(Bagian Terakhir
dari 3 Tulisan)
Oleh: Agni Premadas[1]
Segera setelah nafsu penindasan itu disingkirkan, maka disadari bahwa
segala persenjataan akan merupakan beban yang sungguh terlalu berat untuk
dipikul oleh suatu bangsa. Sementara itu perlucutan senjata secara nyata tidak
mungkin akan terlaksana, kecuali bila sungguh-sungguh setiap bangsa di dunia
ini tidak berniat menindas dan mengisap bangsa lain (Mahatma Gandhi)
Alfin Toffler seorang ahli tentang masa depan (futurulog)
meyakini bahwa dunia pada saat sekarang berada dalam “gelombang kedua”.
Gelombang kedua ini dimulai sejak Revolusi Industri di Inggris, yang dalam
perjalanannya hingga saat ini, industri menjadi tolok ukur kemajuan suatu
bangsa, tetapi di pihak lain ia justru mengakibatkan kemiskinan. Hal ini
ditandai oleh menjamurnya masalah-masalah korupsi, polusi yang mengancam
kualitas kehidupan, konsumerisme dan birokratisasi. Keadaan ini diperhebat lagi
oleh sikap kebanyakan orang yang sudah tidak tahu malu lagi terhadap apa yang
ia kerjakan. Pendek kata, “gelombang kedua” merupakan suatu model keberhasilan
yang pecah. Tofller melihat “gelombang kedua” sedang menuju titik akhirnya dan
disusunlah masa “gelombang ketiga”.
Gelombang ketiga ini belum terbentuk, hanya baru mekar.
Dalam gelombang ketiga ini terjadi perubahan-perubahan cara kerja, cara
bercinta, konflik-konflik politik baru, penjungkirbalikkan birokrasi,
pemerintahan lebih sederhana dan efektif. Industri gelombang ketiga adalah
mikro elektronika, yang membuka perspektif baru dalam transportasi dan
komunikasi sehingga komunikasi dengan alat-alat elektronik akan menggantikan
transformasi. Pola masyarakat gelombang ketiga adalah prosumer economic
yang oleh Gandhi diungkapkan dengan istilah yang indah yakni swadeshi (kemandirian).
Dalam swadeshi, masyarakat menggunakan barang-barang hasil produksi sendiri,
dari kebutuhan paling mendasar seperti makanan sampai pakaian.
Bersamaan dengan ramalan Toffler, tiga pilar gerakan
politik Gandhi yaitu ahimsa, satyagraha dan swadeshi sebagai jalan keluar
penyelesaian masalah dan mencapai masyarakat yang bebas, sangat relevan dan
semakin aktual. Dalam kondisi krisis yang diwarnai oleh perubahan-perubahan
dahsyat, serta kekerasan kita perlu memahami kembali esensi ketiga pilar
tersebut.
Ahimsa mengajarkan, bahwa
penyelesaian dengan kekerasan justru akan mengundang kekerasan baru. Kekerasan
bukannya membebaskan manusia dari beban mentalnya tetapi justru membelenggu dia
dan mengungkapkannya dalam kesempitan cinta. Sebaliknya, dengan ahimsa kita
dapat mengembangkan rasa dan kemampuan insani sehingga dapat menemukan diri
sendiri sebagai sebuah ciptaannya, hasil kebudayaannya yang merupakan wujud
konkrit dari pernyataan dirinya.
