Dirangkum
Acharya Rishi Sadhu Giriramananda
Shiva Sumedang - adalah salah satu dari 12 metode pengabenan produk Lontar Local Genius Bali. Pilihan pengabenan Shiva Sumedang ini di zaman now , sejatinya keputusan yang bijaksana, di tengah kaum milineal , era 4.0 yang menuntut serba praktis. Sudah pasti wajib dikreasi dengan tidak mengurangi esensi, hakekat mekanisme plutuk local genius Bali yang sudah diadopsi menjadi tradisi secara turun temurun. Sedangkan, 11 metode pengabenan lainnya mengacu pada Kumpulan Weda Puja Pitra Shiva (Dinas Kebudayaan Bali 2001) adalah :
1. Sawa Prateka
2. Sawa Wedhana
3. Pranawa
4. Swastha
5. Pitra Puja
6. Sawatandangmantri
7. Utamaning atau Madyaning Mapranawa
8. Supta Pranawa
9. Swastya Bya
10. Swasta Geni
11. Pitra Tarpana
Lalu bagaimanakah hakekat Pengabenan Shiva Sumedang itu?
Shiva Sumedang khususnya meniti tatanan prosesi Pengabenan pada jalan Shiva yang gaib. Sumedang maknanya adalah gaib (niskala). Intinya, pola pengabenan Shiva Sumedang itu dilakukan secara ngelanus - artinya sehari selesai bahkan bisa puput 5 jam , dari persiapan ngeringkes di rumah, kemudian memprosesi badan wadah dengan ngaben di setra - menyucikan jiwa dari segala papa, klesa menjadi atma yang murni kembali ke Sangkan Paraning Dumadi dengan ngeroras di Segara yang ada Gunung seperti Pura Goa Lawah atau Pura Uluwatu, dan selanjutnya ngelinggihan menjadi Dewa Pitara di Rong Tiga.
Demikian, dirangkum dari “Semiloka Nasional - Seminar dan Loka Karya Shiva Sumedang, Sebuah Pilihan Bagi Umat Hindu". Semiloka Nasional, yang digelar Yayasan Veda Poshana Ashram Pusat itu bekerjasama dengan Swargashanti dan Parisada Hindu Dharma Indonesia/ PHDI Bali, dengan dihadiri 285 peserta, 212 walaka, Hotri, Pinandita dan 73 Sulinggih / Pandita Agni , jadi total 285 orang peserta.
Tampil sebagai Pembicaara Dharma Adyaksa PHDI Pusat , Ratu Pedanda Nabe Bang Buruan Manuaba, Ida Pandita Mpu Abra Baskara Mukti Biru Daksa, Ketua Sabha Walaka PHDI Bali Dr Made Suasti Puja, SE, M. Fil H, Hadir Juga memberikan wacana suci Ketua PHDI Bali Prof Dr . IGN Sudiana, M. Si, President World Hindu Parisad, Dr. Mangku Pastika dan Penangjawab Acara Pandita Agni Nabe Shre Bhagawan Yogananda. Semiloka ini dimoderatori Pandita Rsi Acharya Swi Rarendra Mahadharma (sesi pertama seminar) dan Pandita Agni Acharya Rishi Sadhu Giriramananda (Sesi II Lokakarya)
Pilihan Bijak
Penanggungjawab acara Pandita Agni Nabe Shree Bhagawan Yogananda, mengatakan sangat bahagia, lebih lebih bertepatan dengan Pawetuannya Bali/ otonannya. Dengan rendah hati mengatakan kepada segenap hadirin yang dihormati sebagai jiwa jiwa mulia dan penuh cinta kasih. Semiloka Pitra Yadnya sub tema Shiva Sumedang, sebuah pilihan bijak bagi umat Hindu. Tema yang diangkat dalam semiloka ini bukan saja menantang bahkan merangsang. Sehinga peserta dari berbagai daerah ikut berpartisipasi. Pengabenan ini sebetulnya ritual yang dilakukan sejak zaman Purba di antara jenis jenis yadnya.Namun dalam pelaksanaannya di masyarakat banyak berkembang dengan pemahaman yang bias.
“Banyak yang masih mengabaikan sastra sebagai pedoman dominan. Karena itu banyak metaken ke balian, “ ujar Ratu Bhagawan. Nah kemudian hasilnya balian yang satu berbeda "bawos pewisiknya" dengan balian yang lain. Maka tidak aneh, kemudian ngaben diulang.
