Galungan Menuju Paramartha Penyatuan Omkara - Shivatma

Posted by

Oleh Acharya Rishi Sadhu Giriramananda 


Hari Galungan , adalah pujawali  umat Hindu Bali - Nusantara. Hari suci itu  berulang enam bulan Bali atau setiap 210 hari. Hari H Galungan itu merupakan pertemuan antara  , sapta wara , panca wara dan pawukon, Budha, Kliwon Wuku Dungulan. Kata Galungan berasal dari Bahasa Jawa Kuno , yang artinya bertarung atau menang. Galungan juga berasal dari Dungulan juga artinya menang. Mengacu pada Lontar Purana Bali Dwipa, pertama kali dirayakan pada Purnama Kapat , Budha,  Kliwon Dungulan tanggal 15 dan tahun saka 804 atau Tahun Masehi 882. Kenapa Galungan itu dipersepsikan sebagai “kemangan” Dharma mengatasi Adharma?. Sangat perlu substansi Galungan - Kuningan, dimaknai menuju Paramartha, capaian kebijaksanaan dengan kesadaran kemurnian luhur. 


Mayadenawa Vs Dewa Indra 

 Cerita di Bali dahulu  kala  sempat berkuasa Raja  lalim dan juga kejam. Raja itu bernama Maya Denawa. Sayangnya Raja yang menerima anugerah Bethara Shiva itu tidak menjalankan swadharma sebagai raja yang baik. Kisah Mayadenawa itu, dimuat di lontar  khusus   namanya “Lontar Mayadanawantaka” Ceritanya, pada  zaman purba, hiduplah Bhagawan Daksa Prajapati. Beliau mempunyai anak putri yang bernama Dewi Danu. Putrinya itu menikah dengan Bhagawan Kasyapa. Perkawinan Putri Danu dan Kasyapa itu,  melahirkan putra tunggal bernama Mayadenawa. Mayadenawa ini berhasrat menguasai dunia. Karena demikian tinggi cita citanya, ia pun kemudian pergi  bertapa ke Gunung suci. Tujuannya  agar mendapat berkah Shiva Mahadewa. Tapasya yang keras dari Mayadenawa membuat Shiva berkenan. Selanjutnya, menganugerahkan kesaktian sekaligus juga daerah kekuasaan kepada Mayadenawa. Jadilah, daerah Makasar, Sumbawa, Bugis, Sasak, Blambangan dan Bali daerah  teritorialnya. Setelah Mayadenawa berkuasa, mulailah bala tentara daityanya mengatur pemerintahan kerajaan itu. Dengan anugerah kekuasaan yang tiada batas itu,  dia akhirnya mabuk kekuasaan. Dilarangnya rakyat Bali ke Besakih dan memuja Hyang Widhi, Dan diarahkan rakyat agar memuja dirinya. Karena dialah Dewa yang patut disembah. Mayadenawa sendiri bukan saja mencela dewa dewa, juga rakyat Bali tidak diperkenankan  menghaturkan sesajen untuk para dewa, kahyangan juga dirusaknya. Dalam keadaan demikian Sang Hyang Pashpati pergi ke sorga meminta  bantuan Dewa  Indra. Raja Paradewa itu setuju. Akhirnya,  dengan persenjataan dan tentara  kuat  dipersiapkan, untuk membinasakan Raja lalim Mayadenawa. Dewa Indra pun dibantu dua panglima utama Citrasena dan Citragadha yang menyerang dari sayap kanan Puri Mayadenawa yang mendirikan bentengnya di Bedahulu. Serangan dari sektor induk dari tengah tengah dipimpin langsung Dewa Indra sendiri dengan dibantu para Gendarwa. Untuk menyelidiki suasana Puri Mayadenawa itu diutus Bhagawan Naradha. Walau dilakukan diam diam oleh para dewa, namun serangan  itu sudah diketahui Mayadewa yang memang memiliki kesaktian mandraguna, setelah Para Dewa, siap siap, justru si  Gelabong yang merupakan Patih Mayadenawa itu menyerang lebih dulu pasukan Dewa dewa. Terjadilah pertempuran sangat sengit dan dashyat. Ternyata tentara para dewa lebih unggul dalam peperangan antara sura dan asura itu. Namun dengan kesaktiannya, Mayadewa mesalin rupa/  berubah wujud , kadang menjadi buah nangka, widyadara, daun kelapa bahkan ayam jantan yang besar. Pernah menjadi sebuah Desa yang luas. Seperti Desa Manukaya dan Sawubhatu. Karena bala tentaranya banyak mati, pada suatu malam dia melakukan geranasika, barang siapa meminum air atau mandi maka  akan jadi sakit bahkan menemui ajalnya. Banyak dewa yang meminum air dan mandi air beracun itu akhirnya memang mangkat. Dalam kesedihan yang mendalam Dewa Indra bantuan Bhagawan Naradha, Rishi rishi Shiwa, dan Sogata termasuk Bhujangga membacakan Weda Weda untuk menatralisir pengaruh racun dari Mayadenawa. Namun tetap gagal, akhirnya Mahadewa memberikan anugerah kepada Dewa Indra untuk menciptakan mata air suci yang kemudian disebut Tirta Mpul untuk menghidupkan para dewa dewa yang mangkat itu. Setelah itu pengejaran kepada Mayadenawa yang lari bersama patihnya Kelabong terus dilakukan . Namun Mayadenawa bersama patihnya terus bisa menghindar, sebab sasat sudah kepepet Mayadenawa akan berubah wujud  yakni menjadi ayam jago, padi dan terakhir menjadi batu besar. Kemudian bethara Indra yang sudah tahu siasat Mayadenawa itu, memanah batu besar itu dengan vajra, setelah itu hancurlah Mayadenawa termasuk  patihnya Kelabong itu. Dari batu itu keluarlah darah yang kemudian darah itu mengalir menjadi  sungai Petanu. Karena merupakan air dari darah Mayadenawa, rakyat kemudian masih menghubungkan dengan racun dan air yang tidak punya berkah, karena itu air sungai Petanu itu juga tidak digunakan untuk mengairi sawah, termasuk mandi apalagi diminum. Sedangkan, Mata air suci Tirtampul yang menghidupkan para dewa itu dengan cara  para dewa itu disirami - dilukat . Sejak itu Tirtampul dipandang sebagai kelebutan mata air suci masyarakat Bali. Air itu kemudian mengalir menjadi sungai Pakerisan. 

