oleh : Pandita Acharya Brahma Murti
Sebagaimana dilakoni oleh orang-orang
Bali tempo dulu,
homa yajna yang bersifat menyeluruh dan multi fungsi, kini banyak dipergunakan sebagai suplemen ritual menggunakan banten menurut tradisi Bali. Kegiatan homa
yajna tidak dimaksudkan untuk menghilangkan sistim banten,tetapi bersinergi untuk mencapai tujuan. Homa
memang tidak memakai daging, karena mantram veda yang dilantunkan memang menghendaki
demikian, sebagaimana telah disampaikan di depan. Dipandang dari manfaat dan penggunaan agnihotra atau homayajna yang selama ini dilakukan di Bali dapat
dipaparkan sebagai berikut;
1. Santihoma.
Yaitu agnihotra sering dilakukan untuk memohon keselamatan (santih). Kegiatan agnihotra sudah sering dilakukan untuk
menghindarkan diri dari bencana, baik bencana alam, maupun bencana soial (buatan
manusia), seperti; kerusuhan, pertikaian antar kelompok masyarakat dan sebagainya. Kaitannya dengan bencana sosial,Mahabharata memuat kisah tentang pelaksanaan homa untuk
keselamatan negara.
Dalam suasana berkabung karena kemangkatan Raja Vicitravirya,negara Astina mendapat tantangan dari Raja Cakradara, agar ratu yang telah menjanda
diserahkan kepadanya. Atas nasehat para pendeta kerajaan, Bisma tidak menanggapi tantangan tersebut selama waktu 12 hari masa berkabung. Dan selama itu mereka
melaksanakan upacara agnihotra untuk kedamaian sangpitra dan
kerahayuan jagat. Di pihak lain Raja Cakradara melepaskan senjata saktinya berupa cakra. Ternyata, senjata sakti itu
hanya berputar-putar di langit astina, dan tidak mampu meledak di kawasan yang
dilingkupi kesucian mantra-mantra veda. Santihoma juga dilaksanakan
oleh Mpu
Baradah untuk mengusir wabah penyakit
yang ditimbulkan oleh Rangda ring Dirah (Calonarang) terhadap kerajaan
Erlangga. Hal ini juga banyak dilakukan oleh umat Hindu yang meyakini kekuatan homayajna
untuk nyengker pekarangan rumahnya dari maksud-maksud jahat, termasuk
dari ilmu hitam.
Mantra utama yang dilantunkan untuk permohonan kedamaian dan kerahayuan jagat, umumnya adalah;
Mahamrtyu jaya mantra
(Rgveda VII.59.12) :
Om tryambakam yajamahe
sugandhim pusthi vrdanam
urvarukamiva bhandanan
mrtyor mukseya mamritat.
santih mantram
(Yajurveda, 36.17) :
Om dyauh santir
antariksam santih,
prthivi santir apah santri osadhayah santih,
vanaspatayah santir visve devah santir brahma santih,
sarvam santih santir eva santih
sa ma santir edhi.
Homa Yadnya di Pura Dalem Desa Adat Buda Keling, Mohon kedamaian dari bencana Covid-19
2. Sraddhahoma.
Yaitu memohon keselamatan roh. Kitab Sarasamuscaya memuat
tentang Sang Hyang Triagni, yaitu; ahawaniya (api tukang
masak), grhaspatya api perkawinan), dan citagni (api pembakaran jenazah). Citagni
tidak hanya mengembalikan badan wadah ke unsur-unsur Panca Maha Bhuta,tetapijuga menuntun roh menuju alam Shiva.
Berkaitan dengan itu, asap upacara homa diyakini mampu mengantarkan arwah orang meninggal menuju alam sorga. Sebagaimana yang terjadi pada kisah dalam Itihasa.
Raja Jayate pada waktu hidupnya sangat tekun melaksanakan sadhana spiritual;
karena itu, pada waktu beliau mangkat,rohnya mendapatkan kedudukan sederajat dengan Dewa Indra. Dewa Indra tidak berkenan, sehingga roh itu kembali diturunkan ke dunia.