“Banyak yang masih mengabaikan sastra sebagai pedoman dominan. Karena itu banyak metaken ke balian, “ ujar Ratu Bhagawan. Nah kemudian hasilnya balian yang satu berbeda "bawos pewisiknya" dengan balian yang lain. Maka tidak aneh, kemudian ngaben diulang.
Namun ada juga fenomena penyelenggaran pitra yadnya ngaben ini “ngabehin” tetapi di satu pihak menjadi suatu beban. Dari segi kuantitas ada 9 macam ngaben : seperti utamaning utama, madyaning utama, nistaning, tingkat ngewangun, pranawa, swastha, pengabenan tanpa dibakar.
“Sesungguhnya yang mana saja dipilih, tidak ada yang salah yang sesuai dengan sradawan labate jnana - srada dan melalui pengetahuan itulah kita memiliki keyakinan yang teguh,” tambah Ketua Veda Poshana Ashram Pusat itu.
Akan halnya prosesi Shiva Sumedang itu sangat efektif untuk dilaksanakan di zaman now, substansi mekanismenya, ada prosesi pemisahan stula sariran dan suksma , sekaligus sambil menunggu pengabenan sesi prosesi atma/ ngeroras jalan terus. Kemudian Puspalingga dan Sange diprosesi di segara , dengan nyegara gunung , selanjutnya Ngelinggihang Dewa Pitara di Rong Telu Mrajan. Karena itu tidak aneh , jika durasi waktu yang diperlukan dari prosesi Shiva Sumedang itu jadi singkat.
Semoga Jadi Bhisama
Prof Sudiana, selaku Ketua PHDI Bali, mendukung penuh semiloka nasional Shiva Sumedang ini. Bahkan, hasil semiloka itu diharapkan bisa dikumpulkan, kemudian dipakai bahan pesamuan. “Nanti bisa dibawa ke pesamuan agung. Semoga bisa menjadi bhisama terkait pitrayadnya,” harap Rektor Universitas Hindu Negeri IGB Sugriwa itu.
Prof Dr IGN Sudiana, juga menegaskan dirinya secara pribadi sering turun terlibat pengabenan massal. Seperti di Muncan, PHDI bekerjasama dengan Telkomsel. Di masyarakat masih ada masalah berbagai hal pada umat hingga ada 7 keturunan belum diprosesi ngaben. Menurut , Yama Tatwa jika kurang setahun tidak diaben, banyak menjadi bute cuil. Pengabenan Shiva sumedang yang dilakukan ngelanus alias selesai sehari ini sangat bagus. Karena itu Seminar Lokakarya Nasional ini sangat strategis sebagai salah satu pilihan ngaben. “Jadi ada banyak pilihan, manut eka struti binacara” Upacara Ngaben di Jawa, Kalimantan, Sulawesi satu jenis saja ada yang disebut Tiwah, Turan turan, Nyewu. Memang pilihan model pengabenan di Bali banyak ragamnya. “Namun semua jenis pengebanan itu sah - sah saja” tegas Prof IGN Sudiana. Yang terpenting substansi upacara itu dilakukan dengan hati tulus las carhya dengan penuh sradha . “Karena itu rumuskan yang baik prosesi Ngaben Shiva Sumedang ini,” pinta IGN Sudiana menekankan.
Solusi Bijaksana
President Hindu Parisad, Dr Mangku Pastika, menyambut baik metode pengabenan Shiva Sumedang ini. Apalagi disemangati dengan suasana hati suci dan tujuan mulia. “Saya menyambut baik, salah satu solusi yang baik melakukan swadharma bhakti kepada orang tua yang beberapa menganggap sebagai beban. Agar umat Hindu tetap eksis mau tidak mau harus diselamatkan dengan cara solusi bijaksana, dimana beban yang dirasakan umat harus dikurangi secara perlahan. Tetapi sudah pasti tanpa mengurangi esensi, “ pinta Mantan Gubernur Bali itu.
Hindu sangat adaptif terhadap perubahan, sesuai Desa Kala Patra. Intinya Sanathana itu adalah Nutana abadi tetap remaja atau chiranjiwi. Jadi, kalau kita kaku, hanya berpendoman masa lalu, sering kemudian diapresiasi sebagai suatu yang ribet, menyulitkan sehingga jadi beban. “Perubahan secara bijak dan ideal harus dilakukan, namun bukan berarti menghilangkan budaya yang merupakan hasil cipta rasa karsa yang luhur. Perubahan itu menyusuaikan agar kita tetap survive, dan juga tidak ada konversi - pindah agama, “ ujar mantan Kapolda Bali dan Kalahar BNN itu.