Cerita itu mendasari Galungan. Ada suatu pertempuran ekternal pihak Darma melawan Adharma. Kelompok Sura melawan Asura. Itu kisah  sebagai gambaran memotivasi para bhakta. 


Perang Dalam Diri ... 

Perang memang selalu ada setiap saat , momen. Tidak hanya perang eksternal  yang selalu menjadi bagian tidak terpisahkan  “perang  dalam diri” itu. Perang menghadapi Dasendria, melawan Sadripu, perang melawan kehidupan zaman now. Akan halnya moment Galungan, diwarnai tekanan Sang Kala Tiga, yakni Sang Bhuta Galungan yang hadir pada saat hari Minggu saat Penyekeban. Keseeokan harinya saat Penyajahan muncul Sang Bhuta Dungulan. Berturut turut tiga hari dan saat Penampahan adalah Sang Bhuta Amangkurat. Namun saat itu juga ada  Saktinya  Shiva, Ibu Durga. Pastinya Ibu Durga  memberikan efek meningkatkan atmosfer vibrasi yang jauh lebih tinggi. Sehingga sangat kuat resistensi ekternal saat itu. Jika tahu dan mampu mengakses Ibu Durga, maka kekuatan lah yang diperoleh dari anugerah cinta kasih saktinya Shiva yang juga dipuja kaum pengiwa itu. Karena itu, warga bisa  lebih tenang malah dapat anugerah menetralisir pengaruh Kala tiga dengan memuja Durga dan beryoga - istilahkan tapa, brata, yoga dyana - semadhi. Namun hanya kalangan tertentu , dan bisa dihitung dengan jari yang bershadana strike itu. Kaum awan dengan rasa bhaktinya, mempersembahkan upakara sampian Candigaan, untuk memuja Durga agar situasinya netral. Candigaan itu berasal dari kata Chandika,  nama lain dari Durga Sendiri. Selain memuja Ibu Durga . Dengan ngamet kekuatan Durga  memperoleh energi menentramkan Sang Kala Tiga. Dengan mantra sederhana   : om Sarwa mangala manggale shiva sarvatra shadike sharangga tryambakangauri narayani namostute. Om jayanti manggala kali kapaline durga ksmashivadatri svaha svada namostute . Bisa juga mantra lainnya Om Catur Dewa Maha Sakti , Catur Ashrama Bhatari, Shiva Jagatpathi  Dewi , Durga Sarira Dewi. 