Dalam ahimsa itu pula termuat sikap etika yang
sangat positif terhadap alam. Manusia tidak lagi akan mengeksploatasi alam demi
keperluan sendiri, melainkan ia akan menjadi ekosistem sehingga dunia yang dia
tempati benar-benar merupakan “rumah” baginya. Pada tahun 1931, di London,
Inggris Mahatma Gandhi sudah mengatakan bahwa dunia esok akan merupakan
masyarakat berdasarkan ahimsa. Walau pandangan itu, pada masanya seakan
merupakan tujuan di kejauhan, suatu utopia, tetapi menurutnya sama sekali tidak
mustahil dicapai. Seseorang dapat menerima cara hidup masa mendatang, yang pantang
kekerasan tanpa menunggu-nunggu orang lain berbuat demikian. Bila seseorang
bisa melakukan itu, mengapa hal ini tidak bisa dilaksanakan oleh oknum-oknum,
atau suatu bangsa sekalipun ? Orang sering enggan memulai karena dia merasa
tujuan tersebut tidak dapat dicapai dalam keseluruhannya. Sikap inilah yang
menjadi perintang besar dalam menuju kemajuan, suatu perintang yang dapat
diatasi oleh setiap manusia bila saja dia bertekad dan bertindak.
Dalam kenyataannya, masih banyak bangsa yang dewasa ini
tertindas oleh penguasa totaliter refresif dan tidak adil. Penindasan itu tidak
terbatas dalam bentuk fisik, tetapi juga ekonomi, hukum dan kebijakan politik.
Akibat yang tidak terelakkan lagi seperti nampak dalam musibah kemanusiaan
seperti kelaparan dan kematian di berbagai belahan dunia.
Menanggapi situasi keterbelakangan struktur yang tidak
manusiawi itu, Faulo Freire mengajukan pemecahan yang dikenal dengan konsientisasi
yang pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk pendidikan politik, sam
seperti satyagrahanya Gandhi. Kedua pemikiran ini sama-sama menghendaki
perubahan struktur dalam masyarakat dari opresif ke arah yang lebih
manusiawi, dimana hak-hak rakyat dihormati dan dihargai sehingga terciptalah
kondisi yang memungkinkan individu masing-masing merealisasikan dirinya.
Dalam satyagraha, Gandhi telah menunjukkan kepada dunia
satu bentuk baru dari penyelesaian konflik yang dapat diterapkan dalam konflik
antar bangsa, antara minoritas yang tertindas dan pemerintah mereka, antara
kelompok-kelompok sosial dan bahkan antara individu-individu Ini adalah jalan
yang sulit untuk diikuti, tapi merupakan satu-satunya jalan yang dapat
menghasilkan pemecahan abadi.
Transformasi budaya manusia, setidaknya menurut Mochtar
Lubis akan bergerak ke arah tujuan yang telah dirintis oleh Mahatma Gandhi.
Semakin jauh ke depan, akan semakin terasa keperluan untuk semakin mengurangi
kadar pemakaian kekerasan dan kekuasaan dalam segala rupa upaya untuk
menyelesaikan beragam masalah antara umat manusia dengan kekeuasaan, antara anggota-anggota
masyarakat sendiri dengan bangsa, dan antara negara dengan negara.
Tuntutan-tuntutan untuk tidak memakai kekerasan dalam menyelesaikan berbagai
masalah seperti ekonomi, sosial, politik di tingkat nasional maupun
internasional, akan semakin besar dengan semakin bertumbuh kembangnya kesadaran
kemanusiaan umat manusia sendiri.
Cita-cita swadeshi Gandhi adalah pelayanan bagi negeri
sendiri, yang tiada ubahnya dengan nasionalisme. Swadeshi menurut dia memiliki
beberapa aspek. Ada swadeshi politik, yang dalam kalimat Woodrow Wilson
berarti, “hak untuk menentukan nasib sendiri”. Itulah hak untuk memelihara
dengan penuh kasih sayang lembaga politiknya sendiri, hak untuk memiliki
pemerintah sendiri. India memiliki hak ini karena setiap bangsa memilikinya.
