Oleh:
Agni Premadas[1]
Pada setiap hari Rabu Kliwon wuku Dunggulan
umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan yang diyakini sebagai kemenangan
dharma melawan adharma. Hari suci itu mempunyai hakekat yang sama dengan
Perayaan Vijaya Dasami, salah satu hari besar Hindu di India. Perayaan ini juga
merupakan peringatan hari kemenangan (vijaya) dan dirayakan selama 10 hari
(dasami). Kemenangan itu bisa tercapai karena dharma sudah tertanam dalam hati
dan selalu melandasi setiap tindakan manusia.
Svami Sathya Narayana menegaskan bagaimana dharma
tersebut dapat terwujud dalam tindakan. Mempraktekkan dan melakukan apa yang
terpikir dan terucap, merindukan kesucian, hidup dengan rasa bakti pada
dan untuk mencapai Hyang Widhi. Untuk kebaikan makhluk lain, maka pohon
menghasilkan buah. Demikian pula untuk kebaikan makhluk lain di dunia maka
sungai mengalirkan air. Sapi, tanpa meminum air susu mereka sendiri, bersusah
payah menghasilkan air susu untuk dimanfaatkan oleh makhluk yang lain. Demikian
pula manusia, tanpa memperhitungkan kepentingan sendiri, harus menggunakan
tubuhnya untuk kebaikan yang lain. Sariram Aadyam Khalu Dharma Saadhanam. Tubuh
manusia terutama diperlukan untuk pencapaian dharma (jalan kebajikan). Tubuh
harus melakukan bermacam-macam aktivitas untuk menunjang kehidupan keluarga,
masyarakat bangsa dan negara.
Untuk itu paling
tidak ada lima pilar dharma yang mesti dilakukan. Pertama, hormati dan pelihara
orang tua dengan penuh kasih sayang. Kedua, berbicara berdasarkan kebenaran dan
bertindak berlandaskan kebajikan. Ketiga, mengulang-ulang nama Tuhan (japa/
namasmaranam) dengan wujud tertentu dalam pikiran. Keempat, jangan pernah
terlibat dalam pembicaraan yang menjelek-jelekan atau mencari kesalahan orang
lain. Dan akhirnya, jangan menyebabkan kesedihan dan kesakitan pada orang atau
makhluk yang lain dalam bentuk apa saja.
Dharma selalu
ditandai dengan kesucian, kedamaian, kebenaran, dan ketabahan/ keuletan. Dharma
sendiri adalah persatuan yang ditandai oleh adanya keadilan, kendali diri, rasa
hormat/ respek, cinta kasih, martabat, kebaikan, simpati, dan tanpa
kekerasan. Dengan ciri-ciri seperti itu, dharma dapat bertahan sepanjang masa
yang membawa orang menuju cinta kasih universal dan persatuan.
Dharma sebagai
kewajiban dan kedudukan dalam hidup menurut pandangan Hindu adalah merupakan
warisan karma masa lalu (samskara). Setiap orang masing-masing harus mengikuti
jalannya sendiri-sendiri. Dharma dapat diibaratkan bagai seorang ibu. Orang
dapat memilih istri, tapi ia tidak mungkin dapat memilih seorang ibu. Dharma
berada dalam posisi sebagai ibu, sehingga seseorang tidak mempunyai pilihan dan
tidak dapat mengubah dharma.
Begitu pula kita
hendaknya selalu mengikuti jalan dharma untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana
ditunjukkan oleh orang bijaksana (Atharvaveda VII.97.7). Dalam Rgveda X.63.13
dinyatakan bahwa umat yang menempuh jalan dharma akan diberkahi dengan
kemakmuran dan juga dilimpahi dengan keturunan (generasi) yang berbudi luhur.
Kemenangan dan kebahagiaan sejati dalam hidup adalah hasil dari pelaksanaan
dharma yang baik. Kemenangan demikian bukan berasal dari kenikmatan yang
berasal dari kesenangan sementara. Kerja keras yang dilakukan untuk menegakkan
dharma akan menghasilkan kepuasan dan kebahagiaan tertinggi. Sebaliknya, bila
hanya mengejar kenikmatan sensual akan berakhir dengan penyesalan. Rahasia
kebahagiaan bukanlah dalam melakukan apa yang disukai, tapi dalam menyukai apa
yang harus dilakukan. Apapun kerja yang dilakukan, harus dilakukan dengan
senang hati.