Seperti itu lah antara  lain shadana ideal dilakukan untuk mendapatkan anugerah saat Galungan itu. 


Anugrah  Bhatin Suci Galungan

Menurut Lontar Jaya Kasunu, Hyang Widhi selain menguji dengan Sang Kali Tiga juga Durga memberikan anugerah. 

Pemujaan saat Galungan itu mendapatkan anugrah: Kekuatan Sradha dan juga Kesucian Bhatin. Nah untuk menghilangkan kekuatan / pengaruh buruk itu harus dengan komitmen ekstra keras melakukan tapa brata yoga dyana -samadhi masing masing. Lumrahnya di Bali mengekplorasi ajaran Shiva yang disebut  Shiva Shidanta. Dalam skema pusat centre of universe di posisi nadir dan zenith secara vertikal Tri Purusha - Shiva, Sadhashiva dan Paramashiva yang bersifat nirguna. Dalam Padma Asta Dala posisi cetrum adalah Sadhashiva aksara ya, ada di tengah senjata Padma. Sedangka di Timur adalah Sa saktinya Uma senjata Vajra, Selatan Ba , Saraswati , Gada/ Angkus. Di Barat Ta adalah Mahadewa saktinya Satidewi dengan senjata Nagapasha, di utara Wisnu , A saksi Sri senjata Cakra. Lima aksara Sa Ba Ta A I disebut Pancabrahma. Sedangkan Na Ma Si Va Ya adalan Pancaaksara, yakni Na di Tenggara / Maheswara/ Laksmi/ Dupa, sedangkan Barat Daya Ma Rudra / Chamundi / Moshala, Barat Laut / Si Sangkara, Raudri adalah Angkus. Timur laut Va Shambu , Mahadewi dengan senjata Trisula. Demikian salah satu shadana dalam ngamet kesucian bhatin saat Galungan, dengan cara ngerangsukan  mentransformasikan Dasaksara yang terdiri Pancabrahma dengan Pancaaksara dan satu lagi Sadhashiva untuk melengkapi menjadi Eka Dasa Rudra. 