Gerakan Veda Poshana Ashram, yang melakukan perubahan perubahan cerdas dan bijak sangat bagus. “Gerakan VPA ini saya sambut baik dan dukung, “ tambah salah satu anggota DPD Bali itu
Ada juga kelompok comportable - sudah ada di zone nyaman - mereka cenderung tidak berubah. Dan kemudian melakukan dua hal dengan alasan “takut kepongor" , dan kemudian dalihnya “gengsi” . “Mestinya beryadnya itu landasannya bakti yang murni full keilklasan”
Yadnya didasari triguna - satwika, rajasik, tamasik. Beryadnya yang ideal itu harusnya dengan rasa bakti penuh penyerahan diri tanpa pemerih.
“Kenyataanya sengaja membuat yadnya besar , supaya dibilang tidak nista. Diliput dijadikan berita besar dengan biaya Rp 3 miliar. Hal seperti itu tergolonng upacara rajasik, ingin dibilang hebat,” tambahnya
Celakanya masyarakat tidak mau kalah. Maka kemudian apa yang terjadi, melakukan upacara pitra dengan berutang. Ada carik dijual, SK digadaikan di bank. Di sisi lain ada sebagian pihak ngalih bati - mencari untung- , “ upacara model itu tergolong tamasik. Dosa yang ngalih untung itu besar sekali. Karena itu, mana yang kita pilih ?. “Mari kita pilih sesui semiloka ini , sebab ada suatu proses transformasi dari ritual ke spiritual, “ tambah lulusan terbaik Akpol itu. Karena itu kemudian Dr Mangku Pastika kemudian bertanya apakah yadnya ngaben itu ukurannya bebangkit?. Atau yadnya Utamaning utama ?. Banyak masih belum paham esensi yadnya. “Masih bagus belum ada yang nanyak. Apa itu, untuk apa itu,” kata Pastika yang disambut gerr hadirin.
“Oke Shiva Sumedang sebuah pilihan yang bagus” yakin tetap pada substansi makna prosesi pitra yadnya, dari jasad, tulang, atma menjadi Dewa Pitara. Lalu bagimana halnya kalau ada memotoh, judi. “Apakah mereka layak jadi Bhetara,” tanya Dr Mangku Pastika dengan kriris. Dia sendiri yang sudah berusia 69 ini, bertekad bulat memanfaakan sisa hidupnya, agar layak jadi bhetara. Layakkah kita semua menjadi bethara?
Dirikan Koperasi Ngaben
Ketua DharmaAdyaksa PHDI Pusat, Ida Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba yang berencana menggelar prosesi tingkat Diksa trijati di India, menyatakan pelaksanaan yadnya itu harus ada kesepakatan antara Sang Tapini, Pamuput, Medue Karya. Kesepaktan sarwa prani hitangkari. Kembali ke asal perlakuan, parikrama atau seremonil.
Ngaben - jika dilihat dari etimologi bahasa, dibakar Homa Traya, Homa Yadnya, Agni Hotra, seidentik sama tidak serupa dalam perlakuan. vokal , p b m satu artikualasi, produksi Prapen, Ngaben bukan Paben. Kita lihat utility - ketepat gunaan- Karena itu tidak perlu bertengkar. Misalnya ngaben menggunakan Api Suci Homa Traya tidak masalah. Sedangkan sulinggih menggunakan juga api yang disebut Pedamaran homanya dilakukan diri kita atma kunda. Biarkan kearifan lokal itu mengalir. Apa yang diaben/ apa yang dibakar, jenasah , tulang dengan atman - jiwa - perlakukan dengan ngaskara - satu jenasah dibakar kemudian Dewa Pitara dilinggihang di merajan.
“Prosesi ritual itu agar semua tercaver - stula sariranya dipreteka, suksma sariranya dengan ngewangun dan ngajum, atma dengan ngadegang sawa, “Kita meyakini ada kehidupan di dimensi lain yakni rumah rong telu. Dalam Homa Traya , Sawa preteka - jenasah Sawa wedana itu dengan Nunasagni selesai di setra.
