Oleh: I Wayan Suja (Brahma Acharya Murti)
Sebagaimana banyak kita dengar dalam agama lain, apakah dalam
Hindu dosa bisa diampuni, dilebur, atau ditebus? Banyak jawaban dan
argumentasi telah disampaikan oleh tokoh-tokoh Hindu selama ini. Ada yang
dengan tegas menyatakan, bahwa dosa tidak bisa dilebur. Ibarat setetes
zat warna yang terjatuh ke dalam air, dia tidak pernah bisa dihilangkan; yang
dapat dilakukan adalah menambahkan air kebaikan, sehingga zat warna tersebut
semakin encer, dan akhirnya tak tampak lagi. Singkatnya, setiap perbuatan
mendatangkan buahnya sendiri-sendiri, dan harus diterima. Ada juga yang
menyatakan, dosa jangan ditebus, biarkan saja jauh-jauh, jangan diambil
kembali. Dosa kok ditebus, kapan menggadaikannya?
Saya sendiri susah memberikan jawaban, karena kemungkinan besar
bisa disalahartikan. Jika saya jawab tidak, maka agama kita akan bersifat
fatalistik. Bisa jadi, keyakinan akan moksa tidak akan pernah terwujud,
karena dosa itu akan selalu ada. Lagi pula, dimana posisi Tuhan sebagai
Yang Maha Pengasih, Penyayang, dan Pengampun? Jangan-jangan, kekeliruan
jawaban kita telah membuat banyak umat Hindu berpindah keyakinan karena jawaban
kita yang tegas, tetapi keliru! Jika saya jawab ya, jangan-jangan ditelan
mentah-mentah. Di Hindu gampang melebur dosa, cuma begadang semalam
suntuk, apa susahnya?
Kita sering lupa, ceritera Lubdhaka, Nisada, atau tokoh-tokoh
lain, adalah karya sastra. Sebagai karya sastra agama, pesan moral yang
hendak disampaikannya dibungkus dengan rapi, sehingga perlu dikupas. Tokoh-tokoh
tadi, dilabel penuh dosa karena suka berburu, membunuh binatang (himsa karma),
walaupun untuk dikonsumsi dan melanjutkan kehidupannya. Rsi Bisma
menasehati Yudistira dalam Mahabharata, bahwa tindakan membunuh binatang untuk
dimakan termasuk perbuatan adharma. Lebih lanjut, dalam Bhagawata Purana
I.17.38 disampaikan, bahwa membunuh dan memakan daging termasuk salah satu dari
empat kaki adharma. Atas dasar itu, pekerjaan memburu dan membunuh
binatang dalam sastra Veda digolongkan perbuatan adharma, dan orang yang
melakukannya termasuk orang-orang berdosa. Namun, tokoh-tokoh pendosa itu
pada akhirnya bisa menyatu dengan Siwa karena dia mendapat pengampunan.
Lontar-lontar pengampunan dosa dan juga berbagai purana
menyebutnya Tribrata Siwaratri, yaitu jagra, upawasa, dan monabrata.
Brata itu bermakna disipilin, sehingga tidak cukup dilaksanakan setahun sekali,
tetapi setiap saat sepanjang hayat. Jagra tidak cukup dimaknai melek,
atau tidak tidur semalaman. Jagra atau tanmrema adalah kesadaran,
sebaliknya tidur adalah ketidaksadaran. Kesadaran yang dimaksud adalah
kesadaran akan Sang Diri, sebagaimana disebutkan …yan matutur ikang atma ri
jatinya. Kita ini adalah Atma, percikan terkecil dari Tuhan yang kekal
abadi, kita bukan badan, kita bukan sesuatu yang bersifat sementara!
Kesadaran itulah yang mesti tercermin dalam setiap perilaku orang yang ingin
dosa-dosanya terampuni. Sudahkah kita melangkah ke sana?
Upawasa tidak hanya tidak makan, tidak minum, itu adalah upaya
untuk selalu mendekatkan diri dengan Dia (upa = mendekat, wasa = Penguasa
kehidupan ini); yang dilakukan dengan bertindak harmonis dengan seluruh
ciptaan-Nya, karena itulah badan-Nya (Iswarah sarwa bhutanam). Tindakan
mengharmoniskan diri dengan lingkungan secara umum dikenal sebagai pelayanan
(seva) dan menjadi kewajiban semua orang. Sudahkah kita melakukan?
Monabrata, tidak berbicara, menjaga keheningan, merefleksikan
suara ke sumbernya, Hyang Iswara. Bukankah, suara bersumber dari Akasa,
Sunya, atau windu? Inilah cita-cita semua jiwa yang ada dalam setiap
makhluk. Ibarat udara yang terlepas dari kungkungan ruas-ruas bambu yang
gemeretak, demikianlah sang jiwa kembali ke sumbernya. Gita XVIII. 66
menyebutkan, “Setelah menuntaskan semua kewajiban, datanglah hanya kepada-Ku untuk
perlindungan; janganlah berduka, sebab Aku akan membebaskan engkau dari segala
dosa. Demikianlah, Tuhan mengampuni, Tuhan membebaskan jiwa perampok
Ratnakara dan Angulimala, serta semua orang yang melakukan brata siwaratri
ini. Tuhan Siwa pun bersabda, mangke tan ana bedha awakta lawan iki
sariraning ulun. Sekarang tidak ada bedanya engkau dengan Aku. Sang
jiwa, aku telah kembali kepada Aku. Semua lebur, tidak ada dosa, tidak
ada pula kebaikan. Semua menyatu dalam alam Sunya. Om Tat Sat.
SIVASTAVA
Om nama
sivaya sarvaya
Deva
devaya vai namah
Rudraya
Bhuvanesaya
Siva
rupaya vai namah
Ya Tuhan, hamba
memuja-Mu sebagai Hyang Siva, yang menguasai segalanya, dewa dari semua
dewa. Kepada Rudra yang mengatur alam semesta, kami memuja dalam wujud-Mu
yang Maha Kasih.
Tvam
Sivas tvam Mahadeva
Isvarah
Paramesvarah
Brahma
Visnus ca Rudrasca
Purusah
parikirtitah
Ya
Tuhan, Engkau adalah Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu, dan
Rudra, Purusa dan Prakirti.
Tvam
kalas tvam yamo mrtyur
Varunas
tvam Kuberakah
Indrah
Suryah Sasankas ca
Graha
naksatra tarakah
Engkau
adalah penguasa waktu, dewa kematian, Waruna dan Dewa Kekayaan, Indra, Surya,
dan Rembulan, planet-planet dan bintang-bintang.
Prthivi
salilam tvam hi
Tvam
Agnir Vayur eva ca
Akasam
tvam param sunyam
Sakalam
niskalam tatha
Engkau adalah penguasa
air, bumi, api, dan angin. Engkau adalah angkasa raya, Yang Maha Tinggi
dan eter.
Engkau
berwujud dan tidak berwujud.
Asucir
va sucir vapi
Sarva
kama gato’piva
Cintayed
devam Isanam
Sabahyabhyantarah
sucih.
Seseorang
yang suci maupun yang tidak suci, jika dia sepenuh hati bersujud untuk memenuhi
keinginannya, senantiasa memuja Hyang Siwa, akan memperoleh karunia, kesucian
lahir dan batin.