Oleh:
I Wayan Suja (Brahma Acharya Murti)
Hidup merupakan perjalanan spiritual dari keter-ikatan ragawi
menuju kebebasan dan kebahagian abadi. Langkah awal dalam perjalanan
panjang tersebut adalah menanamkan kesadaran bahwa kita bukan badan. De-ngan
menyadari hakekat sang diri adalah atman, tentu kita tidak mau hanyut dalam
kenikmatan duniawi yang bersifat sangat sementara, sebaliknya ada kerinduan
untuk selalu berusaha mendekatkan diri dengan Brah-man. Dan, hidup dengan Tuhan
sesungguhnya adalah proses pendidikan sejati karena akan membangkitkan sifat
dan karakter keilahiannya. Makna itulah yang terpendam dalam rerahinan
Tumpek (berasal dari kata tampek), termasuk di antaranya Tumpek Wariga, yang
dalam Lontar Sundari Bungkah, dimaknai sebagai wewarah ring raga.
Tidak akan pernah ada kemenangan tanpa perju-angan, dan
perjuangan dalam konteks spiritual adalah ‘peperangan’ untuk mengalahkan diri
sendiri (nafsu). Agar bisa mengendalikan nafsu kebinatangan yang ada di
dalam diri, faktor lingkungan perlu diperhatikan. Ling-kungan alam perlu
ditata dan dilestarikan, pergaulan sosial perlu disucikan (Sugihan Jawa),
diikuti –dan ini yang terpenting – penyucian tri kaya (Sugihan Bali).
Penyucian diri untuk menuju kemenangan dilakukan dengan membiasakan diri
melakukan pengendalian diri atau “tapa” (penapean) dan itu mesti dilaksanakan
dengan kesungguhan hati (penyajaan). Hanya dengan demikianlah manusia akan
mampu menyembelih nafsu-nafsu kebinatangan yang ada di dalam dirinya
(penampahan), dan baru secara spiritual berhak merayakan kemenangan Dharma atas
adharma. Tanpa perjuangan, hanya ada kebanggaan ritualitas-simbolik, yang
tidak memiliki dampak langsung terhadap perkembangan jiwa, bahkan bisa
melahirkan kemunafikan religius.
Mengenai kekuatan tapa untuk mentransformasi diri secara alami
dan ilmiah dapat kita lihat pada proses metamorfosis ulat menjadi kupu-kupu
melalui pemben-tukan kepompong. Seekor ulat berpenampilan menji-jikkan dan
bulu-bulunya menyebabkan gatal pada kulit siapa saja yang menyentuhnya.
Kejelekan ulat tersebut menjadi sempurna dengan perilakunya merusak deda-unan.
Namun, berkat “kesadaran” akan kelemahannya, ulat melakukan pengendalian diri,
dan lewat tapanya dia berubah menjadi seekor kupu-kupu. Penampilannya
berubah, menjadi cantik dan menarik, perilakunya juga sangat-sangat
berubah. Bercermin dari kesadaran sang ulat, leluhur masyarakat Bali
mengenang proses metamorfosis tersebut pada saat “mengkafani” mayat dengan
mengikatnya menggunakan tali katekung (kepompong). Kearifan lokal
tersebut merupakan pelajaran bagi yang masih hidup, sementara mayat yang
dikafani hanya menunggu waktu dimakan ulat.
Tanpa perjuangan, kemenangan hanya harapan; dan perayaannya bisa
mewujud menjadi prosesi ritual yang kehilangan makna spiritualnya.
Perjuangan berat tersebut menuntut disiplin ketat dan tepat (brata), agar
tidak hanya hilir mudik pada keriuhan ritual, atau hanya keluar masuk dalam
kegaduhan tradisi tanpa tepi. Ibarat sapi yang dicocok hidungnya, kita
telah berjalan tanpa henti hingga lutut dan kaki terasa letih. Ternyata,
kita telah berputar-putar mengelilingi patok budaya dimana tali tradisi itu
ditambatkan. Kesenangan yang kita peroleh hanyalah kenikmatan ragawi yang
bersifat sementara karena bersumber dari kemenangan semu, dimana sesungguhnya
kita hanyalah pecundang dari kama, kroda, dan loba.
Sebuah sloka dalam Srīmad Bhāgavatam I. 17. 38 menyatakan,
“Dyûtam pānaṁ striyah sûnā, yatrādhar-maś catur vidah. Artinya, berjudi, minum
minuman keras, berzinah, dan membunuh binatang merupakan empat kaki
adharma. Sayangnya, keempat patologi sosial tersebut justru tumbuh subur,
terang benderang, di tanah Bali. Bahkan, pada hari-hari raya, termasuk
pada saat merayakan kemenangan Dharma, penyakit sosial itu tidak malu-malu
menampakkan dirinya. Jika krama Bali hanyut dalam gelombang hedonistik
tersebut, maka citra Bali sebelum datangnya penjajah Belanda akan kembali
muncul. Bali saat itu dikenal sebagai pulau angker yang dihuni oleh para
dedemit, tempat judian serta madat dan budak diperjualbelikan secara
bebas. Setelah Belanda datang, lewat kegiatan promosi pariwisatanya,
image Bali pun bisa diubah menjadi pulau Sorga. Namun sekarang, citra
Bali justru sering dirusak oleh krama Bali sendiri. Disadari atau tidak,
perilaku krama Bali telah banyak mengarahkan pulau sorga terakhir ini (the last
paradise) menuju sorga yang hilang (the lost paradise). Jika tidak segera
dibenahi, Bali akan mengalami kehancuran.
Kehancuran Bali mencakup kerusakan fisik, psikis, budaya, dan
keimanan yang bisa disebabkan oleh beberapa hal berikut. Pertama, sikap
cuek masyarakat dan aparat terhadap berbagai kemaksiatan yang terjadi di Bali,
seperti judian dan café miras plus-plus. Kedua, ketidakpenguasaan aspek
produksi dan investasi krama Bali, yang menyebabkan mereka menjadi jongos di
kampung halaman sendiri atau hanya kena imbas dan penikmat sampah.
Ketiga, berkurangnya habitat akibat alih fungsi lahan dan pengalihan hak milik
tanah Bali kepada orang luar. Keempat, kemunafikan sosial akibat krama
Bali secara psikologis menganut paham ganda. Pada tataran pemikiran dan
wacana mengikuti filsafat idealisme yang bersumber dari Pustaka Suci Veda,
tetapi prakteknya justru lebih mendekati pragmatisme-liberal (Agama
Pasar). Ketidaksatuan semangat trikaya tersebut hanya akan berakhir pada
stress sosial, sebagai awal kehancuran suatu komunitas. Semoga semua ini
tidak menjadi alternatif skenario kehancuran Bali dan semoga kita tidak hanya
menang sesaat.
Om Tat Sat.