meninggal
jaman now – dalam kesetaraan
Shri
Anantadamar Ganachakra
Kajang
berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang berarti penutup atau kerudung, terbuat dari
kain putih sepanjang 3(tiga) hasta (1 hasta = jarak dari pangkal lengan dengan
ujung jari) yang ditulisi rerajahan atau aksara-aksara suci. Kain putih
melambangkan badan jasmani atau badan kasar, sementara rerajahan melambangkan
badan rohani atau atman. Kajang adalah merupakan Yantra(symbol) penuntun kemana
Sang Atman akan kembali.
Kajang
adalah warisan leluhur adiluhung aseli Bali yang pada umumnya dibuat oleh
Pandita dengan upacara dan puja tertentu, sebagai yantra pelengkap Mantra
pengantar Sang Pitra menuju Pitraloka.
Sumber
sastra dari pembuatan Kajang adalah sebagai berikut:
1 1. Lontar Wrspati Tatwa
2. Lontar Tutur Kamoksan
3. Lontar Aji Kelepasan
4. Lontar Taitriya Upanisad
5. Lontar Bharatayudha
6. Lontar Pitra Puja
7. Lontar Sawa Wedana
2. Lontar Tutur Kamoksan
3. Lontar Aji Kelepasan
4. Lontar Taitriya Upanisad
5. Lontar Bharatayudha
6. Lontar Pitra Puja
7. Lontar Sawa Wedana
Menurut
tradisi Bali, Kajang banyak sekali jenisnya dan harus dibedakan sesuai dengan
warna masing-masing, sehingga ada Kajang Brahmana, Ksatrya, Waisya dan Sudra.
Kajang Brahmana dibagi bagi lagi sesuai trah/keturunan dan
kegiatan/pekerjaannya, begitupula Kajang Ksatrya dan lain lain.
Bagaimana
dengan Umat Hindu non Bali? Atau non Hindu yang ingin masuk Hindu? Atau umat
Hindu Bali generasi milenial yang tidak mau pakai ribet?.
Salah
satu faktor susahnya masuk Hindu adalah sebuah wacana super “kalau mati nanti
pakai Kajang apa? Kawitannya kemana?” Katanya supaya tepat menghantarkan atman
nya kembali kemana dan lagi lagi katanya dan katanya lagi.
Mari kita
mulai menelusurinya dari “Siapa sebenarnya Kawitan kita?” dari tiga buah sloka
“Kata Kitab Suci Hindu - bukan Kata Dukun” berikut ini:
1. Bhagavadgita
XIV.14
sarva-yonisu
kaunteya, murtayah sam bhavanti yah
tasam
brahma mahad yonir, aham bija-pradah pita
Hendaknya dimengerti bahwa segala jenis kehidupan, wahai putera
Kunti, dimungkinkan melalui kelahiran di alam material ini, dan bahwa Akulah
Sang Ayah pemberi benih
2. Bhagavadgita XVII.23
om
tat sad iti nirdeso, Brahmanas tri vidhah smrtah
Brahmanas
tena vedas ca, Yajnas ca vihitah pura
Tiga kata Om Tat Sat adalah asal muasal penciptaan, dipergunakan
untuk menunjukkan kebenaran mutlak yang paling utama. Tiga lambang tersebut
melahirkan Brahmana, Weda dan Yajna, oleh karenanya tiga lambang tersebut juga
dipergunakan oleh para Brahmana sambil mengucapkan kata-kata Weda dan pada
waktu menghaturkan korban suci / yadnya sebagai wujud bhakti kepada Hyang Widhi
3. Bhavishya
Purana Madhyama Parva Bab V Sloka 9
pūtānām paramah pūto,
gurūnām paramo guru
sarva sattvānvito
vipro, nirmito brahmanā purā
Brahma pertama kali menciptakan Para Brahmana, yang paling murni
diantara yang murni, yang merupakan guru dari semua guru, yang diberikan
kelahiran dengan kwalitas terbaik
Dari
ketiga sloka tersebut jelaslah bahwa Kawitan kita semua adalah sama, sama-sama
dari satu benih yakni Dewa Brahma. Pertama-tama Dewa Brahma menciptakan para
Brahmana, lalu para Brahmana menurunkan para Ksatrya karena butuh pengawal dan
pemimpin, kemudian para Brahmana menurunkan Waisya karena membutuhkan para
petani, peternak, pekebun untuk menunjang kehidupan, dan pada akhirnya para
Brahmana juga menurunkan para Sudra karena mereka semua membutuhkan pelayan,
juru masak, dan sebagainya, mengingat semakin hari hidup semakin kompleks yang
menyebabkan manusia tidak bisa hidup sendiri.
