,
Tampaksiring, terdapat peninggalan purbakala berupa kunda (lubang api) tempat
melangsungkan upacara homa (Titib, 1995).
Selain peninggalan berupa prasasti,
orang-orang suci di Bali juga mewariskan lontar-lontar berkaitan dengan upacara homa. Dalam lontar Widhi Sastra Roga Sangara
Bumi dijelaskan tentang pelaksanaan upacara
homatraya, yang harus dilakukan jika teijadi berbagai keanehan, seperti;
a.
sapi kawin dengan
kerbau,
b.
musim kemarau
berkepanjangan,
c.
wabah mpenyakit (gering)
dan hama tanaman merajalela.
Upacara tersebut dilaksanakan oleh para dwijati dengan
tujuan untuk membersihkan jagat. Barkaitan dengan makna homatraya, lontar Nitisastra
Purbasesana , menyebutkan berasal dari kata;
a.
homa berarti yoga sakti, dan
b.
traya berarti tiga.
Maksudnya, upacara homa tersebut mesti dipimpin oleh ; Brahmana
Siwa, Brahmana Budha dan Ksatrya Putus
Dalam lontar Nitisastra Pedanda
Sakti Wawu Rauh juga dijelaskan tentang kondisi yang mengharuskan agar dilaksanakan upacara homa. Disebutkan, jika berbagai keanehan
dan penderitaan melanda dunia, maka harus dilakukan upacara Panca Bali Krama.
Bersamaan dengan itu dilaksanakan upacara Ngelukat Jagat yang disebut
upacara Homa Traya. Walaupun Ida Pedanda menyebutkan tentang pentingnya pelaksanaan upacara
homa, masyarakat Bali waktu itu sudah tidak melakukannya. Sampai akhirnya,
keponakannya, Dang Hyang Astapaka memohonnya untuk melaksanakan upacara veda
tersebut di Puri Gel gel.
Menurut Babad Dalem, pada jaman pemerintahan Dalem
Waturenggong, upacara homa mengalami perkembangan pesat dan berdampak positif terhadap lingkungan dan
kehidupan masyarakat. Akan tetapi, karena terjadi musibah kebakaran di tempat pelaksanaan
upacara, akhirnya ritual veda tersebut kembali terhenti. Sebagai gantinya, kunda
dalam upacara homa, diganti dengan padipaan yang biasa dipakai oleh para
pandita di Bali sekarang ini. Sejak saat itu, upacara yang dimuliakan dalam veda (homa) tersebut
semakin menyusut dan akhimaya terlupakan. Namun di kalangan pandita Budha (di Bali),
upacara itu tetap dipertahankan sebagai upacara Homa Sambada.
Pandita Acharya Brahma Murti