Kalau ngaben dianggap wajib, maka ayo kita nabung sedikit. “Mari buat asuransi dalam wadah Koperasi. Mungkin dengan dana abadi Rp 5 juta. Dengan jaminan dikremasi di Mumbul. Jadi tidak ada masalah dana saat kelayusekaran pasti masuk sorga. “Hal itu penting, agar jangan hidup sudah susah, mati pun susah. Dengan ikut Koperasi, hidup bahagia swarga masuk Shiva . Mari bangun pola pikir yang bijaksana. Maka yang sulit jadi gampang. Yang gampang jadi terjangkau.
“Tidak ada yang salah. Harapan saya mari kita bersatu padu, untuk mewujudkan jagadhita dan moksartam, “ pinta Pedanda Nabe Bang Buruan Manuaba
Dari Kingkara Jadi Shankara
Sedangkan, Dr Made Suasti Puja, dengan rendah hati dirinnya mengatakan bahagia jadi pengayah. Ia mempercayai ada proses elevasi spiritual dari kesadaran Kinggarabala menjadi Shankara. Sebagai Mantan Ketua Swarga Shanti dan Mantan Ketua VPA, ia percaya pada saatnya menjadi Dewa Hyang / Dewa Pitara dan menyatu dengan Tuhan. Tujuan hidup kita adalah mewujudkan “Atmanah mosahrtam jagadhita ya ca. Karena itu,
Ketua Sabba Walaka PHDI Bali, itu mendorong kita harus terus menerus bershadana ekstra keras, berupaya mewujudkan atma saksatkara - realizasikan diri , jagadhita lahir dan bhatin. Kesadaran terhadap Atma widya / Brahma Widya , jnanaagni yang dapat membebaskan kita semua.
Jangan Ajum Amah Gengsi
Pembicara terakhir semiloka dan kemudian sebagai nara sumber lokakarya itu adalah Ida Pandita Abra Bhaskara Mukti Biru Daksa. Beliau orator yang top. Kepribadianya yang cerdas, kocak dengan juke juke menggelitik, membuat audiens ketawa terpingkal pingkal. Namun juga terkadang serius dengan pemaparan deskripsi holistik, sistematis, terskruktur. Menurutnya, dalam penyamaan visi Pengabenan ala Shiva Sumedang tetap harus menggunakan wiweka. Menentukan pilihan tentu berdasarkan Iksa, - pahami dulu, Sakti - ukur kesaktian dananya, kude isi kantonge, Desa- tempat pelaksanaanya, dan Kala - waktu. Siapa berani dengan kala yang paling kejam itu. Kala tidak bisa diajak kompromi alias KKN. Karena itu idealnya begitu meninggal harus diupacarakan dengan baik. Hidup sebagai manawa ini punya utang pitra rnam. Utang itu menuntut dibayar, semaksimal mungkin harus diusahakan. Kita harus bayar pengorbanan orang tua yang sudah beryadnya kepada kita dengan tulus, bukan saja atulungurip, angupadyaya abelapati - demi sukses anak anaknya. Begitu besar pengorbanan orang tua. Jangan pernah kita tidak bisa balas budi. Maka kalian wajib bayar utang itu, menghormati nya dengan memberi pengakuan yang pantas . Pitra yadnya sekala, menolong orang tua. Moksartham jagadhita --patru mitru wandanam “You must believe full” ujar Pembina VPA yang disambut terpingkal pingkal hadirin. Apa itu pitra yadnya niskala itu, merupakan satu paket dari tiga upacara sawa wedana - pengeringkesan , Asti wedana - nguyeh tulang ngayut ke pasih Atma wedana - memproses yang membungkus ngaskara penyekahan - apang tidak negul atma sarira budal ke sunya.
Sulinggih idealnya bukan saja sebagai konseptor yang baik. Sang Dwija juga sebagai konselor dan Pandita itu juga sebagai motivator dan inovator. Dan terakhir terpenting sebagai eksekutor, yang harus mampu mengeksekusi dengan baik.
Setelah prosesi Atma wedana - kemudian menjadi Dewa Pitara - sesuai tradisi kemudian ngelinggihang di Sanggah Rong Telu Kemulan. Sesungguhnya prosesi atma sarira itu selesai manjing ring Sangkan Paraning Dumadi. Lalu kenapa dilinggihkan di Sanggah Kemulan, agar pratisentanenya - keturunannya - ketika rindu ingin mengenang beliau cukup melalui Sanggah Kemulan.