Jadi,
ngapain kita mesti susah-susah mencari Kawitan kesana kemari? Puja saja Dewa
Brahma melalui puja Surya setiap hari atau Puja Agni, atau japa OMKARA atau OM
TAT SAT, maka sudah sampailah kita kepada Kawitan, selesai dan simple sekali.
Atharwa
Weda - Adhyatma Sukta 4.5 menyatakan:
so agnih
sa u suuryah sa u eva mahaayamah,
rasmibhirnabha
aabhrtam mahendra etyaavrtah
Ia
adalah agni, ia adalah surya, ia adalah Yama yang maha agung, menuju kumpulan
awan alam semesta yang dibawa oleh cahayanya nan agung
Brahma
sama dengan Surya, sama dengan Agni dan sama dengan Yama sang penguasa
kematian, dengan memujaNya maka kita sudah sampai kepada Kawitan, Kawitan semua
orang, kawitan semua makhluk, kawitan semua benda mati sekalipun.
Masih
ragu bahwa kita semua sama? Bahwa kita semua sederajat?
Mari
simak lagi dua buah sloka berikut ini:
1.
Skanda Purana 18-VI.239, sloka 31
janmana jayate sudrah, samskarat dvija ucchate
veda pathnat bhavet
viprah, brahma janati iti brahmanah
semua orang adalah
sudra ketika lahir, melalui proses samskara penyucian diri dia akan menjadi
dwijati, dengan belajar veda dia menjadi vipra, dengan mengetahui brahman dia
menjadi brahmana.
Sloka ini dijelaskan juga dalam percakapan Yaksa dg Yudistira di
Mahabarata.
2.
Bhavisya Purana 4.141
sudrena
tu samam tavad, yavadvede na jayate
krtopa nayana syasya, vrtadesanam isyate
brahmano
grahanam caiva, kramena vidhi purvakam
Seseorang tetaplah sudra sampai dia mendapatkan upanayana untuk
mempelajari veda, setelah melaksanakan upacara upanayana yajnopavita/ pemberian
benang suci, ia dapat mulai mempelajari veda beserta semua jenis upacara
sebagai seorang brahmana
Dari
kedua sloka itu sudah sangat jelas bahwa kita semua dilahirkan sudra, sama
semuanya tidak ada beda sama sekali, setelah mendapatkan upacara upanayana
barulah kita dibagi-bagi sesuai dengan kegiatan/pekerjaan masing-masing.
Dari
paparan singkat dan simple tersebut diatas, tidaklah salah jika kemudian kita
yang sekarang berada pada generasi Alpha dengan para kritisi muda yang berada
pada generasi milenial sampai generasi Z membutuhkan sesuatu yang “simple,
sederhana, universal dan bebas Kasta” dalam menjalankan upacara keagamaan,
sepanjang tidak bertentangan dengan dasar hukum agama yakni Kitab Suci Veda.
Setelah
kita mengetahui asal atau kawitan, kemudian mengetahui bahwa kita semua adalah
sama dan sederajat, maka sudah tentu kita akan sepakat bahwa Kajang kitapun
saat meninggal nanti mestinya sama atau universal.
Darimana
dasar sastra atau dasar hukumnya? Mari kita simak salah satu cerita dari Padma
Purana berikut ini, mengenai keagungan Bab 3 Bhagavadgita.
