Shri
Anantadamar Ganachakra
LINGGA
berasal dari bahasa Sanskrta yang berarti Pusat, Poros, Sumbu, Titik Tuju.
Asal
muasal alam semesta termasuk manusia adalah ATMA LINGGA KOSONG atau ATYANTA ATMA
LINGGA yang berada di wilayah Hrdaya atau kehampaan – ruang hampa alam semesta,
yang dikuasai Hyang Mahawishnu atau Brahman. Hrdaya dalam Bhuana Alit – Badan
manusia adalah HATI dalam artian nonfisik yakni ruang hampa tak terlihat, yang
baru terasa berat/nyeri saat bersedih atau besar berdebar saat
berbahagia, membara saat marah, dan lain lain.
ATYANTA
ATMA LINGGA mewujudkan dirinya menjadi PARAMA ATMA LINGGA, yakni ATMA LINGGA
besar/utama. Dalam badan manusia letaknya di pusar atas / kepala. Di alam
semesta letaknya dipusat galaxy alam semesta yang disebut LUBANG HITAM, dimana
gaya gravitasinya mengeluarkan cahaya sangat cemerlang, lebih dari satu trilyun
cemerlangya matahari. Para ilmuwan menyebut cahaya ini sebagai QUASAR yang
merupakan proses awal kelahiran galaxy dialam alam semesta, atau asal alam
semesta. Cahaya inilah yang disebut sebagai JYOTIR LINGGAM, Lingga asal muasal
alam semesta, yang diakui oleh Dewa Brahma sebagai Linggam yang tak ada ujung
pangkalnya. JYOTIR LINGGA ini adalah PARAMAATMA LINGGA. Jyotir Lingga ini
memiliki ujung keatas yang disebut SAPTA LOKA (alam kemurnian/kesucian) dan
ujung kebawah yang disebut SAPTA PATALA (alam material/kehidupan).
Jyotir
Lingga inilah yang kemudian diwujudkan dalam pemujaan tradisi Weda sebagai
Pertiwi Lingga yakni Lingga yang terbuat dari Batu (Ratmaja Lingga), Kayu
(Daruja Lingga), Tanah liat (Mrinmaya Lingga), Logam (Lohaja Lingga) dan
Kshanika Lingga (lingga sementara, yang terbuat dari bunga, beras, nasi,
kunyit, tepung dan rudrakhsa), semuanya itu untuk memudahkan Dhyana / pemusatan
fikiran dalam Bhakti. Pertiwi Lingam ini adalah perwujudan luar dari ANTARAATMA
LINGGA, yang didalam badan manusia berada di TRIKUTA, dibagian belakang
diantara kedua mata. Dalam dunia kedokteran disebut sebagai HYPOTALAMUS, yang
mengontrol system syaraf manusia.
Dalam Rg
Weda, Jyotir Linggam sebagai Antaraatma Linggam ini diwujudkan dalam api
Agnihotra didalam Agni Kunda.
Dalam
tradisi Hindu Nusantara (Lontar Siwagama), Pertiwi Linggam disebut sebagai
LINGGIH DEWATA, sebagai perlambang ANTARATMA, diwujudkan dalam Pelinggih Lingga
Kamulan. Didalamnya terdapat rong tiga, yakni yang sebelah kanan sebagai
lambang ayah (Sanghyang Paratma), sebelah kiri sebagai lambang ibu (Sanghyang
Sivatma), bagian tengah sebagai Purusa-Pradana yakni Antaratma Lingga. Demikian
pula dalam tubuh manusia, TRIKUTA atau Cakra Ajna memiliki dua daun bunga atau
energy, sebelah kanan – mata kanan adalah energy dingin/ayah, sebelah kiri –
mata kiri adalah energy panas/ibu. Tengah-tengahnya adalah pusar AJNA CAKRA
yang disebut ANTAR ATMA LINGGA.
Jadi,
Lingga Kamulan ini adalah symbol pemujaan untuk asal muasal umat manusia yang
bersifat universal, bukan untuk golongan atau sekte tertentu. Lebih jauh dalam
lingkup yang lebih kecil, Lingga Kamulan dipergunakan sebagai tempat khusus
pemujaan keluarga atau keluarga satu keturunan / trah, adalah untuk menghormati
atau ngelinggihang leluhur mereka masing-masing. Hal ini sah sah saja dan
dibenarkan oleh kitab suci, karena tujuannya adalah sebagai BHAKTI sekaligus
untuk menjaga PERSATUAN Keluarga yang rentan terhadap perselisihan, terutama
yang berhubungan dengan WARISAN. Lain daripada itu, siapa lagi yang bisa
diharapkan untuk mendoakan leluhurnya sendiri? apakah orang lain? Tentunya yang
paling diharapkan adalah preti sentana atau keturunan langsungnya. Oleh
karenanya kemudian munculah kemulan lingga atau Pura Pertiwi atau Pura Ibu,
sebagai wadah atau tempat untuk mendoakan leluhur.
