Agnihotra Sebagai Satwika Yadnya

Posted by


oleh : Pandita Acharya Brahma Murti



Brhadaranyaka Upanisad, menyebutkan yajna yang dilaksanakan tanpa pemahaman, cenderung akan mengantarkan yajamana menuju timira (kegelapan). 
Hal yang sama juga disampaikan dalam lontar Yajna Prakerti dan lontar Tutur Dharma Kahuripan yang menyebutkan yajna tanpa pemahaman tattwa hanyalah kesia-siaan belaka. Ibarat membangun gedung di atas pasir, yang segera akan rubuh jika diteijang angin kencang atau dilanda banjir.

Demikian halnya pelaksanaan ritual tanpa pemahaman, akan goyah jika bersinggungan atau digedor dengan keyakinan yang lain. Ironisnya; untuk mempertahankan tradisi ritual, orang sering menebar isu untuk menakut-nakuti, bahkan berupa ancaman yang menakutkan jika umat tidak melakukan ritual tersebut. Hal ini menarik untuk dicermati; sebab agama sejati, didasarkan pada keyakinan dan ketulusan, membebaskan penganutnya dari rasa takut, memuja Tuhan sebagai Sang Maha Kasih. Jadi, Tuhan tidak menakutkan, tidak menakut-nakuti, tapi sebaliknya melenyapkan kegelapan, ketakutan dan penderitaan.

Dalam kontek perilaku ritual, kita diingatkan dengan tiga sifat dasar yang menyelimutiseluruh ciptaan Tuhan, yaitu satvika (sifat tenang, sabar, kalem), rajasika (sifat agresif, aktif), dan tamasika (sifat malas dengan segala manifestasinya). Kombinasi dari ketiga sifat tersebut juga yang mendasari watak seseorang, dan akan menentukan jenis makanan, ritual, tapa samadhi, dan sedekah yang dilakukannya. Mengingat satvika yajna merupakan cita-cita semua orang, maka sudah semestinya kita memahami karakter yajna tersebut.

Bhagavadgita XVII: 11, memuat tiga kriteria pokok agar yajna bersifat satvika, yaitu;

a.    dilaksanakan menurut petunjuk kitab suci (vidhi drstah).

b.    tidak mengharapkan pahala (aphala (ikanksibhih). dan

c.     dilandasi dengan keyakinan penuh (sraddha).

Ketiga kriteria tersebut perlu disampaikan kepada umat, mengingat pada jaman Kali ada kecenderungan orang-orang melaksanakan yajna dengan tujuan materi duniawi, semata-mata mengikuti tradisi, dan tanpa pemahaman tattwa yang jelas.

Kecenderungan ritual menyimpang tampaknya memperkuat alasan Brahma Vaivarta Purana untuk menerapkan lima larangan pada Kali Yuga, tiga diantaranya berkaitan dengan kegiatan ritual, yaitu; mempersembahkan korban kuda (asvamedaj, mengorbankan sapi, dan mempersembahkan daging kepada roh-roh leluhur. Dalam Santi Parwa, Maharsi Bhisma menasehatkan kepada Yudistira, agar jangan sampai mempersembahkan daging kepada para dewa dan leluhur. Pengorbanan binatang (pasuyajha) pada Jaman Kali tidak akan mampu menjadi media untuk membangun kasih sayang, tetapi justru sebaliknya; membangkitkan sifat-sifat kenikmatan terhadap kekerasan. Dan jika terus dipertahankan, pasuyajiia potensial diselewengkan untuk memenuhi tuntutan lidah dan perut.

Manava Dharmasastra, V: 22, memberikan tuntunan bahwa hewan boleh dibunuh oleh para Brahmana untuk upacara kurban, dan akhirnya dimakan. Sloka tersebut memilikipembatasan, tidak setiap orang, tetapi oleh dia yang memiliki kualifikasi Brahmana. Kenapa seorang Brahmana diperbolehkan menyembelih binatang? Karena beliau mampu membebaskan roh binatang tersebut menuju kelepasan. Jika tidak (seperti orang awam)dia akan ditunggu oleh dendam roh hewan yang disembelihnya itu, di alam neraka. 

Dalam Bhagavata Purana, teks 25, disebutkan, bahwa pembunuh binatang-binatang dengan mengatas-namakan korban suci agama, tanpa alasan, akan ditempatkan di neraka bernama Visdsana. (ye tviha vai dambhika dambhayajhesu pasun visasanti tan amusmilloke vaisase narake patitam nirayapatayo yatayitva visasanti).