Śrī Vişņu
berkata, “Lakşmī yang Kucintai, di kota Janasthan tinggal seorang
Brāhmaņa bernama Jađa yang lahir dalam dinasti Kaushik. Brāhmaņa itu
mengabaikan kegiatan-kegiatan keagamaan yang digariskan dalam sastra untuk
diikuti oleh golongan Brāhmaņa. Ia malah melakukan banyak kegiatan yang
bertentangan dengan aturan keagamaan. Ia sangat gemar berjudi dan
mabuk-mabukan, berburu, serta pergi ke tempat pelacuran. Dengan cara seperti
itu ia menyia-nyiakan kekayaannya. Jada pergi ke negeri-negeri di utara dalam
rangka bisnis. Ketika berada di sana, ia mendapatkan kekayaan lalu memutuskan
untuk kembali ke kota Janasthan. Setelah berjalan jauh, Jada sampai di tengah
sebuah gurun pasir. Suatu hari setelah matahari terbenam dan gelap mulai
menyelimuti, ia memutuskan untuk beristirahat malam itu di bawah sebatang pohon.
Saat beristirahat, beberapa perampok datang dan memukulinya hingga mati, lalu
merampok harta bendanya. Oleh karena Jađa telah mengabaikan semua kegiatan
saleh dan menjalani kehidupan yang penuh dosa, setelah kematiannya ia
mendapatkan badan hantu. Putra dari Jađa ini sangatlah saleh dan terdidik dalam
sastra Veda. Ketika ia menyadari bahwa ayahnya belum juga kembali ke Janasthan
setelah sekian lama, ia memutuskan untuk pergi dan mencari ayahnya, dan
pengembara mana pun yang dijumpainya ditanyakan tentang ayahnya. Suatu hari, ia
berjumpa seseorang yang mengenal ayahnya, orang ini menyampaikan tentang
peristiwa yang telah terjadi. Ketika putra Jađa mendengar tentang kematian
ayahnya, ia memutuskan untuk pergi ke Kāśi (Benares/Varanasi) untuk
mempersembahkan piņđa (pemujaan untuk leluhur) untuk memohonkan agar arwah
ayahnya terbebaskan dari neraka. Pada hari ke-sembilan perjalannya, tanpa
sengaja ia beristirahat di bawah pohon yang sama tempat ayahnya dibunuh.
Malamnya di tempat itu ia melakukan puja hariannya kepada Śrī Kŗşņa dan ia juga
mengucapkan Bab Tiga Śrīmad Bhagavad-gītā. Begitu ia menyelesaikan
pengucapannya, suara gemuruh terdengar dari langit. Ketika ia melihat keatas,
ia melihat arwah ayahnya, di depan matanya, di mana badan ayahnya telah
menjadi salah satu makhluk paling rupawan, berlengan empat, dan mengenakan
dhoti/sarung kuning. Badan ayahnya berwarna gelap seperti awan hujan dan cahaya
badannya menerangi segala penjuru. Pada saat itu ayahnya memberkati dia. Sang
putra meminta supaya ayahnya menjelaskan kejadian yang menakjubkan ini. Sang
ayah berkata, “Putraku yang baik, engkau telah mengucapkan Bab Tiga
Śrīmad Bhagavad-gītā, dan dengan demikian aku terbebas dari badan hantu yang
telah aku terima akibat dari kegiatan-kegiatan berdosa yang aku lakukan.