Bila
tujuannya adalah sebagai BHAKTI, maka tidak ada halangan atau larangan bagi
manusia lainnya yang BUKAN ANGGOTA KELUARGA disebuah Sanggar/Lingga Kamulan
untuk ngaturang Bhakti. Mari kita STOP FANATISME KEMULAN yang didasari oleh
KASTA atau kedudukan atau derajat, karena semua itu ternyata bertentangan
dengan ASAL MUASAL ajaran adiluhung para leluhur kita dimasa awal terbentuknya
alam semesta, bertentangan dengan TEORI DASAR terbentuknya kemulan atau pertiwi
linggam.
ANTARATMA
LINGGA alam semesta adalah SURYA-AGNI, yang merupakan asal muasal kehidupan
serta yang memberikan kehidupan bagi seluruh makhluk hidup dan benda angkasa.
Semua benda angkasa termasuk kita berasal dari penyatuan AYAH-IBU SURYA-AGNI.
Jadi,
dalam proses BHAKTI kepada ASAL MUASAL atau KAWITAN, terdapat 3 pilihan Dhyana
atau objek pemusatan perhatian dalam pemujaan, yakni:
1.
Antaratma Lingga Semesta : MATAHARI/SURYA, sebagai Surya Sewana
/ Surya Upasana.
2.
Antaratma Lingga di Bumi : PERTIWI LINGGAM atau LINGGA KAMULAN
atau AGNI KUNDA
3.
Antaratma pada diri sendiri: TRIKUTA atau AJNA CAKRA
Selanjutnya,
ANTARATMA LINGGA ini mewujudkan dirinya sebagai ATMA LINGGA, yakni lingga
pribadi masing-masing ciptaan Hyang Widhi. ANTARATMA LINGGA yang merupakan
penyatuan AYAH dan IBU akan membentuk ATMALINGGA dalam tubuh masing-masing
manusia, yang terletak di pusar (sama halnya dengan pusar – lubang hitam alam
semesta). ATMALINGGA yang lebih besar, pada masing-masing Planet dalam Tata
Surya kita masuk dalam wujud Navagraha (lihat artikel lainya).
Dalam
proses Bhakti (Atma Tantra), Atma Lingga yang berada di pusar yang posisinya
horizontal, dibawa naik untuk bersatu dengan Paramaatma Lingga di pusar
ubun-ubun yang posisinya vertikal. Proses penyatuan ini (dari pusar ke
ubun-ubun) adalah dengan pengaturan nafas masuk dan keluar secara perlahan
dengan mantra SO-HAM (tradisi Weda) atau ANG-AH (tradisi Nusantara). Setelah
bersatu, keduanya diturunkan ke Antaratma Lingga di Trikuta. Penyatuan ini
membentuk cahaya sangat terang yang berbentuk + atau TAPAK DARA dalam tradisi
Nusantara, asal muasal swastika. Dalam tradisi surya tantra, ini disebut
GANACHAKRA, yakni sinar tapak dara yang sangat terang dengan lobang/pusar
energy dibagian tengahnya. Penyatuan inilah yang disebut dengan manunggal
dengan energy alam semesta, Bhuana Alit – Bhuana Agung Manunggal didalam diri.
Terbentuknya cahaya putih TAPAK DARA ini bersamaan dengan munculnya gema suara
suci OM.
TAPAK DARA
ini adalah merupakan symbol Caturvidha Purusaartha, 4(empat) tujuan hidup umat
manusia yakni: DHARMA (kebenaran, kebaikan, spiritual), ARTHA (kekayaan,
kemakmuran, keselarasan), KAMA (kesenangan, kebahagiaan, ketentraman), MOKHSA
(penyatuan dengan Brahman, kembali kepada Brahman).
Selanjutnya
TAPAK DARA / GANACHAKRA ini diturunkan kedalam ruang hampa tak berwujud yang
disebut HRDAYA, sebuah tempat rahasia disekitar tengah-tengah dada dibatas
diafragma, atau dalam ilmu kedokteran disebut sebagai SOLAR PLEXUS. Tempat ini
hanya bisa dirasakan keberadaanya, tidak dapat dilihat dengan mata biasa,
seperti rasa berat/nyeri saat sedih, rasa panas ketika marah, rasa berdebar
ketika jatuh cinta, dsb. Disinilah cahaya gemerlap tersebut perlahan lahan
meredup lalu lenyap sama sekali dalam kekosongan, tanpa warna, tanpa bau, tanpa
rasa, tergantikan dengan keheningan tiada tara, tanpa wujud, tanpa
symbol/yantra, tanpa sastra, tanpa mantra, yang disebut ATYANTA ATMA LINGGA
yang tak berwujud, tak terlukiskan.
Untuk
mempertahankan keadaan BHAKTI pada Sanghyang ATMA dalam kehidupan sehari hari
dapat dilakukan dengan JAPA Mahamantra Atma :
= OM TAT SAT ATMA
LINGGA HUM =
OM
: Suara Suci Hyang Widhi, Aksara Brahman
TAT
: Itu
SAT
: Asal muasal / Kawitan / Brahman
Atma
: Roh / Jiwa
LINGGA
: Pusat, Poros, Sumbu, Titik Tuju
HUM
: Hrdaya – kekosongan, tak berwujud, hati yang paling dalam
Makna:
Kami persembahkan Bhakti yang tulus kepada Aksara Brahman OM yang adalah
Brahman itu sendiri yang terwujud didalam Atma/Roh ku sebagai Lingga, yang
berkedudukan didalam hatiku yang paling dalam, untuk menuju Atyanta Atma Lingga
didalam kehampaan Brahman yang tak terhingga.