Ganapathi Tatwa

Dan bisa juga menggunakan referensi Lontar Kadayatmikan  Ganapathi Tatwa. Pada Lontar Ini Shiva Iswara mengupas Jnanaagni kepada putra kedunya Hyang Ganapathi. Sesuai lontar ini skema makrokosmosnya adalah Sadhashiva di tengah, Ishwara di timur, Brahma di selatan, namun di Barat adalah Rudra dan di utara Wisnu. Hanya di Barat berbeda dalam Padma Asta Dala di barat adalah Mahadewa.  Dalam Ganapathi Tatwa juga selain diuraikan mekanisme ciptaan juga dibedah dewa dewa di dalam tubuh manawa. Brahma di posisi Muladara dengan omkara sebagai tenaga wayunya. Wisnu disebut berada di pusat nabi atau pusar  hingga berhubungan dengan lidah. Rudra di hati, Ishwara di tenggorokan dan Sadashiva di ujung lidah yang dipercaya menguasai segala  pengetahuan. Muladhara itu berada di antara dubur dan lubang kelamin. Berwarna aruna kemerahan , segi empat ada di dalam bunga seroja itu ada mutiara ada seperti tatit . Nah di dalam mutiara seperti tatit itu lah Omkara. Omkara itulah sumbernya tenaga wayu / prana terus sampai ke atas shivadwara. Itulah poros kundalini . Kemudian siwadwara terus turun ke hidung, ujung lidah, kerongkonga dan kemudian terpisah di hati. 12 jari di atas Muladara adalah pusar/ nabi di tengah matahari yang baru terbit itulah “Amertha” tempat penggantungan usus dan dubur. Di atas pusat nadhi 8 jari itulah Hati terselubung seperti api. Di dalamnya ada sinar  Matahari. Sejauh 12 jari di atas Hati adalah Kerongkongan ada teratai putih seperti intan. Sedangkan  berjarak 12 jari adalah ujung lidah di dalamnya ada mutiara suci di tengahnya sorga niskala. Munculnya perpaduan itu berdasarkan hal Gaib Rupa Suksma. Jiwa Atma itu berada di sperma maskulin / cukla yang keluar dari tubuh wanita yang dilahirkan dari Omkara. Jenis cukla wanita bersifat - laki laki wanita - masculin feminim diselubungi Omkara hingga menjadi Suksma rupa yang juga disebabkan om kara itu.  Kemudian setelah sebulan jadi mpehan, getih, tiga bulan telur butiran. Empat bulan telur itu menjadi Shivalingga berlubang yang ditengahnya berisi omkara dan suksma rupa. Shivalingga dalam lima bulan menjadi mayareka. Enam bulan mayareka menjadi Agni, dalam delapan bulan muncul Uswasa juga berasal dari Omkara. 


Shivalingga

Shivalingga , Shiva disebut omkara, Lingga dimaksud Sukla sperma maskulin - feminim , sama sama lekat berkaitan dengan Shiva dan Lingga. Setelah tiba 10 bulan Sunya lahirlah Nirmana hilangkah Nirmana muncul jiwa kemudian Atma. Hilang Atma kembali ke Jiwa, hilang Jiwa kembali ke Nirwan ke Sunya, Sunya Rupa kemudian Sang Hyang Ngamut Mega kemudian kembali ke intisari kegaiban Niskala. Yang dimaksud puncaknya Angkasa adalah Lingga Nada  yang berhubungan tunggal , gaib rahasia  berkoneksi dengan Purusha. Apabila tiba saatnya kematian  akan muncul di nabi bagaikan asap yang disebut Sang Hyang Shivatma. Kemudian asap itu pindah dari Shivamandala, Shivaloka atau Alam Shiva. Alam Shiva itu berbahagia alias anandam  tanpa kembali sengsara. Itulah yang dimaksud Shivamandala dan ada lagi disebut Sang Hyang Pancaatma yakni Atma, Paramatma, Antaratma, Niratma dan Sunyatma itu semua bertunggalan dengan Sang Hyang Shivatma. Sang Hyang Shivatma, membuka hubungan ke ubun ubun ke Dwasangula. Jika shadana dilakukan di atas atas inspirasi substansi Galungan dan Kuningan dilakukan dengan kesadaran atma , omkara , shivalingga dengan intensif, sistematis, terstruktur didasari totalitas murni, maka hakekat keparamarthaan pasti tercapai. 

Demikian catatan ringan dari berbagai sumber Acharya Rishi Sadhu Giriramananda. Klungkung Semarapura, Kirang langkung nunas Ampure. Om Tat Sat Asthu Om Kham Brah Esa Paramashivastah 🙏👍🕉💐👍🙏🙏🙏🙏🕉💐👍🙏🙏🙏




Blog, Updated at: Oktober 05, 2020

Postingan Populer

Buku VPA

Harga Rp 100.000 Harga Rp 50.000

Pemesanan silahkan KLIK DISINI
Bank BNI No 0864571776 an VPA Cabang Lombok

Cari Blog Ini


vedaposhana.ashram@gmail.com


  


TRI SANDHYA




https://www.ichintb.or.id/p/blog-page_56.html

Pusat Belajar Sansekerta

Bahasa Sansekerta adalah Bahasa Weda sebagai sumber dari segala sumber ilmu. Sebagai Umat Hindu sudah saatnya mengetahui dan memahami isi Kitab Suci Weda dengan belajar Bahasa Sansekerta
Ayo Belajar Bahasa Sansekerta