Sekarang engkau kembalilah kerumah, sebab tujuanmu perjalananmu ke Kāśi
(Benares) telah tercapai, dengan cara mengucapkan Bab Tiga Śrīmad
Bhagavad-gītā.” Ketika sang putra bertanya kepada ayahnya apakah ada
petuah-petuah lebih lanjut untuk dirinya, sang ayah lalu menjawab, “Saudaraku
juga telah menjalankan kehidupan yang sangat penuh dosa, dan ia sedang
menderita di suatu tempat di wilayah tergelap neraka”. “Jadi, jika engkau
berkeinginan untuk membebaskan dia, demikian pula dengan arwah para leluhur
kita lainnya yang sedang menderita di sana-sini, di berbagai jenis kehidupan di
alam semesta material, maka berkenanlah mengucapkan Bab Tiga Śrīmad
Bhagavad-gītā. Dan dengan pengucapan tersebut, mereka akan mencapai wujud mirip
dengan wujud Śrī Vişņu, dan pergi ke Vaikuņťha.” Ketika sang putra mendengar
petuah-petuah ayahnya, ia lalu menjawab, “Jika demikian adanya, maka aku akan
mengucapkan Bab Tiga Śrīmad Bhagavad-gītā sampai semua roh terjebak dalam
kehidupan di neraka terbebaskan.” Saat itu sang ayah memberkatinya dengan
kata-kata, “Biarlah terjadi.” Kemudian, sebuah pesawat tiba dari dunia
spiritual yakni Vaikuņťha dan membawa sang ayah ke tujuannya. Sang putra
kembali ke Janasthan lalu duduk di depan arca Śrī Kŗşņa, dan dengan keinginan
untuk membebaskan semua roh terikat yang berada dalam kehidupan di neraka, ia
mulai mengucapkan Bab Tiga Śrīmad Bhagavad-gītā. Pengucapan yang dilakukannya
berlanjut terus hari demi hari, sehingga kemudian Śrī Vişņu mengirimkan
utusan-Nya para Vişņudūta, ke kerajaan Yamarāja, yang bertugas untuk mengatur
hukuman bagi makhluk-makhluk hidup yang berdosa. Ketika para Vişņudūta tiba di
hadapan Yamarāja, mereka menyampaikan bahwa mereka membawa sebuah pesan dari
Śrī Vişņu, yang berbaring di atas Ananta-śesa di lautan susu. Mereka
menyampaikan bahwa Śrī Vişņu menanyakan bagaimana keadaannya dan memerintahkan
Yamarāja membebaskan semua roh terikat yang sedang menderita di neraka. Ketika
mendengar perintah dari Śrī Vişņu ini, beliau langsung membebaskan semua
roh terikat dari neraka dan secara pribadi pergi bersama para Vişņudūta menuju
kelautan susu, yang dikenal dengan Svetadvipa, untuk mendapatkan darshan Śrī
Vişņu. Ketika di sana, Yamarāja melihat Śrī Vişņu bebaring di atas Ananta-śesa.
Badan Śrī Vişņu secemerlang matahari dan Lakşmī Dewi, Dewi Keberuntungan,
sedang memijat kaki padma Śrī Vişņu. Śrī Vişņu dikelilingi di semua sisi oleh
para resi dan para dewa yang dipimpimpin oleh Dewa Indra, yang semuanya
menyenandungkan puji-pujian kepada Śrī Vişņu. Dewa Brahmā juga hadir
mengucapkan mantra-mantra Veda. Yamarāja bersujud di hadapan Śrī Vişņu dan
memanjatkan pujian berikut, “Śrī Vişņu yang hamba cintai, Engkau
mengharapkan kebaikan semua roh terikat. Tidak ada batas keagungan-Mu.
Dari diri-Mu Weda berasal, Engkau adalah sang Waktu. Dan seiring berjalannya
waktu Engkau akan menghancurkan segala sesuatu. Engkau adalah penyebab dan
pemelihara ketiga dunia dan Engkau adalah Roh Yang Utama di hati setiap
mahkluk, yang sedang mengarahkan kegiatan mereka. Engkau adalah Guru seluruh
alam semesta, dan merupakan tujuan dari semua penyembah Tuhan. Wahai yang
memiliki mata bagai bunga padma, mohon menerima sembah sujud hamba berulang
kali ini. Keagungan-Mu tiada batasnya.”Dengan cara demikian Yamarāja
menyampaikan penghormatan kepada Śrī Vişņu sambil mencakupkan tangan. Yamarāja
melanjutkan, “Mengenai perintah-Mu, hamba telah melepaskan semua roh terikat
dari neraka. Jadi berkenanlah memberitahu hamba, tugas apa yang Engkau ingin
untuk hamba lakukan sekarang?” Śrī Vişņu menjawab dengan suara sedalam
Gemuruh dan semanis minuman kekekalan, “Dharmarāja (Yamarāja) yang Ku-cintai,
Engkau adil terhadap setiap orang, dan Aku tidak perlu mengajarimu tentang
tugas-tugasmu. Silahkan kembali ke kediamanmu sambil membawa berkah penuh
dari-Ku dan lanjutkan tugas-tugasmu.” Ketika itu, Śrī Vişņu menghilang dari
penglihatan Yamarāja, dan Yamarāja kembali ke tempatnya sendiri. Setelah
Brāhmaņa itu sukses membebaskan semua leluhurnya dan roh terikat lainnya dari
neraka, para Vişņudūta datang, lalu membawa dia ke kediaman Śrī Vişņu, di mana
dia bisa tekun dalam pelayanan kepada Brahman - Tuhan Yang Maha Esa selamanya.
