(Bagian Kedua dari 3 Tulisan)
Oleh: Agni
Premadas[1]
Orang Timur telah menyerahkan diri pada
penaklukan budaya oleh Barat, padahal sebenarnya Barat yang menerima kearifan
dari Timur, dari Zoroaster, Budha, Nabi Musa, Isa, Muhammad, Krishna, Rama dan
lain-lain. Pesan dari Asia harus dipahami tidak melalui kacamata Barat, atau
lewat bom atom. Pesan yang harus diberikan pada Barat seharusnya pesan kasih
dan kebenaran. Aku tidak hanya hendak menghimbau pikiranmu, tetapi aku ingin
merebut hatimu (Mahatma Gandhi).
Konsep satyagraha pertama kali dituangkan
oleh Gandhi dalam Indian Opinian. Satyagraha berasal dari sat (kebenaran)
dan agraha (tekad), sehingga secara harfiah sering diartikan
“berpegang pada kebenaran”. Ini adalah metode “kekuatan jiwa” sebagai lawan
dari metode “kekuatan tubuh”. Pemikiran yang dikandung adalah keterlibatan
dalam berbagai aspek kehidupan termasuk gelanggang politik, namun tetap di
bawah sinar moralitas. Dalam bahasa PR. Sarkar dikatakan, bahwa in
the political sphere, the should be the rule of moralist people, for immoralist
cannot lead society, they cannot inspire the people into the path of
rightousness. Ide dasarnya adalah untuk mengakhiri ketidakadilan dengan
mengubah hati si pelaku ketidakadilan dengan membangkitkan, melalui cinta dan
penderitaan diri, rasa keadilan si pelaku tersebut.
Dalam sejarah politik, keempat ashram
Gandhi yaitu Phoenix, Tolstoy Farm di Afrika Selatan, serta Sabarmati, Sevagram
di India tercatat sebagai “laboratorium” satyagraha. Di Afrika
Selatan metode perlawanan non kekerasan ini dapat terlaksana dengan baik.
Ketimpangan-ketimpangan yang telah menimpa orang-orang India sebagian besar
dihapuskan, dan suatu kekuatan karakter dan harga diri tercipta dalam diri
mereka. Ini melibatkan disiplin diri dan pengorbanan diri bagi Gandhi serta
pengikutnya. Disiplin dari dalam diri yang diperoleh dari pengorbanan diri
inilah yang merupakan pesan Gandhi untuk India. Cita-cita ini memiliki akarnya
yang kuat dalam agama.
Gerakan-gerakan satyagraha Gandhi di Afrika
Selatan merupakan peristiwa pioner bagi model gerakan selanjutnya. Sukses di
Afrika membawanya kembali ke India dalam tahun 1915. Dalam lima tahun, dia
menjadi pemimpin dari gerakan kemerdekaan India. Pada tahun 1917, Gandhi
memimpin satu gerakan satyagraha di Champaran, yang menghasilkan penghapusan
keadaan buruk pada petani nila. Pada tahun 1918, Gandhi memimpin gerakan
satyagraha di Ahmedabad atas nama para pekerja tekstil. Dia memimpin tiga
gerakan satyagraha besar melawan pemerintah Inggris di India: (1) gerakan tanpa
kerjasama (non-cooperatiaon, 1920-1922) sebagai jawaban atas pembunuhan
di jalianwallah; (2) gerakan tahun 1930-1932 yang mulai dengan perjalanan
panjang garam (salt march) yang terkenal; gerakan tinggalkan India (Quit
India, 1940-1942).
Dia telah dipenjarakan tiga kali dan
menghabiskan tujuh tahun dipenjara untuk kegiatan politik. Gerakan-gerakan
satyagrahanya membangkitkan kesadaran dari rakyat India dan membuat pemerintah
Inggris semakin goyah, baik secara moral maupun secar fisik. Akhirnya Inggris
terpaksa memberikan India kemerdekaan pada tahun 1947, dengan cara yang paling
bersahabat dalam sejarah peradaban manusia.
Tampak bahwa satyagraha adalah merupakan
sebuah alat perjuangan politik yang melibatkan rakyat banyak, namun tetap
berpedoman pada pantang kekerasan (ahimsa), karena tujuan yang
didambakan ialah tujuan kebenaran. Tujuan satyagraha menghendaki kesabaran dan
kerelaan berkorban luar biasa, dan tidak jarang dalam jangka waktu yang relatif
panjang. Mau tidak mau satyagraha harus dilandasi oleh kegiatan konstruktif
demi kemampuan untuk menghidupi diri sendiri. Orang yang lemah hatinya tidak
akan mungkin menjadi satyagrahi.
Satyagraha menuntut adanya kesatuan batin,
kebebasan spiritual dan pribadi, sedangkan otonomi serta kemerdekaan nasional
hanya merupakan konsekuensinya saja. Tetapi, apabila satyagraha hanya dipandang
sebagai suatu teknik yang berguna untuk mencapai suatu tujuan yang pragmatis,
yakni kemerdekaan politik, maka satyagraha akan menjadi tidak bermakna. Hal ini
karena akar satyagraha ada di dalam doa, seorang satyagrahi mengandalkan Tuhan
untuk perlindungan terhadap kezaliman dunia. Sungguh tidak mungkin akan
mencapai tujuan satyagraha tanpa adanya keyakinan seperti itu.
Dalam mengatasi konflik, gerakan satyagraha
biasanya menempuh dua langkah ideal. Pertama adalah penguasaan secara
hati-hati seluruh fakta, menuju kepada negosiasi dan kemungkinan penyelesaian
secara damai (arbitrase). Tahap ini memerlukan keterbukaan dan
komunikasi agar dicapai kesatuan pandangan. Bila arbitrase gagal, satyagrahi
menyiapkan langkah kedua, yakni tindakan langsung. Satyagrahi
mengumumkan aksi langsung yang telah direncanakan dan tetap dalam tindakan,
menerima semua kesulitan, sampai semua masalah diselesaikan menurut kepuasan
kedua belah pihak.
Dengan model gerakan satyagrahanya, Gandhi
hendak menunjukkan kepada dunia satu bentuk penyelesaian konflik antar bangsa,
antara minoritas yang tertindas dan pemerintah mereka, antar kelompok-kelompok
sosial dan bahkan antar individu-individu. Ini memang jalan yang sulit untuk
diikuti, tapi merupakan satu-satunya jalan yang dapat menghasilkan pemecahan
abadi.
Apa yang bisa kita katakan dengan gerakan satyagraha
Gandhi, maupun ide-idenya yang lain, seperti: ahimsa dan swadesi, terutama
dalam konstelasi sosial politik antar bangsa saat ini adalah bahwa semua gagasan
besar itu tetap inspiratif, segar, tegas dan tegar. Kritiknya terasa sangat
tajam atas problema sosial, politik, agama dan ekonomi. Cara hidupnya yang
telah menjadi bagian dari percobaannya tentang kebenaran, menggambarkan watak,
sikap dan perilaku yang bertujuan tunggal yakni mewujudkan kebenaran dalam
masyarakat. (Bersambung)
[1] Ketua Litbang Veda Poshana Ashram, Ketua Yayasan
Dvipantara Samskrtam dan Dosen Universitas Warmadewa Denpasar