Pada saat yang sama,putra beliau; Raja Puru sedang melaksanakan upacara sraddhahoma;
asap homa tersebut membumbung tingga ke angkasa dan kembali mengantarkan roh Raja Jayate ke Indraloka, Dewa Indra-pun tidak kuasa menolaknya.
Kisah yang lebih menakjubkan dilakukan oleh Brahmarsi
Visvamitra, yang mampu mengarkan Raja Trisangku mencapai sorga dengan membawa badan kasarnya. Para dewa tentu menolaknya. Atas kesiddhian upacara homa yang dilakukannya,
Visvamitra berhasil membuatkan sorga khusus untuk Raja Trisangku.
Kisah lain; dalam Babad Pulina Bali,uppacara sraddhahoma
juga dilakukan untukmengiringi kemangkatan Raja Udayana. Mantram utamayang dilantunkan adalah antyesti mantram berikut (Yajurveda: 40.15);
3. Memohon keturunan.
Setelah cukup lama tidak memiliki putra, Raja Dasarata meminta Rsi Resyasrengha
untuk melaksanakan homa,sebagai hasilnya beliau memperoleh empat orang putra, termasuk Shri Rama (avatra Vishnu).
Pada epos Mahabharata juga dijumpai permohonan keturunan lewat homa, yang dilakukan oleh Raja
Madra. yang akhirnya mendapatkan
seorang putri yang diberinama Savitri. Raja Drupada juga melakukannya dan
mendapatkan putra dan putri, yaitu Drsta Jumena dan Drupadi. Selain itu, (di Bali) Manik Angkeran juga
terlahir dari uppacara permohonan anak dengan agnihotra.
4. Vivaha-homa (memohon kelanggengan
pernikahan).
Sebagaimana telah
disampaikan di
depan bahwa, salah satu fungsi api adalah sebagai sarana
penyucian dan pengesahan pernikahan (grhaspatyagni). Dalam
vivaha samskara sebagai bagian Manavadharmasastra
disebutkan pernikahan dalam tradisi veda dinyatakan sah jika ada mantram dilantunkan oleh purohita (pemimpin upacara),ada doa-doa diucapkan oleh hadirin, dan ada rangkaian upacara mengelilingi api suci homa, sapta
padi (mencakup permohonan restu kepada keduaorang tua darikedua belah pihak, mengucap sumpah perkawinan /satyavrata kedua penganten, doa-doa dari hadirin agar
sumpah mereka bisa terwujud dan menjadi kenyataan, serta serangkaian permohonan penganten agar
mereka mencapai keluarga yang sukinah). Perlindungan terhadap
kelanggengan perkawinan melalui homa ditunjukkan oleh sikap dan kesetiaan Dewi Savitri
kepada Satyavan, dan Damayanti kepada Prabu Nala (dalam mempertahankan keutuhan dan kesucian
mahligai pernikahannya.
5. Samskara-homa (memohon
penyucian diri dalam rangka manusa samskara).
Upacara sarira samskara mencakup upacara prenatal (bayi dalam kandungan)
dan post natal (setelah kelahiran). Dalam tradisi Bali, pada saat bayi ada dalam
kandungan dilakukan upacara magedong-gedongan, dengan tujuan untuk memohon
keselamatan janin yang ada di dalam rahim ibunya (cacupu manik), dan penyucian roh yang
memasuki tubuh si jabang bayi yang sedang bertumbuh. Untuktujuan tersebut, homa
dilakukan sesuai dengan petunjuk Rgveda X. 158.1.
Om suryo no divaspatu vato antariksat agnirnahparthivebhyah
Artinya; Oh Dewa Surya, anugerahilah dari surga dan lindungilah
jabang bayi yang masih ada dalam kandungan ini, demikian juga wahai Dewa Bayu anugerahilah dia
dari antariksa, dan dari bumi Dewa Agni akan melindunginya.
Dengan tujuan untuk memohon kesucian (prayascitta),upacara
homa dilakukan misalnya dalam; pemberian nama, otonan, potong rambut, menek bajang, wiwaha,
dan pawintenan.