Dari
pemaparan Padma Purana tersebut diatas bahwasanya Mantra (kitab suci) dan
Yantra (symbol) memiliki kekuatan yang sama dalam menghantarkan sang roh menuju
alam Dewata Agung. Dengan menghaturkan mantra-mantra suci, dalam hal ini bab 3
Bhagavadgita sang roh berubah wujud menyerupai sang Ista Dewata (Dewata Pujaan)
dengan berlengan 4 berwajah rupawan dan kegemerlapan lainnya yang tak terlukiskan
dengan kata-kata duniawi.
Dengan
menghubungkan kesemua susastra Veda diatas dengan lontar-lontar adiluhung
warisan leluhur yang ada di Bali, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
Yantra(symbol) dalam Kajang bisa kita buat universal, dengan istilah KAJANG
SMANIA, sebagai wahana pengiriman sang atman menuju alamat Sang Dewata Agung.
Dalam Padma Purana, wujud sang atman adalah menyerupai wujud dari Sang Dewata
Agung, itulah Kajang yang merupakan penuntun dari sang atman kepada wujud
aselinya, bahwa sesungguhnya atman adalah merupakan bagian tak terpisahkan dari
atman yang utama atau paramaatman. Wujud aseli dari atman adalah Dewata Agung
itu sendiri, yang diwujudkan dalam sastra sebagai OMKARA. Omkara adalah wujud
asal dari segala sastra yang membentuk tubuh manusia. Berapapun banyaknya
rerajahan sastra yang dituliskan diatas kain putih untuk Kajang, sumbernya
hanya satu yaitu Omkara. Dari Omkara inilah berkembang menjadi banyak
sastra-yantra-mantra-tantra yang dilukiskan didalam Kajang sesuai dengan trah/keturunannya,
sesuai warnanya (kenyataannya di lapangan sesuai Kasta).
Dengan
mengetahui bahwa OMKARA adalah sumber kesemuanya itu, kenapa mesti repot-repot
mengurai dan membaginya sesuai ego kita masing-masing?
Mari kita
simak Yajurveda XL.15 berikut:
OṀ VĀYUR ANILAM AMṚTAM
ATHEDAM
BHASMĀNTAṀ(bhasmantagm)
ŚARĪRAM
OṀ KṚTO
SMARA, KLIBE SMARA, KṚTAM(krtagm)
SMARA
Hyang
Widhi, penguasa hidup, pada saat kematian ini semoga ia mengingat vijaksara
suci OM, semoga ia mengingat Engkau Yang Mahakuasa dan kekal abadi, ingat pula
kepada karmanya. Semoga ia mengetahui bahwa atma adalah abadi dan badan ini
akhirnya akan hancur menjadi abu
Sebagai
sastra pendukung, Bhagavad Gītā, VIII. 13 menyatakan sebagai berikut.
aum
ityekaksaram brahma vyaharam mam anusmaran
yah
prayati tyajan deham sa yati paramam gatim
Dia yang
mengucapkan aksara tunggal AUM, yaitu Brahman, dan mengenangkan AKU, sewaktu
ajal telah memanggil kembali, meninggalkan badan jasmani, pergi ketujuan
tertinggi.