Ada swadeshi ekonomi. Pengembangan dan perlindungan industrinya sendiri. Boikot
atas pakaian luar negeri, pemakaian “khadar” dan budaya pemintalan sendiri. Ada
swadeshi agama, kesetiaan kepada, dan penyucian atau pemurnian dari agama
negeri sendiri. Gandhi menyebut dirinya sebagai seorang Hindu ortodok, tapi ia
juga mengatakan bahwa “bila kechandalaan merupakan bagian dari, maka saya
bukanlah orang Hindu”. Ucapan ini berarti bahwa Gandhi bertujuan untuk
mereformasi agama Hindu dan memurnikannya kepada cita-cita yang seharusnya.
Dengan alasan ini ia membuang kechandalaan, penindasan
terhadap orang miskin, kecanduan obat, secara sekuler dan agama. Gandhi
berpendirian bahwa semua agama bila direformasi dan dilaksanakan dengan serius
mengandung cukup kebenaran untuk menghasilkan karakter. Berdasarkan hal ini,
menurut pendapatnya proselitasi (pencarian pengikut agama dari orang yang sudah
beragama) senantiasa dan dimanapun adalah salah, dan harus diganti dengan kerja
kemanusiaan, satu-satunya perwujudan dari keyakinan agama seseorang dalam
perbuatan. Ada juga swadeshi pendidikan, pengembangan dari bahasa dan budaya
bangsa itu sendiri. Sekolah-sekolah nasional adalah perwujudan dari cita-cita
ini dan serta penekanan yang semakin pentingnya pemeliharaan bahasa daerah.
Ahimsa, satyagraha dan swadeshi adalah tiga pilar yang
melandasi perjuangan pantang kekerasan Gandhi. Ahimsa adalah falsafah pantang
kekerasan yang dikembangkannya, satyagraha adalah aksi perjuangan yang tidak
memakai kekerasan, serta swadeshi adalah perjuangan untuk nasionalisme itu
sendiri. Tiga pilar ini terasa semakin relevan dalam konstelasi politik
internasional saat ini yang membawa perubahan cepat dari peradaban serta
nilai-nilai budaya manusia.
Dengan demikian ketiga pilar tersebut masih relevan
terutama dalam merealisasikan tata dunia baru yang masih tetap memegang etika
kemasyarakatan dengan berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan universal yang oleh
Magnis Suseno, diperinci menjadi: Pertama, setiap negara dan bangsa
berhak atas integritas nasionalnya sendiri dan wajib untuk menghormati
integritas nasional setiap bangsa dan negara lain dalam kesetiakawanan dengan,
serta bertanggung jawab terhadap semua bangsa di dunia. Kedua, hak-hak
dasar setiap orang sebagai manusia wajib dihormati; Ketiga, semua
anggota masyarakat berhak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
tentang hal-hal yang menyangkut mereka sendiri; Keempat, perwujudan
keadilan sosial perlu diberi prioritas utama dalam usaha pembangunan
masyarakat; Kelima, harkat keyakinan agama sendiri membenarkan diri
dalam sikap hormat terhadap keyakinan orang lain; Keenam,
konflik-konflik pribadi, sosial, nasional dan internasional harus dipecahkan
secara damai, dengan menolak penggunaan cara-cara kekerasan; Ketujuh,
segala pembangunan harus dijalankan dalam tanggung jawab terhadap keutuhan
lingkungan hidup dalam solidaritas dengan generasi-generasi umat manusia yang
akan datang.
Jadi, jelas bahwa dalam era sekarang, era dimana tidak
ada sama sekali batas besarnya pengorbanan yang dapat dilakukan seseorang untuk
sampai pada “penyatuan dengan hidup”, era yang menuntut sikap “perbanyaklah
kebutuhan-kebutuhan”, tiga pilar perjuangan Gandhi bisa menjadi bahan
kontemplasi dalam upaya menghadapi hempasan gelombang ketiga serta untuk menggapai
jenjang kemanusiaan yang lebih tinggi. (Selesai).
[1] Ketua
Litbang Veda Poshana Ashram, Ketua Yayasan Dvipantara Samskrtam dan Dosen
Universitas Warmadewa Denpasar