6. Honui-teraphy (memohon
kesehatan).
Kehidupan ada di dalam
sel, karena itu sel dapat mengatur diri untuk memelihara kehidupannya. Untuk menjaga kelangsungan
hidupnya, sel perlu pasokan oksigen, makanan dan zat pengatur dari luar. Jika sel
tersebut mengalami gangguan (sakit), maka perlu diobati, salah satunya
dengan aroma terapi.
Aroma terapi umumnya efektif digunakan untuk kesembuhan asma, meriang,
hidung tersembat, sakit kepala, mual-mual, memningkatkan kesegaran tubuh, dan secara psikologis emosional mampu menurunkan stress. Metode pengobatan aroma terapi
yang umum dilakukan adalah dengan cara dihirup (madudus).
Pada saat havir dipersembahkan ke dalam api
suci,asap dan upa-pun mengepul darimdalam kunda. Uap tersebut berdifusi dengan minyak atssiri yang mengandung
senyawa- senyawa terpenoid dari bahan-bahan yang dipersembahkan, seperti bubuk cendana,
daun tulasi, biji-bijian, bunga-bungaan, buah-buahan,gula merah, dan persembahan
lainnya.
Karena kandungan kimianya, kebanyakan minyak atsiri bersifat anti bakteri
dan anti jamur yang kuat, dan menunjukkan sifat psikoaktif. Minyak
atsiri dari bunga kenanga dapat melindungi hati dari kerusakan (hepatoprotector), minyak
atsiri dari tulasi dapat bersifat anti-depressi dan adrenalin stimulant,
minyak atsiri dari kayu cendana bersifat penenang (sedatif).
Dari sisi niskala; pada saat homa dilakukan
dengan tujuan memohon kesembuhan,dilantunkan Mahamrtyu Jaya Mantra
(Rgveda VII.59.12) :
Om tryambakam yajamahe
sugandhim pusthi vrdanam
urvarukamiva bhandanan
mrtyor mukseya mamritat.
Melantunkan mantram veda dalam
homaterapi bertujuan untuk membangkitkan keyakinan pasien, bahwa atas karunia Tuhan, sel-sel dalam tubuh kita kembali
akan dapat menyeimbangkan dirinya, sebagai upaya penyembuhan diri. Pasien yang sukses menyembuhkan dirinya sendiri biiasanya telah belajar motivasi kesembuhan
mereka, meyakini bahwa di dalam dirinya ada kekuatan Brahman yang
mampu menundukkan penyakit yang menggerogoti tubuhnya.
7. Pembersihan pekarangan.
Kitab Shatapatha Brahmana menyebutkan; di suatu tempat,jika belum pernah dilakaukan upacara homa, maka tempat itu
masih dilingkupi oleh ketidak teraturan (chaos). Untuk ituperlu dilakukan
homauntuk menghadirkan Dewa Agni dan dewa-dewa yang lain sebagai sumber keteraturan (cosmos).
Altar api suci (kunda) sebagai sarana pen-.szAra/-an ruang hunian dengan
meng-ms/77/.s-kannya.
Hal senada juga disampaikan dalam Canakya Nitisastra, yang menyebutkan di suatu tempat dimana tidak pernah dilakukan upacara penyucian, tidak pernah dilafalkan mantra-mantra suci, maka tempat itu sama dengan kuburan (yang merupakan
oposisi dari kesucian). Dengan demikian, transformasi dari chaos ke cosmos
dilakukan melalui prosesi ritual. Dalam tradisi Bali dilakukan dengan upacara pecaruan,
termasuk Caru Rsi Gana. Pecaruan memiliki makna
kembali suci, kembali harmonis, berkat anugerah Dewa Ganesha, sehingga sarwa bhuta
di-somya atau diusir, di sisi lain,para penghuni hendaknya mampu mengendalikan diri (mengendalikan nafsu-nafsu
kebinatangan yang
ada di dalam dirinya).
tidak lain lagi;inilah
yang menyebabkan kekacauan dunia. Canakya Nitisastra V: 10.