Juga
terdapat dalam Mandukya Upaniṣad sloka 1, keagungan dari suku kata sastra
mistis OMKARA ini diuraikan sebagai berikut,
aum
ity etad aksaram idam sarvam,
tasyopavyakhyanam
bhutam bhavad bhavisyad iti sarvam aum kara eva,
yac
canyat trikalatitam tad api aumkaraeva
Om adalah suku kata yang
menyatakan semuanya ini. Apa saja yang merupakan masa silam, sekarang dan masa
yang akan datang, semuanya ini adalah Om saja. Dan apa pun yang berada
di luar waktu, yang tiga itu hanyalah Om saja.
AUM menyatakan Brahma
sang pencipta, Viṣnu sang pemelihara, dan Śiva sang pelebur.
Dengan
membuka wawasan kita akan susatra Veda, maka yantra tertinggi asal muasal kita
semua yang universal adalah OMKARA.
Dengan
demikian, maka Yantra dalam bentuk Kajang yang universal adalah kain putih
bertuliskan / merajah OMKARA yang bisa ditulis dengan versi huruf Bali ataupun
Sanskrta.
Dengan
Kajang Samania yang universal, simple, tanpa kasta dan utama seperti itu serta
tidak melanggar ketentuan Veda, maka para generasi Alpha anak cucu kita kelak
tidak akan merasa terbebani dan senantiasa nyaman dalam Hindu.
Dengan
Kajang Samania, tidak dibutuhkan banten dan ritual yang rumit dan besar, yang
tidak dipahami oleh para generasi muda. Kajang Samania dengan OMKARAnya yang
tertulis diatas kain putih sudah otomatis hidup / dipasupati dengan sendirinya
oleh Gayatri mantra dan Purusha Sukta.
Berikut
dasar hukumnya:
1.
Gayatri mantra adalah Ibunya Veda dan menghidupkan/pasupati segala yang ada,
sebagaimana diuraikan oleh Mahanarayana Upanishad 35.1
OM
OJO ASI SAHO ASI BALAMASI BHRAAJO ASI DEWAANAAM DHAAMANAAMASI WISWAMASI
WISWAAYUH SARWAMASI SARWAAYURABHIBHUUROM GAAYATRIM AAWAAHAYAAMI SAAWITRIIM
AAWAAHAYAAMI SARASWATIIM AAWAAHAYAAMI CHANDARSII NAAWAAHAYAAMI SRIYAM
AAWAAHAYAAMI GAAYATRIYAA GAAYATRII CHANDO WISWAAMITRA RSIH SAWITA
DEWATAAGNIRMUKHAM BRAHMA SIRO WISNUHRDAYAM RUDRAH SIKHAA PRTHIWII YONIH
PRAANAPAANAWYAANODAANASAMAANAA SAPRAANAA SWETAWARNAA SAAMKHYAAYANA SAGOTRAA
GAAYATRII CATURWIMSATYAKSARAA TRIPADAA SAT KUKSIH PANCASIIRSOPANAYANE WINIYOGAH
Wahai
Gayatri Engkau adalah inti kekuatan, Engkau adalah kesabaran, daya mengatasi,
Engkau adalah kesempurnaan, Engkau adalah kesemarakan, Engkau adalah tempat
kediaman para Dewa dan nama nama mereka, Engkau adalah alam semesta, Engkau
adalah jangka waktu / peguasa kehidupan, Engkau adalah setiap hal yang
hidup/dihidupkan, Engkau adalah masa kehidupan semuanya, Engkau adalah pelenyap
musuh kami, Engkau adalah kebenaran yang dinyatakan dalam Pranawa OM, aku
memanggil Gayatri kedalam hatiku, aku memanggil Sawitri , aku memangil
Saraswati, aku memanggil metrum dan para Rsi, aku memanggil cahaya dari para
Dewa, dari Gayatri metrumnya adalah Gayatri, Rsinya adalah Wiswamitra, dan
Dewatanya adalah Sawitri, Api adalah wajahnya, Brahma adalah kepalanya, Wishnu
adalah hatinya, Siwa sebagai rambutnya, Pertiwi sebagai dasarnya/Yoni, semua
jenis nafas (prana-apana-wyana-odana-samana) sebagai nafasnya, Gayatri yang
cemerlang sebagai Paramaatman yang dicapai oleh para Saamkhya (para
suci/tercerahi), Dewata Gayatri memiliki 24 suku kata, yang tersusun dalam 3
pada, 6 selubung dan 5 kepala, Engkau sebagai upanayana Weda (inisiasi Weda).