Mengingat demikian beratnya membebaskan roh binatang, menurut Manava Dharmasastra V: 23, seorang dwijati senddiri tidak boleh makan daging. Jika dia ingin makan daging, maka harus membuat daging tiruan dari; susu, mentega, atau tepung (sloka 37). Lebih lanjut, mengingat daging tidak akan bisa didapat tanpa menyakiti makhluk-makhluk lain, dan tindakan menyakiti adalah halangan untuk mencapai kebahagiaan, seseorang hendaknya menghindari makan daging (sloka 48).

Perlu diingat, na daya mamsa bhojinah (tidak ada rasa belas kasihan yang mumi pada orang
yang masih memakan daging) Canakya Nitisastra, XI: 5.

Jika kita sayang akan hidup kita, maka sayangilah hidup makhluk lainnya. Diri sendirilah yang hendaknya dijadikan ukuran, sebagaimana disebutkan dalam Sarasamuscaya, 136; apan ikang wang kahatri kahuripnya, apa nimittanikan panghilangaken prana ning ika tatan harimbawa ktaya, ikang sanukhana ryawaknya, ya ta angenangeneya, ring len. 

Artinya, bila orang sayang akan hidupnya, mengapa ia ingin memusnahkan yang lainnya. Hal itu sama sekali tidak memakai ukuran sendiri. Segala sesuatu yang dapat menyenangkan diri sendiri, itulah yang semestinya dicita-citakan terhadap makhluk lainnya.

  1. Pada sloka 137 disebutkan; jika kita sudah tahu bahwa badan ini tidak kekal, kenapa harus dipelihara dengan mencelakai makhluk lain?
  2. Lebih lanjut pada sloka 141 dipaparkan; orang-orang yang telah mencapai paramasukha, sama sekali tidak pernah menyakiti makhluk lain (pariklesa ringprani), tidak membunuh (tan pamati). Sebaliknya, membuat senang makhluk lain. 
  3. Ditegaskan kembali pada sloka 145 pemberian hidup kepada satu makhluk lebih utama dibandingkan pemberian yang lainnya. Karena hanya dengan hidup- makhluk mampu ber-ya/ha sesuai dengan swadharmanya masing-masing.

Agar yajna kita berkualitas, pada waktu merencanakan (menyusun perencanaan pelaksanaan yajna), mesti diingat petunjuk Manava Dharmasastra VII :10, tentang perlu dipertimbangkannya lima hal, yaitu;

  1. Iksha (tujuan yajna yang akan dilakukan),
  2. Shakti (kemampuan yang kita miliki dan pendukungnya),
  3. Desa (kondisi sosial, alamiah tempat kita melakukan yajna),
  4. Kala (jaman/masa dan waktu saat kita melakukan yajna), dan
  5. Tattwa (landasan sastra yang mendasari pelaksanaan yajna tersebut).


Bhagavadgita XVII: 11-13, menuntun agar selama yajna dilaksanakan memenuhi unsur;

  1. Sraddha (memiliki keyakinan penuh atas manfaat yajna yang kita lakukan),
  2. Lascharya (didasari keikhlasan),
  3. Vidhidrsta (mengikuti peraturan yang berlaku, mengacu pada pustaka suci veda dan diiringi dengan pemujaan menggunakan mantra-mantra veda),
  4. Nasmita (sama sekali bebas dari unsur pamer),
  5. Annaseva (setelah ritual selesai dilangsungkan, dilanjutkan dengan pembagian makanan untuk semua yang hadir dalam acara tersebut), dan Dhaksina (pemberian dhaksina kepada pemimpin upacara /purohita).

oleh : Pandita Acharya Brahma Murti


Blog, Updated at: November 30, 2020

Postingan Populer

Buku VPA

Harga Rp 100.000 Harga Rp 50.000

Pemesanan silahkan KLIK DISINI
Bank BNI No 0864571776 an VPA Cabang Lombok

Cari Blog Ini


vedaposhana.ashram@gmail.com


  


TRI SANDHYA




https://www.ichintb.or.id/p/blog-page_56.html

Pusat Belajar Sansekerta

Bahasa Sansekerta adalah Bahasa Weda sebagai sumber dari segala sumber ilmu. Sebagai Umat Hindu sudah saatnya mengetahui dan memahami isi Kitab Suci Weda dengan belajar Bahasa Sansekerta
Ayo Belajar Bahasa Sansekerta