Dharma akan menuntun
suatu kehidupan yang adil dan harmonis dalam semua hubungan dengan yang
lainnya, pada berbagai tingkatan, baik di rumah maupun dalam masyarakat atau
bangsa. Kemajuan spiritual akan terjadi, karena melaksanakan dharma berarti
mengendalikan segala pikiran, perkataan dan perbuatan yang berlawanan dengan
hukum keadilan dan keselarasan dari Hyang Widhi.
Suara batin akan
mengarahkan kita pada tujuan rohani. Bimbingan suara batin itu adalah suara
Hyang Widhi. Jika mengikuti arahnya, kita menjadi lebih dekat dengan-Nya. Itu
menolong kita untuk sadar pada dharma dan memiliki kesucian hati yang membuat
selalu bahagia dan menghancurkan pikiran atau perbuatan jahat (Rgveda,
VIII.95.7 dan 9) . Jika dapat menyadarinya setiap saat, kita menjadi lebih
serasi pada kewajiban rohani. Dengan mempraktekkan ini, hati nurani dapat cepat
mengevaluasi setiap situasi serta menunjukkan jalan pada sukacita dan
kedamaian.
Pelaksanaan dharma
itu harus menjadi suatu tindakan yang dilandasi oleh kasih, bukan suatu tugas
yang dilakukan dengan terpaksa. Melayani dengan rasa terpaksa atau tanpa
semangat menunjukkan tindakan adharma, karena Hyang Widhi ada dalam setiap
orang. Pelayanan kepada manusia juga adalah pelayanan pada Hyang Widhi (Manava
seva Madava seva). Dharma sendiri merupakan manifestasi kasih dalam tindakan.
Kasih adalah sifat sejati umat manusia. Menurut Bhagavan Sri Sathya Sai Baba,
kewajiban tanpa kasih adalah tercela. Kewajiban dengan kasih adalah yang
dikehendaki. Kasih tanpa kewajiban adalah Ilahi.
Untuk mencapai
kemenangan dharma, apa pun tugas seseorang harus dilaksanakan dengan bakti.
Membina kehidupan berkeluarga atau bekerja yang tampaknya pekerjaan tidak
berohani, sebenarnya adalah pelayanan kepada Hyang Widhi. Hyang Widhi memberi
umat-Nya tugas dalam hidup yang memungkinkan kita untuk mencapai pencerahan
rohani. Tiada tugas yang terlalu kecil atau tidak penting untuk dikerjakan
dengan baik. Umat semestinya memiliki dasar keyakinan bahwa, apa pun yang
dilakukan, di mana pun kita ditempatkan, percayalah bahwa Hyang Widhi telah
menaruh kita di sana untuk pekerjaan itu.
Kemenangan
dharma memungkinkan segala pikiran, ucapan, dan perbuatan umat selaras
dengan hukum-hukum alam. Semuanya ini membuat semakin bangkitnya rasa kasih
sayang dan kebijaksanaan dalam kehidupan. Oleh karena itu, umat yang menjalankan
dharma akan berupaya mempolakan semua aspek kehidupan dan kegiatannya sebanyak
mungkin dengan mengarahkannya pada sifat-sifat yang Ilahi.
Hasil yang bisa
dipetik dari kemenangan dharma atas adharma adalah berkembangnya nilai-nilai,
seperti: kepercayaan dan kejujuran, rasa tanggung jawab dan karakter penyatuan,
kesadaran nasional dan patriotisme, rasa tanggung jawab sosial, menghormati
semua agama, dan rasa tak terpisahkan dengan Hyang Widhi. Dengan landasan
nilai-nilai itu, setiap tindakan yang dilakukan tak akan pernah menyimpang dari
suara batin yang dihormati sebagai suara Ilahi.
[1] Ketua Litbang Veda Poshana Ashram, Ketua
Yayasan Dvipantara Samskrtam dan Dosen Universitas Warmadewa
Denpasar