Didalam mantram ini
dijelaskan bahwa sesungguhnya Gayatri adalah Brahman itu sendiri dalam wujud
realitas kehidupan, yang menghidupkan, yang mempasupati, sebagai yang bersinar
terang (matahari/bintang, pusat galaxy/jyotir lingam).
Gayatri juga dikenal
sebagai Sawitri dan Saraswati, keberadaan tertinggi dan pendorong dari semua
Ciptaan. Gayatri sebagai intisari Veda disebut sebagai Saraswati, dimana Veda
dinyatakan sebagai kolam/saras ilmu pengetahuan yang maha luas, sebagi sumber
segala sastra, sumber segala huruf, sumber segala yantra.
Selanjutnya,
Gayatrisirah sebagai mahamantra diuraikan dalam Mahanarayana 35.2 berikut ini:
OM BHUR BHUVAH SVAH
MAHAH JANAH TAPAH SATYAM
OM
TAT SAVITUR VARENYAM
BHARGO
DEVASYA DHIIMAHI
DHIYO
YO NAH PRACODAYAAT
OM AAPO JYOTII RASO AMRITAM
BRAHMA BHUR BWAH SWAR OM
Om Brahman, budhi kami pusatkan kepada
tujuh lapis alam
kami memusatkan pikiran kepada Brahman yang
abadi, sang pencipta, yang layak dipuja, tanpa awal dan akhir, sinar
kebijaksanaan, kebenaran yang abadi
bimbinglah kami menuju
kesempurnaan/pencerahan
lindungilah kami dari rendaman karma
anugerahi kami segala kesempurnaan hidup
semoga Brahman memberkati pada ketiga dunia
2.
Gayatri Mantra adalah saripatinya Veda sebagaimana diuraikan oleh Manava Dharma
Sastra II.77
tribhya eva tu vedebhyah, padam
padamaduduhat,
tad itryaco ‘syah savitrayah, paramesthi
prajapatih
dari ketiga veda itu, prajapati yang
tertinggi mengeluarkan sari patinya, laksana mantra-mantra rg veda yang suci
bagi savitri, yang dimulai dengan kata tad pada masing-masing satu kakinya.
3.
Purusha adalah semua yang ada, menghidupi, menjiwai dan memenuhi alam material,
baik yang ada sekarang maupun yang aka nada nanti, dimana Kajang adalah
merupakan bagian dari material yang ada dan akan ada (dibuat), sesuai dengan
Purusha Sukta sloka 2
PURUṢA EVEDAṀ SARVAṀ YAD BHŪTAM YAC CA BHAVYAMUTĀMRITATVASYEŚANO
YAD ANNENĀTIROHATI
Sesungguhnya Puruṣa
adalah semua ini, semua yang ada sekarang dan menghidupkan yang akan datang, ia
adalah raja keabadian yang terus membesar dengan makanan kehidupan.
Semoga
kita semua tercerahkan dan bisa hidup berdampingan dengan harmonis dalam
bingkai Hindu yang beraneka ragam.
Kesemua
ajaran Hindu yang ada sejak dahulu kala adalah benar adanya, tidak ada yang
salah, tergantung mengambilnya pada bagian yang mana, termasuk dalam hal
Kajang. Bagi umat Hindu yang masih nyaman dengan Kajang sesuai
Kedudukan/Kehormatannya atau sesuai Kawitannya atau sesuai Warnanya atau sesuai
bhisama leluhurnya adalah sah-sah saja dan benar adanya, pun begitu bagi umat
Hindu yang menginginkan Kajang yang Universal, satu untuk semua, sederajat
tanpa membedakan satu sama lain maka Kajang Samania adalah pilihannya.
Hindu for
Better Life,,,,,,,,,,,,