Bhagavadgita XVII.23
Om tat sad iti nirdeso,
Brahmanas tri vidhah smrtah
Brahmanas tena vedas ca,
Yajnas ca vihitah pura
Tiga kata Om Tat Sat dipergunakan untuk menunjukkan kebenaran mutlak yang
paling utama. Tiga lambang tersebut dipergunakan oleh para Brahmana sambil
mengucapkan kata-kata Weda dan pada waktu menghaturkan korban suci / yadnya
untuk memuaskan yang Mahakuasa
Bhagavadgita XVII.24
Tasmad om ity udahrtya,
yajna dana tapah kriyah
Pravartante vidhanoktah,
satatam brahmavadinam
Maka dengan itu, semua korban suci, kedermawanan dan pertapaan menurut aturan
kitab suci, selalu mulai dengan kata OM untuk mencapai Hyang Widhi / Sang
Brahman.
Atma
Lingga Japa ini akan menjadi efektif / bertuah / bermanfaat ketika
dihidupkan/diinisisasi oleh seorang Pandita Agni/Surya atau Guru Surya Jnana
Sidantha (Yogarsi atau Sannyasi Surya-Agni) dalam sebuah upacara Agnihotra (mewinten
Agni) atau dalam sebuah pemberkatan (napak dalam tradisi Nusantara).
BHAKTI
dalam wujud mantra untuk ATMA LINGGA sebagai berikut:
MAHAMANTRA Sapta Loka
Lingga / Alam Spiritual: RG Veda Mandala 3 Sukta 62 sloka 10
OM BHUR, BHUWAH, SUWAHA,
MAHA, JANAH, TAPAH, SATYAM
TAT SAVITUR VARENYAM
BHARGO DEVASYA DHIMAHI
DHIYO YO NAH PRACODAYAT
KepadaMu yang bersinar cemerlang, asal semua ini
KepadaMu kami menghaturkan bhakti yang tulus
Terangilah jiwa spiritual hamba
MAHAMANTRA Sapta Patala
Lingga / Alam Material: RG Veda Mandala 3 Sukta 62 sloka 11
OM PATALA, WITALA,
NITALA, MAHATALA, SUTALA, TALATALA, RASATALA
DEVASYA
SAVITUR VAYAM
VAJAYANTAH
PURAMDHYA
BHAGASYA
RATIM IMAHE
KepadaMu
yang bersinar cemerlang kami berbhakti
Kami
memohon kekayaan dan kebijaksanaan
Kami
memohon hadiah kemakmuran dari sang pencipta
ATMA
LINGGA MAHA MANTRA
Penyatuan
Sapta Loka Lingga dan Sapta Patala Lingga
OM TAT SAT
ATMA LINGGA YA NAMAH
OM TAT SAT
ANTARATMA LINGGA YA NAMAH
OM TAT SAT
PARAMAATMA LINGGA YA NAMAH
OM TAT SAT
ATYANTAATMA LINGGA YA NAMAH
Selanjutnya
dilengkapi dengan Pitra Puja, mendoakan para leluhur agar kedudukanya meningkat
dan pada akhirnya bisa menyatu di kediaman Mahawishnu. Pitra Puja sederhana
dapat dilihat pada artikel lainya.
BHAKTI
adalah jalan terbaik untuk menuju Hyang Widhi yag tak terfikirkan.
Dalam Bhagavadgita
VIII.28 disebutkan sebagai berikut:
VEDEŞU YAJÑEŞU TAPAHSU
CAIVA
DĀNEŞU PUŅYA-PHALAMM
PRADIŞŤAM,
ATYEYI TAT SARVAM IDAMM
VIDITVĀ
YOGĪ PARAMM STHĀNAM
UPAITI CĀDYAM.
Orang
yang mulai mengikuti jalan bhakti *tidak kekurangan hasil* yang diperoleh dari
memperlajari Veda, melakukan korban suci dengan kesederhanaan dan pertapaan,
memberi sumbangan atau mengikuti kegiatan di bidang filsafat atau kegiatan yang
dimaksudkan membuahkan hasil atau pahala. *Hanya dengan melakukan bhakti*, ia
mencapai segala hasil tersebut,dan akhirnya ia mencapai tempat
tinggal kekal yang paling utama.
Wujud
nyata daripada BHAKTI adalah JAPAM, AGNIHOTRA, HORMAT KEPADA LELUHUR DAN ORANG
TUA, KERJA TANPA MEMIKIRKAN HASIL/PAHALA, dan sebagainya yang dilandasi dengan
rasa bhakti yang tulus.
Semoga
bermanfaat
Lombok, 21
Maret 2017
Dikumpulkan
oleh,
SHRI
ANANTADAMAR GANACHAKRA
Pandita
Agni – Siswa Yogarsi