Kenapa salah satu metode Pengabenan Shiva Sumedang ini diangkat dalam semiloka Nasional VPA , jika menilik etimologi nya memang serem / angker sekali . Shiva Sumedang itu terdiri dari Shiva dan Sumedang. Maknanya Dewa Shiva turun menggaibkan dengan bhisama puput/ selesai prosesinya hanya di setra. Karena sudah ada intervensi Shiva, kenapa harus ragu. Jangan ragu ragu lagi. “Mari belajar memprosesi kematian dengan baik dari sekarang,” urai Srimpu Abra Baskara.
Tidak perlu menggunakan “bebangkit” dengan Shiva Sumedang ini.
Terkait pengabenan di Bali, dasar hukum sastranya memang banyak, jika dihitung lebih 50 lontar.
“Intinya prakerti itu kembali ke Bhuana Agung . Sedangkan Atma / Paramatma menyatu dengan Purusha ke Sangkan Paramaning Dumadi, “ tegasnya.
Lalu bagaimana ketika menghadapi kelayusekaran itu. Langkah pertama harus membentuk panitia kecil , kemudian menetapkan cara Pengabenan Shiva Sumedang. Jazad diringkes sesuai makanismenya, kemudian berangkat ke setra, yang belum natab penyambutan — mengetus - menghilangkah kedukaan, mapepegat - meperas jalan - bayar tol setiap perempatan .Iring iringan stana pitra dan yang paling belakang adalah sulinggih. Setelah di setra jenasah dibakar, pangadeg dibawa ke prajapati. Sulinggih munggah ngarga weda puja , kemudian ngaskara pengabenan, medyus kamaligi , melukat menjaga jaya menghadap ke surya dan mengundang dewa dewa terkait. Juga dilakukan penebusan ke prajapati, by pass margatiga. Setelah itu sembahyang mohon restu purwa daksina chantingkan om namah shiva , sulinggih di Bale Pawedan nguncarang mantra mantra Weda Pitra Puja. Selesai diproses itu ada peningkatan dari Pitra menjadi Pitara menggunakan mantra Saptaomkara Bhiseka, setelah itu Narpana , Semua dewa - dewa yang diundang pada saat mempersembahkan jemek dijemput Puspalingga Penyekahan. Selanjutnya Jemek dipralina ditaruh di atas jenasah yang dibakar. Saat itu prosesi nyekah tetap jalan sampai mapetik - puncak upacara penyucian - Dewa Pitara - kemudian Ngadegang Sangge , distanakan dan menjemput / ngundang Shiva Kailash agar puspalingga dan Sangge itu sungkem selanjutnya prosesi purwadaksina di sanggah cucuk - catur loka pala - lembu Nandini , kemudian munggah ke bake pyadnyan , Sangge, Puspalingga diayabang semua sentananya keluarga keturunanya “Ingat jangan tukang banten yang ngayabang. Wajib yang punya keluarga, sentanenya yang ngayab dan sembahyang,” tegas Mpu Abra Baskara. Setelah ngayab dan disembahyangin keluarganya. Puspalingga dan Sange diturunkan. Dewa Pitra dari Puspalingga dilinggihkan di Daksina linggih yang Baru dan Sangge juga baru. Sedangkan yang lama dibakar. Pembakaran di penyekahan nguleg tulang, Puspaasti pengabenan dan Puspaasti Penyekahan. Kemudian Dua Puspa Asti yang ditempatkan di Daksina Linggih yang baru mecaru di Pemuun mengucapkan terimakasih kemudian memargi ke Segara. Ketika berangkat ke Segara sedangkan di Mrajan saat itu juga dilakukan pecaruan, "sambehang" ke pekarangan. Kemudian di laut dilakukan prosesi dua Puspaasti, prosesi nganyut, nyegara Gunung dan meajar ajar. Setelah meajar ajar prosesinya Pratista. Dasarnya tiga lontar, Purwa Bumi Kemulan,Lebur Sangsa dan Medang Kemulan.
Penyempurnaanya selalu penghormatan sembah kepada laut dan darat karena itu dilakukan lah prosesi Nyegara Gunung - sebelum Ngelingihan Dewa Pitara di Rong Telu Mrajan. Bethara Daratnya Sang Giripati dan Sang Hyang Baruna.